Bima terbangun dengan tiba-tiba. Saat dilihatnya waktu di layar ponsel sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Anehnya tidak ada notifikasi Mama atau Ayah untuk dirinya, biasanya Ayah akan menelpon dan Mama akan mengirimkan pesan singkat untuk sekedar menanyakan Bima.
Dengan mata yang masih mengantuk ia menatap room chatnya bersama sang Mama, sebuah panggilan masuk muncul dari layar handphone nya. Ayah akhirnya menelpon Bima pagi itu dan meminta Bima untuk segera ke rumah sakit.
Tidak butuh waktu beberapa lama, kini kakinya sudah memijak pada lantai putih rumah sakit. Dirinya terlalu terburu-buru hingga ia menabrak salah satu perawat di sana, untungnya Bima cepat menyadari dan meminta maaf pada orang tersebut.
Tidak ada yang Bima inginkan selain melihat Arsa baik-baik saja. Karena sebuah penyesalan itu sudah benar-benar menumpuk di pundak Bima, ia sudah tidak bisa lagi mengelak bahwa ini adalah kesalahannya.
Jadi, disepanjang lorong rumah sakit hanya doa yang bisa ia ucapkan agar kabar baik sampai ke telinganya.
Namun, sebuah jerit tangis yang kuat Bima dengar dari ruangan itu.
Walaupun Bima jarang mendengarnya, tapi ia yakin itu adalah suara Arsa. Saat dirinya hampir berada didepan pintu Bima tidak bisa lagi melanjutkan langkah kakinya setelah mendengar teriakan sang adik yang memilukan.
"ARSA GAK MAU LUMPUH MA!! ARSA GAK MAU!" ucapnya berkali-kali.
"AYAH! ARSA BISA JALAN KAN? ARSA HARUS TANDING HARI INI YAH!!"
"DOKTERNYA SALAH! AKU GAK MUNGKIN! GAK!!!"
"Arsa..."
"Ma.. tolong bilang ini bohong.." ucap Arsa dengan lemah. tangisnya pecah saat itu juga.
Arsa menatap kedua kakinya yang utuh, hanya beberapa yang lecet dari kaki itu. Tapi kenapa Mama dengan mudahnya mengatakan hal ini? Arsa menggelengkan kepalanya dengan kuat, setelahnya ia memukul kepalanya itu sekuat tenaga.
"ARSA!"
"AKU CUMA MIMPI!! AKU HARUS BANGUN DARI MIMPI BURUK INI!!"
Ayah dengan cepat menarik tangan Arsa agar tidak menyakiti dirinya sendiri. Tubuh rapuh itu dipeluk erat, Arsa masih saja meronta dengan air mata yang masih mengalir deras.
"Ayah.. " panggilnya pada Ayah. Bukan pekikan seperti tadi, Arsa mulai mereda setelah di peluk Ayah. Degup jantungnya ia atur sendiri walau rasanya masih sakit saat menarik nafas.
"Arsa.. " Ayah dan anak itu beradu tatap. Wajah yang mirip dengannya itu ditangkup, binar mata yang biasanya cerah itu kini penuh dengan air mata, hingga matanya bengkak, serta bibirnya yang bergetar menahan tangis.
"Arsa gak mau lumpuh, Yah.." lirih Arsa memohon pada Ayahnya.
Sang Ayah menunduk dalam, tidak bisa lagi menahan air matanya hingga tangis itupun ikut pecah dihadapan sang anak. Bahunya bergetar, bingung. Dirinya tidak bisa berbuat apa-apa sekarang.
Arsa menggeleng kuat. Tidak bisa menerima keadaannya sekarang. Tubuhnya direngkuh oleh Mama, seluruh wajahnya yang penuh air mata itu diusap oleh tangan lembut Mama diakhiri dengan sebuah kecupan di kening Arsa.
"Arsa.."
"Arsa harus ingat disini kamu enggak sendiri, kita jalani ini sama-sama. Oke?"
Sang anak tidak menjawab, Ia sudah lelah mengeluarkan tangisannya. Tetapi tangannya turut melingkar ke pinggang Mama guna merasakan kenyamanan. Saat ini yang ia inginkan hanya tidur dan bangun dengan keadaan seperti sedia kala.
Dari balik pintu Bima mendengar semua. Dirinya benar-benar tidak menyangka, Bima membeku ditempatnya hingga tidak mampu untuk masuk kedalam ruangan itu. Ia mendengar semua penolakan Arsa mengenai keadaannya. Suara isak tangis dan teriakan sang adik yang menyakitkan hatinya. Bima tidak bisa mendengarnya lagi, itu terlalu menyakitkan bahkan untuk Bima yang hanya sekedar mendengar saja. Semua harapan sang Adik hancur begitu saja hanya dalam sehari, dan itu semua karena dirinya.
Jika saja Bima tidak kemana-mana hari itu, jika saja Bima cepat menemui adiknya, jika saja Bima tidak ceroboh merusak handphonenya sendiri. Mungkin Arsa masih disini bersama harapan dan cita-citanya itu.
🔸🔸🔸
"Karena kecelakaan tersebut pasien mengalami cedera yang serius pada sumsum tulang belakangnya. Ini menyebabkan pasien mengalami kelumpuhan pada anggota gerak karena hilangnya fungsi motorik akibat adanya gangguan pada sistem saraf yang mengendalikan otot anggota gerak bagian bawah."
Mama menggeleng tidak percaya didalam dekapan sang suami. Tubuhnya bergetar, tangannya menggenggam erat jemari kekasihnya. Mama terlampau takut hingga hanya tangis yang bisa Mama keluarkan.
Ayah tidak kalah panik. Semua perasaan bercampur aduk di hatinya. Perasaan sedih, kecewa, marah dan takut seolah bergabung menjadi satu.
Arsa, anaknya yang manja itu kini hanya bisa berdiam diri di atas kursi roda. Tatapannya kosong menatap lurus tanpa berminat, wajahnya masih dipenuhi bekas air mata setelah menangis hebat. Rasanya Ayah tidak sanggup lagi untuk melihat keadaan Arsa yang buruk, jiwanya seakan-akan hilang yang hanya tersisa raganya saja.
"Arsa.." panggil Ayah.
Arsa tidak menoleh sedikitpun, menjawab juga tidak. Dirinya masih tetap menatap kearah jendela kamar yang menampilkan pemandangan cerah pagi itu.
Ayah tidak berniat untuk beranjak. Tangannya masih erat menggenggam tangan sang anak yang dingin, surai hitam Arsa di usap sayang.
"Adek... makan dulu yuk? Ayah bantu ke meja makan ya?"
Kali ini Arsa menoleh kearah sang Ayah, dan satu tetes air matanya mengalir membasahi pipi untuk kesekian kalinya. Arsa menggigit bibir bawahnya menahan tangis, di tatapnya Ayah lamat-lamat dengan deru napas tidak beraturan.
"Kenapa harus Arsa, Ayah??"
"Kenapa harus aku yang lumpuh??!"
🔸🔸🔸
See You!💚
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSHAKA
FanfictionArshaka, Adik laki-laki hadiah istimewa dari Mama akan menjadi satu dari beberapa bagian penting dari hidup Bima. [BUKAN BxB] <1000 kata