Natsukashii: (adj.) a happy recollection of an event or memory in the past.
1021, kota Malang
Kicauan burung mulai terdengar dipadukan dengan hembusan angin yang cukup kencang membuat dedaunan berjatuhan sedikit demi sedikit. Jalan setapak terbuat dari batu pun terlihat di tengah-tengah hutan menandakan arah untuk pergi ke hutan dan kembali. Tanah masih terasa lembab bekas hujan di malam hari. Sekarang matahari sedang naik siap untuk melakukan tugasnya yaitu menyinari Bumi. Pohon-pohon tinggi yang menjulang dan beberapa penduduk sedang mencari sesuatu di pohon tersebut. Suara tertawa terdengar jauh kemungkinan besar berasal dari penduduk di sekitar desa dekat hutan. Tidak lupa dengan suara air gemercik yang berasal dari sungai kecil di dekat hutan tersebut.
Dilan membuka matanya dan langsung melihat pohon-pohon yang menjulang tinggi. Sinar matahari langsung menyinari wajahnya, walaupun tertutup dengan dedaunan di pohon tersebut. Tubuhnya yang ternyata bersentuhan langsung dengan tanah lembab di hutan langsung membuat kulitnya seperti tersengat karena dinginnya tanah tersebut. Kepalanya yang pusing mungkin efek samping dari minuman di botol kecil pemberian Pak Tua, si Penjaga Surga. Tenggorokannya yang terasa kering membuatnya ingin pergi ke sungai di dekat sana untuk minum. Akan tetapi, tubuhnya yang tidak mau bekerja sama. Dilan melihat ke sekelilingnya mendapati beberapa penduduk laki-laki sedang memanjat pohon tinggi tersebut tanpa bantuan apapun. Pekerjaan yang sangat berbahaya namun tidak ada pilihan lain.
Perlahan-lahan, Dilan berdiri karena merasakan bajunya yang mulai basah karena tanahnya yang lembab. Ya, benar saja, bajunya ikutan lembab dan sedikit basah membuatnya sedikit kesal. Tidak kenal siapa-siapa, tidak mengerti apa-apa, untungnya dia sedikit tau tentang Bumi karena beberapa orang yang masuk ke Surga terkadang menceritakan kehidupannya ketika di Bumi. Dasar-dasar tentang penduduk di Bumi, untungnya dia tau karena terkadang Dilan ikut mendengarkan ketika Samuel sedang rumpi dengan orang-orang yang masuk di Surga. Badannya tidak terasa sakit sama sekali dan pusing di kepalanya pun perlahan menghilang. Udara di sini sangat menyegarkan. Dingin, tapi tidak terlalu dingin dan juga tidak panas. Dilan melihat sekelilingnya, membersihkan baju putihnya dari sisa-sisa tanah lembab yang menempel. Kemudian, kakinya berjalan menyusuri jalan bebatuan yang telah dibuat oleh penduduk desa tersebut. Berjalan menuju ke dalam hutan, tapi tidak lama ia berjalan, Dilan melihat sebuah rumah besar terbuat dari kayu. Sederhana dan elegan. Dari luar rumah tersebut tidak terlihat seram sama sekali. Halamannya yang luas dan bersih membuat rumah tersebut terlihat nyaman.
Entah nalurinya yang mengatakan kalau rumah ini disediakan untuk dia tempati. Bersyukurlah, Tuhan masih mengingatnya dan memberikan tempat tinggal untuknya selama di Bumi. Rumahnya tidak jauh dari pedesaan yang ada karena Dilan masih bisa mendengar suara keramaian dari pedesaan di dekat hutan tersebut. Dilan langsung memasuki rumah tersebut, tidak ada pagar sama sekali. Ketika Dilan membuka pintu kayu tinggi yang dimiliki rumahnya, ia mendapati di dalam rumah tersebut sangatlah mirip seperti ciri khas di Surga. Hanya saja versi sederhananya dan lebih kecil. Namun tetap saja untuk Dilan yang hanya seorang diri, rumah ini termasuk besar dengan memiliki banyak kamar pastinya. Jendela-jendela tinggi yang menjulang pun terlihat mengelilingi rumah tersebut membuat sinar matahari otomatis masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rainy Nights (END)
Roman d'amourMemangnya aku punya kesempatan untuk kembali mencintai lagi? - September, 2021