"Kita menginap di Sevilla atau lanjut ke Madrid saja?"
Suara Radu memecah gendang telinga Manu. Dia sedang berdiri di tepi feri yang membawanya menuju Spanyol dari Maroko.
"Eh, terserah saja. Tapi memang lebih baik menginap dulu saja di Sevilla. Mungkin kita bisa mengeksplor kota itu sehari atau dua hari." ujar Manu.
Radu setuju. Kemudian dia berjalan menuju sebuah kursi tak jauh dari tempat Manu berdiri.
Perjalanan dari Maroko ke Spanyol menaiki feri ini memakan waktu kurang lebih setengah jam saja. Manu dan Radu yang sudah delapan hari berada di Maroko akhirnya memutuskan untuk memulai kembali ke Eropa untuk mengeksplor kota-kota yang belum mereka kunjungi. Datang ke negara Eropa pernah, tetapi banyak kota-kota di dalam negara itu yang belum mereka kunjungi.
Sore itu langit menjelang senja. Pukul 17.00. Semburat matahari menjelang tenggelam memancarkan warna yang memukau. Pancaran sinar itu menimbulkan kesan kilatan kristal di permukaan laut. Menambah suasana menjadi sangat syahdu.
Selat Gibraltar yang sedang mereka seberangi memang menyimpan satu hal yang misterius. Di selat ini terdapat pemisahan air berdasarkan warnanya. Selat ini memang pertemuan antara Samudra Atlantik dan Laut Mediterania yang berbeda jenisnya. Samudra Atlantik memiliki jenis air tawar sedangkan Laut Mediterania memiliki jenis air asin. Kita akan bisa melihat pepisahan alami ini jika naik feri dari Tarifa ke Tangier. Dalam Al-Qur'an peristiwa seperti ini dimaktuban dalam surat Ar-Rahman ayat 19 dan 20.
"Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing,"
"Lalu, siapa wanita itu?" Manu bertanya dalam hatinya.
Enam jam yang lalu, saat Manu sedang berada di Kasbah Udaya, dia melihat seseorang yang mirip dengan Irina. Ya, Irina, wanita yang dulu pernah ada di hatinya kemudian meninggalkannya.
Wanita itu sangat mirip dengan Irina. Dia berdiri di tepi tembok dan memandang lepas Samudra Atlantik. Matanya berair. Dia membiarkan angin melepaskan air mata itu. Tanpa pernah sadar bahwa Manu berdiri terpaku menatapnya dan menyaksikan momen dia menangis. Ingin Manu mendekat dan menenangkannya tapi dia sadar wanita itu bukanlah Irina.
Saat Manu hendak mendekat, wanita itu beranjak pergi meninggalkan Manu dalam rasa keingintahuan. Siapa dia? Tingga di mana? Apa yang membuatnya menangis?
Bayang-bayang wanita itu terus terbawa hingga Manu tiba di Turki. Selama menjelajahi banyak kota di Eropa bersama Radu, ingatan tentang wanita itu tidak pernah lepas. Andaikan waktu itu dia menyapa wanita itu, mungkin dia tidak akan sepenasaran seperti sekarang.
Manu mengingat lagi wajah Irina bersama kenangan sepuluh tahun yang lalu. Dia Irina Moceneau, gadis tercantik yang pernah dia temui. Gadis berambut pirang sepinggang yang selalu membiarkannya tergerai tertiup angin. Yang selalu tersenyum memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang kontras dengan mata birunya. Yang membuat Manu bersemangat menjalani hari. Dia yang selalu berada di hati Manu.
"Lelaki sepertimu, pasti banyak yang menginginkanmu menjadi suaminya."
"Tapi, aku hanya cinta kamu."
Irina tertawa. Memperlihatkan senyum yang selalu Manu nantikan. "Kamu belum tahu aku sepenuhnya, bagaimana bisa berkata seperti itu?"
"Aku tidak peduli. Aku tidak ingin mengetahui apapun tentangmu. Aku hanya mau kamu menerima cintaku."
Irina tertawa lagi. Kali ini tawanya lebih keras. "Sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir dengan baik."
"Bagi aku cinta itu sudah cukup. Lalu biarkan aku mencintaimu seumur hidupku."
Irina masih tertawa tetapi tidak berkata-kata lagi.
Manu benar-benar dibuat mabuk cinta oleh Irina. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana bisa membahagiakan Irina, bagaimana membuatnya tersenyum dan bagaimana pada akhirnya Irina mau menerimanya. Semua yang dilakukannya selalu diterima Irina dengan baik. Senyum itu selalu hadir di hadapan Manu. Hanya satu yang tidak pernah dikatakan Irina padanya. Dan itu membuat Manu selalu menunggunya.
"Bagaimana kalau kita menikah saja?"
Irina reflek melihat Manu dan terdiam sejenak memandang Manu. Kemudian senyum malaikat yang selalu ditunggu Manu terlihat di wajahnya.
"Kamu ini. Cintamu saja belum aku tentukan, sudah mengajak menikah. Apa kamu sudah sebegitu sakit jiwanya?" Irina tertawa.
Manu hanya memandang wajahnya dan memerhatikan senyumnya dengan seksama. Dia menginginkan senyum itu hanya untuk miliknya dan menemaninya seumur hidupnya.
"Jika kamu tidak mencintai aku tidak apa-apa, tetapi izinkan aku untuk terus mencintaimu."
Irina menatap Manu lagi, lalu mendekat dan memegang kedua bahu Manu dengan tangannya.
"Manu, Aku tahu kamu adalah lelaki yang baik. Aku percaya dengan cintamu. Tetapi kamu belum mengenal aku, khan? Kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari aku. Kamu hanya belum mengenal yang lain."
"Aku sudah mengenalmu selama setahun. Aku tidak perlu yang lain jika yang kubutuhkan adalah kamu."
Irina menatap Manu dengan lekat. Sudah sedekat ini, apakah dia tidak bisa menerima cintanya? Sebulir bening jatuh dari mata Irina dan membasahi pipinya.
Sejak Manu mengatakan itu, dia tidak pernah bertemu Irina di hari-hari kemudian. Irina tidak pernah mengangkat ponselnya jika Manu menghubungi. Saat Manu mengunjungi asramanya, teman-temannya juga mengatakan bahwa Irina belum kembali dari kampung halamannya.
Hingga hari berganti bulan, tak ada sedikit pun kabar tentang Irina. Dia seperti lenyap ditelan bumi. Membiarkan Manu tersiksa menahan rindu. Sebulan itu Manu tidak bisa hidup dengan tenang. Dia membutuhkan senyum Irina yang sudah menjadi candunya. Dia sudah tidak tahu lagi bagaimana mencari Irina. Di kampusnya hanya tertulis Irina tinggal di Maramures, sebuah tempat dekat Ukraina yang memakan waktu sekitar delapan jam dari Bukarest.
Pagi itu Manu berencana untuk pergi kesana, sebelum seorang teman Irina menghubunginya dan memberi tahu Manu tentang kejadian yang tak akan pernah Manu lupakan seumur hidupnya.
***
"Irina!!"
Manu berteriak memanggil seorang gadis yang berdiri 10 meter dari hadapannya. Suasana saat itu dipenuhi dengan salju tebal. Sekeliling Manu hanya terlihat warna putih yang merajalela.
Irina membalikkan tubuhnya dan tersenyum seperti biasanya. Senyum yang membius Manu.
Manu berusaha berlari di mendekat. Tetapi tebalnya salju memaksanya tertatih-tatih mendekat. Semakin dia berjalan, sosok Irina seperti semakin menjauh. Tetapi Manu tidak menyerah, dia terus berlari untuk menggapai Irina. Hingga dia tidak tersadar bahwa tubuhnya sudah nyaris tenggelam di dalam salju. Tangannya berusaha menggapai Irina tetapi Irina hanya berdiri saja tanpa melakukan apapun. Senyumnya berubah menjadi tangis. Tak lama Manu sudah tenggelam di dalam salju.
"Manu!"
Suara itu menyadarkan Manu dan membangunkannya dari tidur. Radu sudah berdiri di samping ranjangnya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Radu. Dia terlihat cemas melihat Manu.
Manu melihat sekeliling. Dia baru saja bermimpi. Tubuhnya basah dengan keringat. Nafasnya sedikit terengah. Dia kemudian mengangguk.
"Just a dream."
Radu sebenarnya tidak yakin bahwa Manu baik-baik saja. Sejak berada di Sevilla sebulan yang lalu, dia menemukan Manu yang selalu tercenung dan menceracau dalam tidur. Tapi dia tidak akan memaksa Manu untuk bercerita.
"Ayo, kita sarapan. Ahmed sudah menunggu kita."
Manu hanya mengangguk dan berkata akan segera menyusul ke ruang makan.
"Ah, Irina. Sampai kapan kamu akan terus menghantui diriku? Kenapa kamu melakukan hal itu?"
Manu memejamkan mata dan memegang kedua sisi kepalanya. Dalam gelap matanya, dia melihat senyum berseri Irina di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA CINTA DARI ISTANBUL
Historische RomaneMereka tidak merencanakan tempat, tetapi takdir memutuskan mereka harus bertemu disini. Mereka tidak merencanakan cinta, tetapi takdir membawa mereka pada cinta yang tidak pernah mereka perkirakan. Mereka tidak merencanakan pertemuan, tetapi tak...