Chapter II.

32 4 2
                                    

Mata Aelius begitu panas melototi laptop seharian ini. Tugas yang diberikan dosennya tidak main-main, membuatnya menutup laptop dan memandang ke arah luar jendela kafe. Arlojinya saat ini menunjukkan pukul sepuluh pagi dan hari ini, dia ada kuliah jam dua belas nanti. Karena tidak ingin mengambil risiko terlambat, dia memutuskan untuk ke kafe.

Kemarin, dosennya memberikan tugas yang begitu banyak dan harus selesai pada hari itu juga. Aelius tahu dengan tugas sebanyak dan waktu sesempit itu, dia tidak mungkin berangkat kerja paruh waktu seperti dulu. Sejak pagi hingga sore, matanya terus menatap laptop dan begitu membuat kepalanya pening setelah melepaskan pandangan dari jendela ajaib itu. Hari ini, dia memiliki jadwal presentasi di salah satu mata kuliah yang diampu Prof. Rosetta Willermus.

"Permisi, roti isi pesananmu," ucap seorang wanita yang membawakan Aelius roti isi pesanannya.

Aelius menyingkirkan laptopnya dan melirik ke arah cangkir kopinya yang sudah habis. "Tambahkan secangkir teh untukku, terima kasih."

"Baik, Tuan!" Wanita itu tersenyum sambil memainkan rambutnya, tampak sekali senyumannya itu berusaha menggoda Aelius. Namun Aelius memilih menyantap roti isi yang telah menyita perhatiannya.

Aelius mendesah lalu mendengar berita yang ada di televisi. Penyerangan vampir lagi. Entah kenapa belakangan ini, penyerangan vampir kerap terjadi di beberapa negara, termasuk Swiss. Jenewa dan Basel adalah kota-kota yang sering mendapat laporan serangan. Menurut berita, serangan itu dilakukan oleh sebuah klan.

Ponselnya bergetar dan tulisan 'Ibu' terpampang jelas di sana. Dia menekan tombol hijau dan menempelkan ponselnya di telinga. "Ya, Bu?"

"Bagaimana dirimu sekarang? Kau sudah sarapan?"

"Diriku baik. Aku sudah sarapan, sekarang aku sedang menunggu di kafe untuk kelas nanti. Ada apa?" Aelius balik bertanya.

Terdengar helaan napas dari ibunya. "Ah, Aelius. Ibu hanya cemas, belakangan ini banyak serangan vampir. Bagaimana? Zurich aman, bukan?"

Aelius tersenyum simpul meski ibunya tidak bisa melihatnya. Dirinya juga tampak lega. "Iya, Bu. Tidak ada serangan di Bern, 'kan?"

"Tidak, tapi tetap saja... kami khawatir padamu. Kakakmu sendiri pulang kemarin karena takut di sana serangan terus terjadi. Kuharap kau tidak apa-apa selama di sana, Sayang."

"Tenang saja, Ibu. Aku akan baik-baik saja. Lagipula, mereka akan takut padaku." Aelius terkekeh pelan, lalu melirik ke arah wanita yang datang membawakan pesanan tehnya.

"Baiklah, tetap jaga dirimu. Kau harus tahu, jika di sana sudah berbahaya, lekas pulang!"

"Baiklah, Bu. Aku tutup dulu!" Aelius pun membiarkan ibunya menutup telepon dan kembali menyantap roti isinya.

Pandangan Aelius terarah ke luar jendela lagi. Dari sudut matanya, dirinya menangkap sosok gadis yang ditemuinya di perpustakaan seni beberapa hari yang lalu. Kali ini, rambut gadis itu terurai dengan sebuah pita di atas telinganya, tubuhnya terbalut dengan kaos lengan panjang oversized berwarna hitam dan jeans panjang yang nyaris tidak menampakkan lekuk kakinya.

Aelius memandangnya cukup lama. Gadis itu mungkin terlihat cantik, tapi dirinya bukan orang yang sembarang suka dengan seorang gadis yang baru ditemui. Namun, ada sesuatu dalam gadis itu yang selalu menariknya, seolah ada yang tersembunyi di balik dirinya itu. Tangan gadis itu merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel.

Siapa kau sebenarnya? Aelius bertanya-tanya dalam hati.

Tak lama kemudian, seseorang mendekatinya dengan senyuman lebar dan jelas dirinya mengenal siapa itu, Gio. Gadis itu tersenyum ke arah Gio dan bersalaman. Aelius tersentak melihat keduanya, lantas mengernyitkan kening. Gio?

The Fate of EldersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang