Chapter III.

33 3 0
                                    

"Ayo semua, kita sudah tiba!"

Seruan seluruh anak di bus membuat suasana menjadi hidup. Pemandangan Lauterbrunnen yang begitu tampak seperti dongeng mampu memanjakan mata. Belum lagi dengan pemandangan lembah dan air terjun yang membuat mereka begitu senang bisa melepaskan diri dari kehidupan kampus.

Sebuah rumah berukuran besar dengan bentuk arsitektur yang sangat mirip dengan rumah-rumah pada negeri dongeng menjadi tujuan akhir mereka. Rumah besar itu terletak membelakangi air terjun yang berada di lembah tadi. Kayu-kayu yang menopangnya begitu kokoh dan terpoles cantik, dengan halaman luas nan hijau, penuh dengan tanaman yang cantik.

Mereka tiba di sebuah vila sewaan yang sudah dipesan Gio jauh hari. Vila itu memiliki tiga lantai dan kamar yang cukup banyak. Lantai satu berisikan ruang santai, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan ruang bermain. Dalam ruang santai, terdapat beberapa sofa dan perapian, lengkap dengan karpet cokelat serta rak buku yang begitu penuh. Ruang itu memang didesain untuk bersantai sambil membaca buku.

Ruang bermain memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Ada berbagai permainan di sana, termasuk biliar dan tenis meja. Tak lupa juga terdapat mini bar di pinggir ruangan. Kamar mandinya tidak begitu istimewa, hanya ada satu pancuran dan toilet. Dapurnya memiliki kesan kuno tapi menawan. Batu marmer menjadi bahan utamanya dan terlihat begitu cantik dipadukan dengan kayu-kayu yang sudah terpoles rapi.

Lantai dua dan tiga berisikan kamar tamu dan kamar mandi yang jauh lebih besar. Ada satu set bathtub dengan pancuran dan toilet, lalu kamar mandinya juga luas, cukup mencakup beberapa orang. Pada bagian halaman belakang, terdapat kolam renang berukuran sedang dengan alat pemanggang barbeque.

"Ayo, berkumpul!" Gio berseru agar mereka berkumpul di ruang santai. Saat sudah berkumpul, Gio memandang mereka satu per satu. "Ini adalah vila yang kita sewa dengan harga cukup... terjangkau? Lupakanlah!"

Aelius memperhatikan langit-langitnya, terlihat lampu gantung yang begitu mewah menghiasi pondok yang bernuasa sederhana ini. Dindingnya pun terbuat dari bata-bata merah dan juga kayu ek yang memberikan nuasa kuno, tapi berkelas.

"Kalian bebas pilih kamar, asal sesuai pada lantainya. Laki-laki di lantai tiga, perempuan di lantai dua. Kunci sudah terpasang di depan pintu, tinggal pilih kamar. Ingat, kita di sini juga untuk bersenang-senang. Manfaatkan waktu ini dengan sebaik mungkin," pesan Gio, lalu menatap Edgar yang berdiri di sampingnya. "Ada yang mau kau sampaikan?"

Edgar berdeham. "Baiklah, tidak banyak yang akan kusampaikan. Aku cuma ingin mengingatkan, meski kita di daerah Lauterbrunnen, bukan berarti tidak ada kemungkinan jika kita tidak akan bertemu dengan vampir. Tetap waspada, bagi kita, ini adalah daerah asing. Kita pendatang bagi mereka yang tinggal di sini. Hormatilah mereka."

Gio menyahut, "Ah, satu lagi. Lauterbrunnen juga menerapkan aturan baru mengenai konflik vampir ini, yaitu larangan keluar malam di atas jam sembilan. Jadi, saat jam sembilan, diharapkan tidak ada yang di luar."

"Baik."

***

Kini, seluruh anak-anak klub pecinta alam sudah berkumpul di ruang bermain untuk acara perkenalan sekaligus sambutan. Aelius turun bersama Gio dan anak laki-laki yang lain. Mereka mendapati ruang bermain masih sepi, hanya ada Edgar, Luna, dan seorang lelaki lainnya yang tidak Aelius kenal.

Aelius melihat Luna tengah berbicara serius dengan Edgar. Dia memakluminya karena Edgar adalah ketua dan Luna adalah sekretarisnya sedangkan dia hanya anggota. Tepukan di pundaknya membuat tubuhnya tersontak dan memberikan tatapan tajam pada orang yang baru saja melakukannya. Cengiran khas Gio pun tidak mampu meredam tatapan itu.

The Fate of EldersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang