5.

6.7K 729 6
                                    

"Woi, Sa!"

Panggilan dari teman yang baru beberapa bulan Arsa kenal itu menggema di tengah lapangan sekolah. Kini hanya terik sinar di sore hari yang menemani keduanya untuk latihan bersama. Arsa memang mengenal temannya ini sejak mereka bergabung di tim basket sekolah.

Arsa berlari kearah Yasa, menghempaskan ranselnya ke sisi lapangan kemudian membuka seragam putihnya sehingga yang tersisa kaos berwarna hitam polos.

"Lama!"

Teriak Yasa, dirinya dibuat emosi setelah menunggu Arsa selama 1 jam sejak berakhirnya jam sekolah sedangkan Arsa hanya bisa cengengesan didepannya.

"Lewat lima menit doang lebay amat sih lu, Bambang"

"Udah 1 jam lebih ya, Udin!" tegas Yasa. Ia melemparkan bola itu kearah Arsa untuk memulai latihan mereka.

Suara dentuman bola basket yang sedang di iringkan terdengar begitu merdu, seirama dengan tangan kuat Arsa yang membawa bola itu hingga sampai pada ring. Bahkan Yasa pernah mengatakan saat Arsa sedang memainkan bola besar itu cukup menambah aura nya. 

Skill Arsa yang sudah cukup mahir mampu menyihir banyak mata saat mereka memainkan bola ini hingga saat langit sudah hampir gelap masih ada saja teman-teman ataupun kakak kelas mereka yang menonton.

Yasa juga tak kalah hebatnya, sedari tadi Arsa mencoba untuk menghindar agar bola nya tidak beralih pada Yasa namun sangat sulit. Kemampuan keduanya memang pantas untuk dipuji.

Permainan itu berhenti saat segerombolan orang-orang masuk kedalam lapangan itu. Arsa menoleh kebelakang saat mendengar suara langkah kaki, memberikan tatapan bingung pada beberapa kakak kelas yang berada dihadapan mereka.

"Ada apa ya, Kak?" tanya Yasa, dirinya berjalan lebih ke depan membelakangi tubuh Arsa.

Manik Arsa beradu tatap pada mata elang milik Baskara. Kakak kelas yang entah kenapa sejak mereka berada di lapangan yang sama saat pertandingan yang lalu selalu membuatnya tidak nyaman. Baskara terlihat memiliki dendam pada Arsa walaupun mereka tidak pernah memiliki masalah pribadi.

"Gue cuma penasaran aja, apa sekolah udah tepat pilih tim kalian untuk tanding sama sekolah lain?" ucap Baskara. Kedua tangannya berada didada seraya menatap remeh kearah mereka.

"Kalau gue lihat, permainan kalian itu terlalu basic. Kalian cuma beruntung aja waktu itu."

Seketika ucapan untuk menyulutkan emosi Arsa. Ia berjalan lebih ke depan hingga jarak antara dirinya dan Baskara semakin dekat.

"Gue cuma gak mau sekolah kita jadi kalah cuma gara-gara pakai tim baru yang main gak becus!"

"Lo kan udah lihat sendiri tim kita udah menang lawan tim lo?!"

Yasa membulatkan matanya tidak percaya pada Arsa. Bisa-bisanya ia berucap seperti itu pada kakak kelas, apakah Arsa tidak tahu jika nilai kesopanan itu sangat dijunjung tinggi disekolah ini?

Sementara dirinya menarik Arsa justru temannya itu semakin maju, hingga tatapan Baskara kini hanya tertuju pada mata Arsa.

"Atau lo gak terima? karena kita bisa menang dibanding kalian yang udah lebih lama latihan?" ucap Arsa lagi. Dirinya seperti benar-benar ingin mencari masalah pada Baskara.

"Sa, udah.." ucap Yasa yang kini sudah bercucuran keringat cemas akan nasib dirinya setelah ini. Arsa itu sangat mudah terpancing emosi membuat dirinya juga kewalahan.

"Apaan sih, Yas?! tim lo diremehkan lo diem aja?!"

"Lo adiknya Bima kan?"

🔸🔸🔸

Arsa pulang kerumah sekitar jam 8 malam, tepat saat dirinya membuka ponsel dan mendapati Ayah yang menghubunginya dan memintanya untuk segera pulang. Arsa menggerutu sendiri karena sudah lalai kali ini, banyak panggilan masuk dari Ayah, Mama dan juga Bima di ponselnya yang tidak ia tanggapi dari tadi. 

Saat tiba dirumah bukan sapaan hangat yang ia terima, justru kemarahan Ayah yang sudah menunggunya didepan pintu. Arsa tidak lagi terkejut, ia memang pantas dimarahi kali ini.

"Kemana aja kamu, Arsa?!"

"Maaf, Yah. Handphone aku didalam tas jadi—"

"Kamu gak tahu kami semua panik cari kamu?! sampai abang kamu sekarang kambuh!" teriakan Ayah yang sebelumnya duduk kini bangkit dan menunjuk kearah Arsa.

"Mas, udah.. Dengerin Arsa dulu" ucap Mama

"Masuk kamar kamu sekarang!"

Arsa menghela nafas kemudian berjalan cepat kearah tangga, membiarkan panggilan Mama yang mencoba untuk menghentikannya. Kini tujuannya yaitu ke kamar Bima untuk memeriksa keadaannya, merasa bersalah karena abangnya itu kambuh karena dirinya.

Saat membuka pintu kamar Arsa melihat ruangan yang masih gelap, hanya ada lampu belajar sebagai penerangan. Kemudian matanya menangkap sosok Bima yang terbaring, masih menggunakan sepatu dan jaket hitam miliknya.

"Abang.."

Bima membuka matanya, nafasnya terdengar lemah dengan bulir keringat di dahinya.

"Udah minum obat?"

Bima mengangguk.

"Lo kemana aja sih dek? kalau mau pulang lama itu kabarin dulu"

"Iya maaf, tadi temenin Yada beli bola dulu.. "

"Handphone lo jual aja kalau gak dipakai lagi.." lanjut Bima.

"Iya maaf bang, handphone nya di silent dalam tas.."

Bima menghela nafasnya. Ia menarik tangan Arsa untuk ikut berbaring diatas ranjangnya. Arsa juga tidak menolak saat dirinya didekap oleh tubuh Bima yang hangat.

"Abang masih pusing?"

"Masih, dikit.."

Arsa mengeratkan pelukannya pada Bima guna menyalurkan rasa sayangnya pada sang abang. 

Bima itu punya riwayat Vertigo keturunan dari Mama. Penyakitnya itu bisa saja kambuh kapan pun yang juga bisa terjadi oleh beberapa faktor lain.

"Maaf bikin pusing.."

Bima terkekeh mendengarnya.

"Ayah marah?" tanya Bima

Arsa mengangguk. "Emang salah gue juga sih, seharusnya gue udah pulang abis latihan"

"Arsa, dengerin gue. Lo boleh pergi sama teman-teman lo, tapi kabarin dulu. Kalau kita gak tahu lo ada dimana terus ternyata ada sesuatu terjadi sama lo gimana?"

"Kami kaya gini juga buat lo, sa"

"Ayah, Mama dan gue takut kalau terjadi apa-apa sama lo"

"Iya bang, gue tau. Gue udah hafal, gak boleh main handphone lewat jam 9, gak boleh bawa motor dan satu lagi nih yang paling penting gak boleh keluar lewat jam 7. Sedangkan semua itu boleh lo lakuin."

"Gak gitu, Sa.."








  
💚
btw, ada yang mau tau visualisasi Yasa dan Baskara gak?

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang