Chapter X.

10 3 0
                                    

Beberapa hari kemudian...

Tepat di atas bangku taman kampus, Aelius menunggu kedatangan Luna. Hari ini, mereka berjanji untuk menyantap bekal bersama. Aelius duduk sembari mengamati sekitar dan terlihat dari raut wajahnya, dia begitu berseri-seri. Entah apa yang terjadi, tapi baginya dia benar-benar menantikannya.

Sudah berapa lama sejak aku mengajakmu pergi. Setiap kali kita bertemu, rasanya hatiku menjadi hangat dan ingin terus bertemu denganmu, batin Aelius.

Aelius sendiri nyaris melupakan permasalahan vampir. Hingga saat ini, Helia masih belum terlihat. Heidi pun tidak lagi menghubunginya sejak mereka bertemu Ketua secara langsung--atau lebih tepatnya, orang yang menyamar menjadi Ketua.

"Hai, Luna!" Aelius menyapa ketika sosok gadis itu terlihat mendekatinya.

Luna menyunggingkan senyuman lalu duduk di sebelahnya. "Hai! Kau terlihat begitu senang!"

Aelius tersentak, mendadak merasa panas pada pipinya. "Benarkah?! Ku-kurasa karena... aku menyelesaikan beban terberatku, yaitu makalah."

Luna menghela napas. "Tidak ada yang lebih buruk dari makalah. Aku bahkan belum menyelesaikan punyaku."

Aelius menunduk. Tidak! Harusnya aku tidak membuatmu terpikirkan hal aneh! Alasanku senang... sebenarnya karena bisa bertemu denganmu. "Maaf, aku jadi membuatmu teringat."

"Tidak apa-apa!" Luna menggeleng.

Perlahan, mereka mengeluarkan bekal yang mereka bawa. Aelius membuat roti isi tuna dengan sedikit sosis darah di dalamnya--dia berinisiatif untuk bisa menyantap darah meski dalam bentuk makanan--sementara Luna membawa buah dan salad, lalu disertai dengan jus apel.

Setelah saling menukar bekal, mereka mulai menyantap makanan mereka bersama. Luna tampak terkejut begitu mencicipi roti isi Aelius. Dia seperti menyantap sesuatu yang rasa lezatnya menekan hingga tulang. "Enak..."

Aelius tersenyum begitu mendengar pujian Luna. "Benarkah?! Senangnya kau bisa menerima itu..." Saat masih menjadi manusia, roti isi tuna itu adalah andalan ibuku. Semenjak menjadi setengah vampir, aku menambahkan beberapa iris sosis darah. Kuharap dia tidak keberatan.

Luna mengangguk. "Enak sekali! Sosisnya sangat lezat! Tidak mengganggu komposisi yang lain."

"Syukurlah..." Aelius menarik napas panjang.

Ketika hendak melanjutkan makan mereka, ponselnya bergetar. Aelius menatap Luna dengan tatapan bersalah. "Maaf, biar aku lihat dulu!"

Luna tersenyum dan mengangguk kecil. "Mmm-hmm..."

Aelius merogoh saku dan menarik ponselnya. Keningnya berkerut, berusaha menebak siapa yang menghubunginya. Setelah membaca nama si penelepon, dia menerima serangan berat di jantungnya, seolah memberikan dorongan besar bagi jantungnya untuk berdebar. He-Helia?!

"Ada masalah?" tanya Luna tiba-tiba.

Aelius menggeleng cepat, mendadak tubuhnya mulai dibanjiri keringat. "Ti-tidak. Bisakah kau menunggu sebentar?"

Luna mengangguk kembali. "Baiklah."

Aelius beranjak lalu melangkah untuk menjauh dari Luna sejenak. "Helia?!"

"Hah... hah... argh! A-Aelius... hah..."

Mata Aelius membulat mendengar napas Helia yang tersengal, seolah dirinya juga berusaha menahan sesuatu. "Helia?! Ada apa?! Kenapa suaramu begitu?!"

"Argh! A-Aelius... hah... a-aku... berusaha untuk... hah... kabur!"

"Di mana kau sekarang?" tanya Aelius.

The Fate of EldersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang