4.

6.5K 766 10
                                    

"Bim, kok sendiri? Arsa mana?"

Baru saja masuk kedalam rumah Bima sudah di berikan pertanyaan seperti itu dari Mama, seperti ingin mengingatkan dirinya pada kejadian beberapa jam lalu yang membuat Bima sakit hati.

Dengan tidak acuh ia mengangkat kedua bahunya lalu menjauh dari sana. Ia berjalan gontai menaiki tangga yang tidak tahu mengapa terasa sangat jauh, setelah masuk kedalam kamar ia merebahkan dirinya di ranjang, matanya kembali terpejam memikirkan kejadian tadi sore yang sempat memancing emosinya.

Ia mengangkat satu tangannya ke udara. Melihat tangan itulah yang mencengkram lengan kurus Arsa hingga adiknya itu meringis. Kemudian dengan tidak berperasaannya ia membentak Arsa ditengah keramaian kota, lebih parah dari itu ia meninggalkan sang adik dihari yang sudah mulai gelap.

"Arsa, pulang dengan siapa tadi nak?"

"Naik angkot, Ma"

"Kenapa gak sama Bang Bima?"

"Tadi Arsa kerja kelompok dulu, Ma"

Bima mendengar dari telinganya suara Mama yang menyambut kedatangan Arsa. Syukurlah anak itu pulang dengan selamat, Bima sempat berpikiran buruk setelah meninggalkan adiknya dijalanan tadi.

Setelahnya ia bangkit untuk bersih-bersih ke kamar mandi guna menghilangkan sejenak pikiran serta fisiknya yang lelah.

🔸🔸🔸

Seharusnya jika sudah malam begini mereka sudah berkumpul dimeja makan. Ada sebuah kegaduhan yang akan dibuat oleh Bima dan Arsa untuk meramaikan acara makan malam itu. Tapi sedari Bima duduk ia belum ada melihat Arsa keluar dari kamarnya. Bima bergerak gelisah, makan malam yang masih utuh dihadapannya belum di sentuh sama sekali.

"Arsa kemana, Ma?

"Ada dikamar, katanya dia mau makan dikamar" jawab Mama

Bima hanya mengangguk kecil setelahnya melanjutkan makan malam bersama Ayah dan Mama. Walau suasananya terasa sepi, karena tidak ada rengekan Arsa yang biasanya bermanja-manja dengan Mama ataupun dirinya. 

"Gimana sekolah kamu, Bim?" tanya Ayah

Bima terperangah, lantas menelan makanannya sebelum menjawab.

"Ada usulan dari wali kelas, Yah. Minta Bima buat ikut olimpiade sains kaya dulu lagi"

"Wah, bagus itu. Terus kamu jawab apa?" Ucap Ayah dengan heboh.

"Masih mikir-mikir dulu, Yah."

"Loh, kenapa? itu bagus loh" lanjut Mama.

Obrolan itu terdengar sangat seru sampai-sampai Arsa yang berada dilantai 2 mendengarnya dengan jelas. Saat ini ia sedang meringkuk dibalik pintu kamarnya sembari menguping. Bahkan Arsa bisa membayangkan bagaimana wajah bangga dari Ayah dan Mama untuk Bima.

"Abang hebat" gumam Arsa

Makan malam yang tadi ia bawa dari dapur kini tidak disentuh sama sekali. Karena ia sudah tidak merasakan lapar lagi justru semakin mengantuk.

Mencoba untuk tidur juga susah. Dirinya selalu kembali pada kilas balik pertengkarannya dengan Bima. Begitu membekas pada Arsa karena inilah pertama kalinya Bima meninggikan suaranya didepan Arsa.

Tapi semua itu sudah terjadi. Arsa juga berpikir tidak mungkin dirinya dengan Bima bisa akur setiap saat, ada saatnya dirinya bisa tidak sependapat dengan kakak nya itu berhubung kian hari usia keduanya makin bertambah maka pola pikir mereka akan semakin berkembang seiring dengan perjalan hidupnya masing-masing.

🔸🔸🔸


Minggu pagi hari ini terasa sunyi, saat Bima turun dari kamarnya ia sudah tidak mendapatkan Ayah dan Mama. Mereka sudah pergi karena urusan pekerjaan mereka yang tiba-tiba.

Mama juga sudah mengatakan tidak bisa menyiapkan sarapan dan meminta Bima untuk membelinya saja.

Bima berjalan kearah kamar Arsa untuk mengajaknya makan diluar bersama namun yang dilihatnya justru kosong dengan pintu kamar yang terbuka lebar. Kemana perginya anak itu? Bima menyusuri seluruh penjuru rumah sampai pada halaman belakang. Arsa berada disana sedang memasukkan bola basketnya kedalam ring. 

"Arsa!" teriak Bima dari dalam rumah. Padahal adiknya itu sangat susah bangun pagi, terlebih dihari libur seperti ini. Melihat bagaimana adiknya bisa disini membuat Bima curiga apakah adiknya itu tadi malam tidur atau tidak.

Teriakan itu sama sekali tidak digubris oleh Arsa. Bima yakin adiknya itu pasti mendengarnya, tapi dirinya seperti dinggap tidak Arsa. Arsa justru semakin semangat memasukkan bola itu hingga keringat bercucuran di wajahnya. 

"Arsa! lo dengerin gue gak sih?!" Teriak Bima lagi, dirinya sudah mulai geram. 

Arsa menghempaskan bola itu hingga menggelinding jauh. Ia menyeka keringatnya, kemudian berjalan kearah Bima yang menutupi jalannya untuk masuk. 

"Minggir" suaranya sangat kecil, tapi Bima masih bisa mendengarnya. Ia masih enggan beranjak dari tempatnya membuat Arsa berdecak karena jalannya terhalangi. 

Tatapan mereka beradu. Bima melihat jejak air mata diwajah Arsa serta maniknya yang tidak memiliki binar harapan.

Seburuk itukah ia menyakiti adiknya?

"Minggir!!"

Seketika tubuh yang penuh dengan keringat itu didekap, membuat Arsa terkejut. 

"Maaf"

Bima semakin mengeratkan pelukannya membuat Arsa juga ikut membalas dekapan itu.

"Jangan temanan sama mereka lagi" ucap Arsa.

Bima terkekeh mendengarnya. Adiknya ini bisa menyebalkan dan lucu dalam satu waktu. Arsa juga mudah dibujuk jika sedang marah.

"Lucu banget sih lo kayak dora."

Bima meraih wajah Arsa untuk ia cubit di kedua pipinya. Tidak tanggung-tanggung sampai membuat wajah adiknya itu memerah.

"Abaaang! Sakit ish.. "

Arsa mengusap kedua pipinya yang terasa panas sedangkan abangnya sudah tertawa kembali. Ia merangkul Arsa dan mengiringnya keluar dari rumah.

"Beli bubur ayam yuk?"

"Lagi pengen bakpao"

"Iya, nanti beli bakpao juga"

"Oke"

 

💚

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang