Fatih melihat jam yang melingkari pergelangan tangannya. Pukul setengah lima sore. Hari ini dia berjanji untuk menjemput Ayash di cafe Ahmet. Sebelum pulang, mungki dia bisa sedikit berdiskusi dengan Ahmet. Ada hal yang ingin dia tanyakan pada Ahmet. Dulu waktu Fatih masih menjadi mahasiswa, Ahmet adalah orang yang paling sering dimintai pendapatnya.
"Kapan kau akan menikah, nak? Bukankah umurmu sudah cukup untuk membina rumah tangga? Apa lagi yang kau bikirkan? Bukankah kau ingin menjadi seperti Rasulullah SAW, yang walaupun utusan Allah tetapi tetap berumah tangga?"
Suara ayahnya mengusik pikiran Fatih. Tentu saja Fatih ingin berumah tangga. Dia dan Ahmet selalu menjadi bahan bicara Syaikh Baizzurahman agar segera mengenapkan dien nya.
"Jika kau sudah siap, maka segerakanlah. Menikah mensucikan dirimu dari syahwat. Ketika kau sudah berada dalam kondisi mampu, maka tak ada alasan lagi yang bisa kau katakan." ujar Syaikh Baizzurahman suatu ketika.
Fatih pun merasa seperti itu. Dia merasa sudah waktunya. Tetapi kadang selalu ada setan yang memaju mundurkan hatinya. Beberapa tawaran taaruf yang diberikan kepadanya sellau berujung pada ketidakcocokan. Banyak yang mengira Fatih terlalu sempurna, sehingga mereka mundur.
"Saya sudah dalam tahap istikhoroh, ya akhi. Tetapi jawabannya tidak ada. Tidak ada petunjuk yang membawa aku untuk menerima pinanganmu."
Setelah itu Fatih hanya bisa pasrah dan bertawakal kepada Allah. Insya Allah semua hal tentang kelahiran, kematian, dan jodoh sudah ditetapkan oleh Allah dan tertulis rapi dalam lauh mahfudz nya.
Cafe Ahmet sudah terlihat. Segera setelah memarkir mobilnya, dia masuk dan mengucapkan salam.
Ahmet terlihat di belakang meja bar. Fatih mendekat dan duduk di kursi yang ada di depan meja itu.
"Ayash belum tiba ya?" tanya Fatih. Dia lalu mengambil ponsel di saku dan mengeceknya.
"Manu sedang mengajaknya berkeliling. Sepertinya dia sedang ada masalah." jawab Ahmet.
Tidak ada pesan dari Ayash. Berarti ini memang kesempatan Fatih untuk berdiskusi dengan Ahmet.
"Akhi, kamu punya waktu?" tanya Fatih.
Ahmet sudah bisa menangkap maksud Fatih. Dia mengangguk dan membuatkan minuman kesukaan Fatih sebelum mengajak ke ruangan kerjanya.
Fatih duduk di sofa dalam ruangan kerja itu. Ahmet mengambil tempat di kursi belakang mejanya.
"Apa yang membuatmu tampak resah, sahabat?" Ahmet memulai percakapan. Dia juga ingat sudah lama tidak berdiskusi dengan Fatih. Terakhir yang diingatnya setahun lalu sebelum terjadi kudeta di Turki.
"Aku perlu pendapatmu tentang pernikahan. Ayahku memintaku untuk segera menikah. Dia berencana mengenalkan aku dengan seseorang." Fatih berkata datar.
"Lalu apa yang salah? Bukankah kau selalu ingin berumah tangga?" tanya Ahmet.
Fatih diam sejenak. "Ya, benar. Tetapi beberapa kegagalan yang pernah kualami seperti membuat aku berpikir berlebihan."
Ahmet tersenyum. "Kau hanya cemas saja, sahabatku. Serahkan semuanya pada Allah. Jika wanita itu memang jodohmu, tentu bagaimanapun caranya akan tetap sampai kepadamu. Begitupun sebaliknya, jika bukan jodohmu, maka akan ada cara Allah untuk menjauhkan mu dengannya."
Fatih memejamkan matanya. Benar apa yang dikatakan Ahmet. Bukankah semua sudah berada dalam suratan takdir-Nya? Lalu apa yang harus dicemaskan?
"Kau terlalu lelah bekerja, sahabatku. Ambilah waktu rehat sejenak. Dunia tak akan pernah ada habis-habisnya untuk kita kejar. Pada kenyataannya dunia justru akan semakin menjauh ketika kita mengejarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA CINTA DARI ISTANBUL
Historical FictionMereka tidak merencanakan tempat, tetapi takdir memutuskan mereka harus bertemu disini. Mereka tidak merencanakan cinta, tetapi takdir membawa mereka pada cinta yang tidak pernah mereka perkirakan. Mereka tidak merencanakan pertemuan, tetapi tak...