Chapter IV.

24 3 0
                                    

Pagi hari telah menyapu Lauterbrunnen. Aelius masih belum bisa beristirahat usai melihat kejadian di semalam. Setelah mengetahui ada kemungkinan kaitannya dengan vampir membuatnya sedikit merinding. Bagaimanapun, vampir yang baik tidak akan menculik orang seperti tadi.

Astaga... itu membuatku gila! Aelius memegangi kepalanya tidak percaya.

"Aelius! Kawan, ayo cepat! Sarapannya sudah siap!" panggil Gio dari luar kamar Aelius.

Aelius menarik napas. "Ya, aku akan menyusul."

Tampaknya Gio pergi setelah itu sementara Aelius merebahkan dirinya lagi di kasur. Jika orang yang dia lihat adalah vampir dan sudah menunggu di depan vila mereka, ada kemungkinan Lauterbrunnen bukan lagi tempat yang sekedar cantik, tetapi juga berbahaya terima kasih berkat vampir.

Aelius merasakan ponselnya bergetar. Segera tangannya meraih ponsel di meja kecil sebelah kasur dan melihat siapa yang membuat ponselnya bergetar. Kerutan di dahinya menandakan orang itu bukan orang yang dikenalnya. Begitu Aelius membukanya, entah kenapa ada secercah harapan lembut baginya.

"Aelius, ini aku, Luna. Kau sudah bangun? Yang lain sudah turun. Ayo, bangun dan turun!"

Aelius mengernyitkan dahi. Dari mana dia dapat nomorku? Tak ambil pusing, dia pun beranjak. Entah kenapa pesan itu membuatnya sedikit bersemangat.

Dengan langkah santai, Aelius turun menuju ruang makan, di mana semua sudah berkumpul untuk sarapan sekaligus menjalankan rencana hari ini. Menurut yang didengar Aelius dari Gio, mereka akan berkeliling Lauterbrunnen seharian. Bukan ide yang mewah, tapi sederhana dan mampu memanjakan dirinya pada alam untuk sementara.

Lambaian tangan Gio menarik perhatian Aelius. Kakinya pun mempercepat langkah untuk bisa duduk di hadapan seniornya itu. Ketika duduk, Gio sudah menyodorkan piring yang berisikan rösti dan juga irisan roti dengan fondue. Susu putih segar menjadi minuman pilihan dan tertata di meja panjang di sisi ruang makan.

"Makan yang banyak, perjalanan kita jauh," kata Gio sambil tersenyum sendiri lalu menangkupkan pipinya.

Aelius mengangkat satu alisnya dengan bingung sembari mencelupkan rotinya ke fondue. "Oke..."

Gio terkekeh tiba-tiba, membuat Aelius merasa tak nyaman. Menyadari hal itu, Gio mencondongkan tubuhnya. "Kau pakai alat apa?"

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Aelius bingung.

"Luna." Gio berbisik sambil mencari keberadaan gadis itu. Namun karena tidak ada, matanya menatap Aelius. "Dia mengirimmu pesan, 'kan?"

Aelius menghela napas dan meletakkan rotinya lagi. "Kau yang memberikan nomorku."

"Eh, jangan marah! Dia yang meminta dulu! Aku harus memberikannya karena tidak baik membiarkannya tidak tahu nomormu," ujar Gio sambil tersenyum. "Tampaknya, Luna memang terpikat padamu."

Aelius tersenyum manyun. "Jangan berkata begitu kalau kau mau aku selamat. Kalau dia terpikat denganku, bagaimana dengan Edgar?"

Gio terdecak dan menyandarkan punggungnya. "Dia harus mundur."

Aelius tersentak. "Apa?"

Gio mengangkat alisnya dan mengetuk meja dengan telunjuknya. "Dengar, ketika wanita tidak tertarik padamu, kau harus mundur. Itu aturan utamanya. Edgar memaksa. Kau tahu apa yang terjadi pada cinta yang dipaksakan?"

Aelius mengendikkan bahu, tidak peduli dengan ocehan Gio. "Sakit hati? Lucu sekali. Sebelumnya kau bilang padaku untuk jangan terpikat dengannya."

"Tepat sekali! Namun melihat ini, kurasa tak ada salahnya. Lebih baik, kalian jalan berdua saja. Siapa tahu kalian cocok," kata Gio diikuti cengirannya.

The Fate of EldersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang