Bagian 13

1.4K 181 15
                                    

Happy Reading

.

Terhitung sudah 30 menit Arga disini, memandangi sebuah rumah cukup elit yang berada diseberang sana. Duduk dengan santai diatas sepeda motornya yang berdiri gagah dipinggir jalan. Tak mengindahkan banyaknya lalu lalang kendaraan yang sesekali menutupi pandangannya dari objek tersebut.

"Datengin nggak ya?" Ia ragu. Entah bagaimana ucapan Ayahnya tempo hari lalu terdengar menggema didalam kepalanya.

'Dia tidak menginginkan kamu, Arga!'

Namun dengan cepat ucapan lembut Bi Inem terdengar menyela.

'Bu Elva orangnya baik. Dia sayang sama, Den Arga.'

"Arghh!! Bisa gila gue!!" Arga mengusap wajahnya kasar. Membuat make up hasil kerja keras Shanaya siang tadi hilang begitu saja. Kembali membuat luka-luka yang membiru itu terlihat lebih jelas.

Setelah pulang sekolah, Arga kembali berniat untuk menacari Mamanya. Masih ada waktu 3 jam sebelum menginjak malam, waktu dimana dia harus sudah berada dirumah.

"Bang! Kalo teriak tuh pelan-pelan dong! Kan saya jadi kaget!"

Arga menoleh cepat, netranya menatap penuh tanya pada pengamen jalanan yang berdiri disampingnya dengan tangan yang menyentuh dadanya.

"Kalo teriak pelan ya bukan teriak namanya!"  Balas Arga merasa tak bersalah.

Si pengamen pun diam, merasa apa yang diucapkan Arga ada benarnya juga.

"Tapi mas nya bukan orang gila kan?"

Demi kancut Nanta yang berwarna pink! Mana ada orang gila berpenampilan sekeren ini?! Seragam sekolah mahal, jaket kulit, motor sport, dan helm fullface bermerk?!

Meski sama dengan apa yang diucapkan Lukas tempo hari lalu, yang mengatakan jika Arga tak mempunyai aura orang kaya, namun tetap saja mana ada orang gila setampan dia. Eh?

Maka dengan begitu Arga berdiri, memasang tubuh penuh gaya, "Coba deh Abang lihat gue, kayaknya mata Abang kemasukan debu-debu kehidupan."

Dia lantas menyugar rambutnya kebelakang, membuat pose sekeren mungkin. Hingga dapat si pengamen rasakan aura kepedean terasa begitu kuat dari diri remaja ini.

Dan mungkin jika kepedean itu berbau, maka sudah dapat dipastikan ia akan sesak napas, kejang-kejang, menggelinding ke tengah jalanan, mati, hidup lagi, kembali menggelinding, lalu menabrak pohon, dan berakhir hilang kesadaran.

"Biasa aja." Dua kata yang berhasil membuat Arga mati gaya.

Arga tersenyum miris, mengelus dadanya sabar, "Tahan. Jangan ngatain, jangan ngumpat, jangan mukul. Dosa."

"Terimalah lagu ini," Tiba-tiba si pengamen bernyanyi.

"Hah? Apa?" Tanya Arga kala mendapati tangan pengamen itu terjulur padanya setelah menyelesaikan seklumit lagunya.

"Bayar, Mas."

Dahi Arga mengerut, "Bayar apaan? Perasaan gua nggak punya utang apapun sama Abang."

"Kan tadi saya nyanyi, dan karena Mas nya disini selaku pendengar suara saya jadi ya harus bayar."

Arga melotot tak percaya, "Apaan nyanyi durasinya sama singkatnya kayak kentut minta bayaran,"

"Tapi saya sudah mengeluarkan tenaga saya untuk bernyanyi, Mas. Murah kok, cuma 50 ribu aja."

"Kagak mau gue! Lagian nih ya Bang," Arga memegang pundak si pengamen, mencoba meluruskan perkara yang ambruadul nggak jelasnya ini, "Abang nyanyi kan singkat, nggak diiringi musik lagi. Tenaga yang Bang pake juga cuma sebesar upil gue. Gimana bisa gue harus bayar sebesar 50 ribu rupiah pake H?"

ArgaNantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang