Bagian 22

1.4K 153 9
                                    

Happy Reading
.
.
.

Jam menunjukkan setengah 11 malam, ketika Arga memandangi gambar dirinya dalam selembar foto. Sudut bibirnya terangkat. Melukis segaris senyum miris. Gambar dimana tubuh kecilnya dipangku oleh Abraham membuat hatinya berdenyut nyeri.

Dulu, Abraham masihlah Ayahnya yang selalu ia banggakan. Yang selalu ia eluh-eluhkan kehebatannya. Yang selalu ia puji- puji kebaikkannya. Seolah memang Abraham adalah ayah yang sempurna. Dan Arga adalah anak yang paling beruntung memilikinya.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, Abraham adalah manusia yang hampir tak ada celahnya. Karirnya selalu berada di puncak, ambisius, berwibawa, dan selalu bersikap tenang dalam keadaan apapun. Membuat citranya sebagai CEO sebuah perusahaan terlihat sempurna. Namun siapa yang menyangka kalau dibalik keberhasilan dirinya dalam memimpin sebuah perusahan tak membuatnya juga berhasil dalam memimpin sebuah rumah tangga?

Dan dalam hidupnya, sepanjang jalan yang ia lalui selama ini, Arga hanya mencoba untuk tak menyesali apapun. Tetap berjalan meski kaki terseok-seok seolah memaksanya untuk meyerah. Tetap berjalan meski raga dan batinnya dihantam luka yang seolah tak ada jedanya.

Untuk beberapa tahun yang lalu Arga masih bisa berkata baik- baik saja. Karena dia percaya Abraham selalu ada untuknya. Namun untuk kali ini Arga tak berjanji untuk bisa mengatakan kalimat itu lagi. Sebab kini justru Abraham-lah yang membuatnya patah berkali-kali lipat lebih parah.

"Makam ini adalah makam kosong, Nak. Maka untuk itu kami akan membongkarnya. Karena lahan untuk pemakaman disini sudah mulai menyempit."

Maka begitulah kira-kira kata penjaga pemakaman  pada 6 tahun yang lalu (ketika dirinya menginjak SMP). Praktis  membuat hatinya mencelos dan tak percaya. Dan sore itu diantara hatinya yang patah ia mencoba untuk melawan para bajingan yang sedang berusaha membongkar makam mamanya. Membiarkan serangkaian bunga mawar yang dibawanya kala itu jatuh dan berakhir terinjak oleh orang-orang. Membuatnya hancur lebur layaknya hatinya.

"Pembongkaran ini telah disetujui oleh Pak Abraham Narendra!! Jadi kamu tidak berhak atas apapun disini!!" Kata salah satu petugas pembongkaran itu, hanya untuk membuatnya merasakan patah yang lebih parah.

Sejak itu Arga mulai menyadari, Ayahnya tak sebaik yang ia kira. Karena setelah dirinya pulang dari pemakaman kala itu, Abraham justru menghajarnya alih-alih memberikan sebuah penjelasan seperti yang ia inginkan. Padahal jauh sebelumnya Abraham tak pernah melakukan kekerasan. Dan untuk pertana kalinya dalam hidup Arga, sore itu Abraham berhasil membuat patah tangan kanannya.

Abraham itu kejam. Ia men-sugesti anaknya sejak dini dengan mengatakan bahwa makam kosong itu adalah makam istrinya, ibu dari Arga. Tak sedikitpun ia tahu bahwa setiap harinya Arga datang kesana dengan segenggam doa yang tulus.

Dan untuk malam ini, setelah Arga menyimpan selembar foto itu ia tertawa culas.
"Goblok banget ya gue dulu, selalu berdo'a supaya mama tenang di surga padahal mama gue masih hidup."

Menghembuskan napas dalam, ia lantas berbaring. Diantara remang-remangnya lampu malam ini ia memandang langit-langit kamarnya dengan padangan jauh menelisik. Menerka apakah bisa ia menyelesaikan cerita ini dengan tuntas? Atau ia biarkan saja semua mengalir seperti air? Apakah menuruti semua kata Ayahnya itu lebih baik?

**

Seperti biasa, Nanta memarkirkan motornya ketika keadaan sekolah mulai terlihat sepi. Pukul menunjukkan angka 7 lebih 30 menit dan dirinya baru saja tiba. Melepas helm ful face nya lalu menyugar helaian rambut berwarna coklat huzzelnut itu dengan penuh karisma. Andai saja sekolah masih ramai, mungkin akan banyak jeritan histeris dari para siswi pagi ini.

ArgaNantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang