Chapter XVII.

35 2 0
                                    

Demi tiket pertunjukkan, Aelius menyetujui sebuah tugas yang sangat berbahaya tapi bernilai cukup tinggi. Dia sudah menerima pembayaran uang muka yang ditentukan, sementara untuk tiketnya, Caroline berkata bahwa itu urusan yang mudah. Meski hanya setengah dari biaya uang muka yang disepakati, tetap saja baginya nominal itu tergolong besar.

Dalam mobil di sore hari, Rhein melajukan mobilnya kecepatan sedang sambil memutar musik. Dia sesekali melirik ke arah Aelius yang tampak tenang. "Kau tampak tenang. Biasanya saat orang akan terjun untuk misi pertama, mereka gelisah setengah mati."

Aelius menoleh sekilas ke arah Rhein dan mendecakkan lidah. "Gugup, sedikit. Tapi Hartwell dan aku sudah sepakat."

Rhein mengangguk pelan. "Baiklah. Namun, sesuai dengan arahan sebelumnya, aku akan mengawasimu. Kalau sampai terjadi masalah, aku yang maju."

Aelius mengangguk cepat dan tersenyum ke arah Rhein. "Sangat mudah dipahami."

Rhein hanya menghela napas dan melajukan mobilnya sedikit lebih cepat. Setelah perjalanan cukup panjang, mereka pun tiba di Lauterbrunnen. Karena sudah malam, terlihat jalanan sudah sepi--mengingat peraturannya juga belum berubah. Rhein mengecek GPS untuk melihat posisi rumah dari ibu Helia.

Pada akhirnya, Rhein menghentikan mobilnya tepat beberapa meter dari rumah ibu Helia. "Oke, kita sampai."

Aelius menegakkan posisi duduknya dan memandang lurus. Perlahan, dia memejamkan mata dan mengingat bayangan di mana dirinya diseret oleh kakak Helia. Dia pun menarik napas panjang. "Baiklah."

"Hei!" Rhein menahan Aelius sebelum keluar dan menunjukkan telinganya dengan telunjuk. "Sudah pasang alatnya? Untuk berkomunikasi?"

Aelius mengangguk. "Aku bahkan bisa mendengarmu dari sini."

Rhein mengangguk pelan dan menepuk punggung Aelius. "Semoga berhasil."

Aelius tersenyum sekilas lalu membuka pintu mobil dan keluar. Udara dingin langsung menusuknya. Aku tak ingat jika Lauterbrunnen sedingin ini. Perlahan, dia melangkah ke arah rumah itu dan berusaha untuk tidak menarik perhatian siapapun.

Oke, jadi rumah ini kosong dan seharusnya tidak ada siapapun. Baiklah, kuncinya sudah ada di sini. Seharusnya tidak masalah... Aelius segera mendekati pintu dan menyelipkan kunci dalam lubangnya. Setelah memutar kunci dan berhasil membukanya, dia langsung masuk dengan amat perlahan.

"Aelius, aku yakin kau bisa mendengarku dengan jelas!" kata Rhein melalui alat komunikasi mereka.

"Sangat jelas!" Aelius berbisik. "Aku sudah masuk dan... menuju kamar Helia!"

"Diterima, lanjutkan!"

Aelius segera menaiki tangga dengan amat hati-hati. Sebelum pergi, Helia sempat memberitahu mereka di mana dia menyembunyikan formula serta serumnya. Dia menyembunyikannya di dalam celengan masa kecilnya, yang bagian bawahnya bisa dibuka. Celengan... celengan...

Ketika mendapati pintu dengan nama Helia yang tertulis di sana, Aelius membukanya dengan hati-hati dan masuk. Baik. Sekarang, di mana celengannya?

Pencarian pun dimulai. Aelius mencari celengan itu hingga di sudut plafon. Akan tetapi, dia tidak menemukan satupun celengan. Dia bahkan membuka lemari Helia--walau dia sudah meminta izin, tapi tidak di depannya langsung--dan mengecek satu per satu. Di mana celengannya? Apa di bawah kolong?

Spontan, Aelius segera menyinari kolong kasur dan tidak menemukan apa-apa. "Rhein, aku tidak menemukannya!"

"Apa kau bilang? Tidak ada satupun?"

"Ya! Aku ingat seperti apa celengan itu, tapi kali ini, aku sama sekali tidak menemukan celengan!" jelas Aelius setengah berbisik.

Hening, tak ada balasan dari Rhein. Aelius kembali bertanya, "Harus bagaimana sekarang? Rhein?"

The Fate of EldersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang