Putih, semua serba putih, ruang tunggu untuk mengambil obat, semua ornamen disitu berwarna putih, khas rumah sakit pada umumnya. Di malam minggu yang biasanya banyak remaja habiskan untuk bermain, belanja, nonton, atau bahkan sekedar nongkrong. Ya aku juga sedang nongkrong, melihat kesibukan perawat dan petugas rumah sakit sedang menjalankan pekerjaannya. Ruang tunggu yang cukup besar dengan kursi yang banyak namun hanya sedikit orang yang menunggu disini, bahkan hampir tidak ada. Hanya diriku yang duduk di kursi paling belakang, sementara ada seorang gadis yang duduk sendirian di paling depan. Dia juga seperti sedang menunggu obatnya, apa dia juga sakit. "Kalista" tak lama namanya dipanggil oleh petugas apotek, namanya sangat tidak umum, dan entah kenapa aku merasa agak familiar dengan nama itu. Sesaat ku memikirkan seseorang yang terlintas di benakku, namun aku langsung menepis pemikiran itu, dan menegaskan pada diri sendiri kalau itu tidak mungkin dia.
Kemudian gadis itu menghampiri petugas yang memanggilnya dan mengambil obat nya, setelahnya langsung berlalu pergi dari rumah sakit. Dengan memakai jaket yang agak tebal dia seperti halnya gadis lainnya, namun sepertinya dia sebaya denganku, apa mungkin benar dia. Tak lama petugas apotek kemudian memanggil namaku, aku pun bergegas untuk mengambilnya. Setelah itu aku juga bergegas pulang, namun seraya berjalan keluar ruangan aku melewati kursi yang diduduki gadis tadi, ada sesuatu yang tertinggal, sebuah buku berukuran kecil, mungkin ini buku milik si gadis yang tertinggal. Aku mengambil buku itu mencoba untuk memastikan dan kulihat sampul nya itu seperti buku laporan kesehatan atau semacamnya, namun saat ku coba membuka buku itu si gadis tadi kembali lagi dan setengah berteriak " Haah, syukurlah masih ada." dia seperti kegirangan, kukira dia akan marah, aku langsung memberikan buku ini padanya, dan dia terlihat sangat senang. Entah apa isinya buku itu aku tak tahu, namun yang pasti buku itu sangat berharga bagi gadis ini, sampai membuat dia nampak lelah seperti sudah berlari karena mencari bukunya ini.
"Makasih yah, untung kamu yang nemuin buku ku, Ngomong-ngomong kamu lagi ngapain disini Yan?" gadis ini terlihat bersyukur sekali, ternyata apa yang aku pikirkan dari tadi benar, dia adalah teman sekelas ku. Kalista, gadis yang selalu terlihat ceria dan menjadi perhatian se isi kelas, bahkan disekolah pun dia juga cukup populer. "Hmm, aku cuman cek kesehatan saja." jawabku. "Oh, lemas sekali suaramu, kamu memang lagi sakit Yan hihi." sembari sedikit meledek dia mengkritik cara bicara ku. "Ah, maaf saja. Cara bicaraku memang selalu begini." ku jawab lagi dengan secukupnya sembari menyerahkan buku itu padanya. "Hmm, ya itu penyakit kamu semenjak kelas satu, kamu itu punya penyakit jutek akut." dia kembali tertawa, "Yaudah Yan, mending kita cepat pulang, aku bosan disini terus. Dahh, sampai jumpa Yan." dia kemudian berlalu pergi, dan aku hanya terdiam berdiri hingga dia hilang diambang pintu. Aku sebenarnya tidak terbiasa berbicara seperti ini, ah mungkin barusan adalah rekor pembicaraan terpanjang di bulan ini.
Sore menyingsing dalam perjalanan pulang, kulihat awan sudah berwarna jingga terpantul cahaya senja matahari yang akan segera terbenam. Malam minggu ini mungkin akan menjadi malam minggu seperti yang sudah ku lalui selama ini, sunyi sepi dan sendiri. Di simpang jalan ada sebuah toko buku, ku putuskan untuk singgah sebentar untuk melihat-lihat. Toko buku yang cukup besar dengan mempertahankan nuansa klasik, dengan tema serba kayu menjadikan tempat ini sangat sering ku kunjungi. "Halo Kak Yan..!" Sebuah teriakan yang tidak asing, sumber suara bising ini selalu menyapa kala aku datang kemari. "Yo halo Din." aku menjawab sapaan nya. "Yaelah, lagi-lagi datar. Malam mingguan kok ke toko buku, mana sendiri pula haha." dia kembali mengeluarkan bunyi, ah apakah dia manusia atau radio rusak. Dia Nadin, adik kelasku dan juga anak pemilik toko buku ini, dia disini untuk membantu ayahnya. "Lah, sebelum ngejek, ngaca dulu Din. Kamu juga disini kan." aku pun mencoba membalas ejekannya, tapi. " Yee, aku mah beda dong, aku mah anak berbakti sama orang tua wlee..." ya dia selalu punya jawaban untuk ngeles.
"Gimana, ada gak pesanan ku?" tanya ku, sambil berbisik
"Ini barang langka, kami cuman kebagian 10, dan habis dalam dua hari." dia juga ikut berbisik seolah kami seperti sedang melakukan transaksi gelap.
"Ah sial, aku telat, memang sih barang itu susah di dapetin." aku sedikit agak kecewa, namun Nadin seperti terlihat senang dan seperti menyembunyikan sesuatu.
"Tadaaaa... aku nyisain satu. Ahahaha." dia tiba-tiba mengagetkanku dengan tawa jahatnya.
"Ada! ahh syukurlah cepat jual padaku." aku memohon dia menjualnya padaku, Novel trilogi yang mendapat lanjutannya. Aku suka ceritanya, yang mana ini adalah sebuah karya fiksi petualangan di dunia fantasi, yang sudah sampai lanjutan ke-6 nya, padahal menurut penulis nya hanya akan dibuat sampai empat buku, namun karena minat nya tinggi, dia melanjutkan projectnya nya sampai sepuluh buku. Namun entah kenapa buku ini diproduksi tidak banyak, hingga kesan eksklusif sangat melekat pada cerita ini, hingga tak semua toko buku dapat menjual, sekalipun ada tidaklah banyak.
"boleh aja.. tapi ada syaratnya." dia memberikan syarat, namun pasti hal yang menjengkelkan.
"ahh ribet, apaan.?
"Sebut dulu Nadin cantik, baik hati dan tidak sombong. hihi." sudah kuduga, dia akan bicara seperti ini.
"Hah, cantik dari mana, kamu tuh cerewet, berisik pula."
"Ehhh, yaudah aku jual ke orang lain aja, dari kemarin udah banyak yang mesen." Dia mulai mengeluarkan jurus andalan nya,
"Ehh, jangan, Yaudah, ah anu, Nn Nnadin cantik, baik hati hmm dan euhh tidak sombong." suaraku pelan.
"Haahh, apaan? gak kedengeran Kak, yang keras dong hihi." dia malah semakin asyik menggoda.
"Iyah Nadin cantik baik hati dan tidak sombong! Boleh yah aku beli Novel nya, uhhh lucu deh." sekalian saja aku melantangkan suaraku.
Nadin yang dari tadi cerewet terdiam dan malah menunduk, kenapa dia, malah seperti kebelet. "Oy Din, cepat dong. Berapa harganya.?" Dia malah diam terpaku dan malah salah tingkah, dia perlahan mengangkat wajahnya yang memerah sambil tersenyum, tidak berkata-kata malah mengisyaratkan dengan jari nya. " Hoo 120 yah." dia hanya mengangguk-ngangguk, kenapa sih. Akupun membayarnya dan Nadin membungkuskan nya kedalam tas plastik. "Makasih yah Din, dah." aku pun pergi dan Nadin hanya melambaikan tangannya. Dia berubah begitu cepat, dari cerewet tiba-tiba diam seperti gitu, kadang aku tak mengerti dengan sikapnya yang seperti itu.Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam, dan aku hampir sampai di rumah. Ah, hari ini sungguh melelahkan, aku yang tidak terlalu suka mengobrol dengan orang lain malah harus melewati hari ini, merepotkan. Baru kusadari aku belum makan seharian ini, mungkin ini juga penyebab aku cukup kelelahan. Sebelum sampai ke rumah ku putuskan untuk membeli beberapa makanan ringan dan juga mie instan untuk kusantap nanti malam di minimarket dekat rumahku. Saat memasuki minimarket ini aku langsung merasakan dingin karena AC di minimarket ini, aku sangat tidak menyukai udara dingin seperti ini. Udara yang terlalu panas pun aku juga tak begitu suka, lebih tepatnya aku tak boleh didalam kondisi tersebut, karena saat udara yang terlalu lembab ataupun kering akan membuat tubuhku merasakan gejala sakit. Karena Paru-paru ini begitu spesial, tidak seperti paru-paru orang lain. Paru-paru ku ini harus mendapatkan perhatian khusus, itulah kenapa aku tak begitu suka berbicara dengan banyak orang. Ataupun aktifitas yang menguras stamina, begitu juga dalam olahraga aku payah, oleh karena itu aku dicap sebagai orang malas.
Dengan cepat aku membayar ke kasir dan buru-buru pergi dari minimarket, aku tak mau berlama-lama disana, atau akibatnya akan fatal nanti. Namun begitu keluar minimarket cuaca malam kini juga terasa begitu dingin, tak jauh beda dengan AC di minimarket. Aku bergegas mempercepat langkahku agar segera tiba di rumah. Aku melewati rumah demi rumah dikampung, dengan lampu yang memancar dari jendela, dan siluet keluarga yang sedang menikmati makan malam bersama, ada yang sedang menonton televisi bersama, dan juga terdengar suara tawa hangat mereka. Terdiam sebentar menatap langit penuh bintang malam ini, dan ku lihat bulan hanya nampak seperti sabit, dimana ada lubang besar ditengahnya namun tetap memancarkan cahaya yang cukup menyilaukan. Kembali berjalan dijalan setapak ini dengan sedikit menggigil karena terasa angin yang menerpa tubuhku kini semakin dingin hingga ke tulang, dan nafasku mulai terasa berat dan ada yang menghalangi tenggorokanku, hal yang ku takutkan terjadi. Jarak rumahku tinggal beberapa meter namun kaki kini terasa berat. Aku pun bergegas mengeluarkan obat yang ku beli tadi, selain obat resep dari dokter, aku juga membeli sebuah obat khusus untuk membantu pernafasan ku. Sebuah inhaler ku semprotkan kedalam mulut, nafasku yang tadi sesak kini menjadi lega, kakiku bisa kembali berjalan, karena tadi saat ku merasa sesak nafas seluruh tubuhku juga merasakan sakit, dan kini menimbulkan pegal dan rasa kantuk yang teramat sangat.
Sesampainya di rumah, aku terduduk begitu saja didepan pintu, lelah menyerang tubuh, ingin rasanya tidur saja disini. Tapi rasa dingin akan membuat nafasku sesak lagi, aku pun bergegas masuk. Di rumah aku tinggal sendiri, kedua orang tuaku sudah tiada sejak SMP. Dan rumah ini adalah warisan dari mereka, rumah ini selain terasa sangat dingin dan sepi, juga sunyi. Hal yang menghidupkan suasana hanyalah dari radio antik yang ku nyalakan, mendengarkan berbagai lagu dan mendengarkan percakapan penyiar radio membuatku merasa tak sendiri. Aku sengaja membiarkan radio itu menyala semalaman agar sepi ini hilang. Selain itu aku juga menjadikan radio sebagai pengantar tidur selama ini, agar rasa sepi tak menggangguku dan berinteraksi saja dengan bising dari radio. Terbaring di kursi dan mendengarkan lagu klasik instrumental, sembari membuka makanan yang sudah kebeli tadi, dan menyiapkan panci untuk memasak mie instan. Karena sekarang perutku juga sudah terasa sangat lapar. Tentunya mie instan , secangkir kopi panas dan musik radio adalah teman yang tepat untuk menemaniku di setiap malam minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
September Rain
NouvellesMenjalani hari-hari dengan biasa saja hingga beberapa kejadian yang terjadi di bulan September merubah dunia nya yang selama ini akrab dengan kesendirian, Iyan yang selalu kesepian dengan kondisi paru-paru nya yang spesial di pertemukan dengan seora...