22.

2.1K 231 47
                                    

Hari itu juga Ayah datang menjemput Arsa di rumah Ibu. Pertemuan mereka setelah cukup lama membuat Ayah diam-diam menitikkan air mata. Arsa masih terlihat sama seperti dulu, bulu matanya yang lentik itu terlihat basah, hidung nya juga memerah tampak selesai menangis. Tidak banyak percakapan diantara mereka, tampak sedikit canggung.

Ayah sesekali melirik Arsa yang sedang fokus menatap jalanan luar. Cuaca setelah hujan terasa sangat sejuk maka dari itu Arsa masih tetap mengeratkan pegangannya pada lengan baju.

"Arsa apa kabar?" Akhirnya Ayah mulai membuka suara.

Tidak ada jawaban dari anak kandungnya itu, namun mata Ayah justru tertuju pada Arsa yang sedang memainkan jari jemarinya. Ayah menghela napasnya dalam. Sungguh ia sangat rindu pada anaknya yang cerewet itu.

Sedangkan Arsa, ia semakin dirudung rasa takut. Ia takut tidak sanggup menemui Bima. Sedari tadi ia selalu mengabaikan degup jantung dan rasa mual yang muncul dari tubuhnya. Sangat khawatir, apa dia siap bila bertemu Bima nantinya?

"Arsa, Terimakasih ya udah mau temui Abang. Nanti ngomong sama Abang ya, Nak?"

"Semoga Abang dengar Arsa dan keadaannya bisa membaik setelah ini."

Arsa hanya menggangguk. Ayah seolah sangat berharap pada Arsa, padahal anaknya itu setengah mati untuk tidak tegak mematung setelah melihat Bima.

Saat kursi rodanya mulai memasuki rumah sakit, saat itulah perasaan Arsa kian memburuk. Sedih, takut dan malu bercampur menjadi satu. Ini lebih menyakitkan dari sebelumnya, ketika dirinya melihat sang Abang yang terkujur lemah di atas brankar dan dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Arsa menutup rapat-rapat mulutnya ketika ia menyadari bahkan untuk mengurusi dirinya sendiri ia tak mampu.

Lalu untuk apa ia datang menemui Bima?

Untuk menambah lukanya?

Atau untuk mengingatkan Bima bahwa apa yang terjadi pada Arsa adalah karenanya?

Arsa keringat dingin saat kursi roda itu sudah sampai tepat didepan pintu. Diluar kamar sudah ada Mama dan Ibu yang menatap kedatangan Arsa dengan haru. Mama memeluk Arsa dengan hangat, bahkan Arsa merasakan rintihan pilu Mama yang membuat Arsa semakin dirudung rasa takut. Berkali-kali Mama mengucapkan terimakasih kepada Arsa. Sekali lagi. seolah-olah berharap Arsa akan dapat membangunkan Bima dari tidur panjangnya.

Saat pintu kamar itu terbuka matanya seketika tertuju pada sosok tak berdaya di atas brankar. Arsa terpaku menatap Bima yang masih setia menutup mata. Ayah segera membawa Arsa mendekat kearah Bima sehingga ia bisa lebih mengenal jelas wajah Abangnya.

Beberapa luka aspal menghiasi wajah Bima sampai Arsa tidak dapat mengira betapa dasyatnya kecelakaan hari itu.

Lengannya terangkat untuk menyentuh sisi tangan Bima yang tidak di infus. Dingin. Membuat Arsa semakin takut. Arsa sudah berkali-kali membuang napasnya karena sesak.

"A.... Abang..?"

Arsa menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ini pertama kali sejak ia tidak pernah menatap bahkan berbicara dengan Bima lagi.

Seketika air matanya menetes mengenai pipi, dengan kasar Arsa mengusapnya. Ia sangat takut saat ini. Sesak kembali memburunya. Sementara Ayah dengan sigap mengusap pundak Arsa memberi ketenangan.

"Abang.... "

"Maafin Arsa.... "

"Bangun, Bang.... Arsa rindu...."

Tidak lama kemudian Arsa melihat tetesan air mata Bima dari sudut matanya. Arsa merasa sangat bersalah. Ia benar-benar jahat.

ARSHAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang