AHMET ABDULMECIT

2.2K 77 1
                                    


Masjid Biru itu berdiri di bekas alun-alun Kekaisan Bizantium. Tak jauh disebelahnya berdiri Hippodrome, tempat masyarakat Bizantium bersosialisasi dan menonton aktraksi perlombaan kuda. Di depannya berdiri Sang Nyonya Mewah, Hagia Sophia yang dulunya adalah Gereja Orthodoks. Namun sejak penakklukkan Konstatinopel, maka semuanya berubah. Sultan Ahmet I membangun Masjid Biru itu.

Masjid itu aslinya bernamakan Masjid Sultan Ahmet I. Perancangnya Sedefkar Mehmet Aga. Bentuknya hampir menyerupai Hagia Sophia. Dia mempunyai 6 pilar dan 8 kubah tambahan. Keramik-keramik yang menempel di sisi-sisinya dipesan langsung dari Iznik, sebuah kawasan penghasil keramik nomer 1 di Turki. Kebanyakan keramik-keramik itu berwarna biru, sehingga jika malam tiba, pendaharan warna biru itu terpancar hingga keluar masjid. Maka dari itu, Masjid Sultan Ahmet ini sering disebut Masjid Biru.

***

"Tessekkur ederim, Ahmet!"

Lelaki-lekaki tua itu berkata pada Ahmet, lelaki muda dengan janggut lebat. Dia baru saja mengantarkan apple tea ke kumpulan lelaki tua itu.

Hawa musim dingin masih menyeruak ke sela-sela rumah di Istanbul. Musim semi seperti ini memang sedikit lebih hangat, namun hawa musim dingin itu masih berlalu bersama angin.

Usai sholat Isya berjamaah di Masjid Sultan Ahmet tadi, para lelaki tua itu mampir ke cafe milik Ahmet yang berada tepat di pinggiran masjid, seberang Hippodrome. Mereka adalah para pedagang di sekeliling wilayah Masjid Biru, salah satunya adalah Imam Masjid itu. Mereka selalu menyempatkan diri untuk sholat berjamaah di Masjid Biru. Lepas sholat jamaah Isya, mereka akan berkumpul di Cafe milik Ahmet dan berbincang-bincang tentang banyak hal.

Ahmet menikmati obrolan itu. Terkadang obrolan itu berbicara tentang hadits, membahas ayat dalam Al-Qur'an, atau menjelajah ke masa penaklukkan Konstatinopel. Tuan Mustafa yang paling heroik jika menceritakan masa penaklukkan itu. Buyutnya adalah salah seorang tentara pada masa itu. Ceritanya turun temurun hingga Tuan Mustafa. Tak pelak, teman-temannya selalu berdecak kagum jika mendengarnya langsung. Tak bosan mereka mendengar sejarah itu berulang-ulang.

"Kau tahu, saat Muhammad Al Fatih memimpin pasukan untuk sholat subuh bersama, buyutku berada dalam pasukan itu. Aroma kemenangan itu kian mendekat setelahnya," tegas Tuan Mustafa.

Mata-mata itu nyaris tak berkedip. Ahmet mendengarkan dengan seksama. Bulu kuduknya merinding. Membayangkan berada dalam jamaah sholat subuh itu membuat darahnya berdesir.

Saat Tuan Mustafa melanjutkan ceritanya, Ahmet melanjutkan melayani tamu-tamu yang lain. Cafe kecilnya memang menjadi tempat yang asyik untuk menghangatkan diri. Banyak tamu dari berbagai negara mampir ke cafenya setelah berkeliling kawasan ini. Secangkir chocolate hangat, atau kopi khas turki dan apple tea menemani mereka. Untung saja Ahmet bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi tamu-tamu itu merasa terlayani dengan baik.

Ahmet sendiri adalah pemuda menjelang usia 30. Dia tinggal di Istanbul. Seusai lulus dari Universitas Istanbul bidang teknik, Ahmet sempat bekerja sebentar di perusahan asing. Namun tak lama kemudian dia berhenti dari pekerjaannya dan membuka cafe kecil di pinggir Masjid Biru. Kesibukan barunya adalah menghafalkan hadits, setelah dua tahun sebelumnya dia telah menjadi seorang hafizul Quran.

Cuaca semakin dingin. Malam beranjak naik. Cerita para lelaki tua itu menjelang selesai, saat semuanya berebut untuk saling membayarkan. Ahmet dan beberapa karyawannya mulai merapikan cafe mereka menjelang tutup. Ahmet baru saja mau menuju pintu depan untuk membalikkan tanda tutup, namun pintu itu terbuka perlahan dan berdirilah seseorang di pintu terbuka itu.

Ahmet terkejut melihat seseorang itu.

CERITA CINTA DARI ISTANBULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang