Ayash berdiri duduk di bangku taman depan Masjid Biru. Diliriknya jam yang melingkari pergelangan tangannya, sembilan lewat lima belas. Dia masih menunggu Fatih, host couchsurfing nya. Mungkin jika memungkinkan Ayash akan menginap di rumah Fatih selama satu minggu. Saat request di situs CS, Ayash meminta waktu 4 hari dan Fatih menyetujuinya.
Ayash mendekap kembali jaketnya. Sejak awal dia tiba di Istanbul, dia sudah jatuh cinta dengan kota ini. Ayash serasa dikembalikan ke zaman lampau saat para arsitek ternama hidup yang menciptakan banguna-bangunan megah ini. Perpaduan modernitas dan peninggalan sejarah yang tetap dilestarikan, menciptakan Istanbul sebagai salah satu kota tercantik di dunia. Dengan tentu saja, Sang Nyonya Besar Hagia Sofia yang menjadi daya tariknya.
"Pokoknya, lo mesti banget eksplor Hagia Sofia. Gila! Itu perpaduan mosaik-mosaik peninggalan zaman kristiani berpadu dengan kaligrafi-kaligrafi Islami bakal membuat lo takjub! Serasa banget lo berada di dua tempat dalam waktu bersamaan!"
Suara Ara terngiang kembali. Dia yang senantiasa mengompori Ayash untuk ke Turki. Bahkan untuk urusan itenary, Ara juga yang membuatkan untuknya.
Jam berdetak makin cepat, tetapi kehadiran Fatih belum ada tanda juga. Pesan terakhir yang diterima Ayash, sekitar 10 menit yang lalu yang mengatakan bahwa dia sedang mengantarkan guru mengajinya terlebih dahulu. Segera dia akan menemui Ayash dengan patokan yang sudah direncanakan, di taman depan Masjid Biru.
Ina, si gadis Indonesia itu sudah sedari tadi sampai di hostelnya. Sebuah hostel ciamik yang berada tak jauh dari Hagia Sofia. Ayash tadi sempat mengantarnya. Mereka berjanji untuk mengunjungi Hagia Sofia bersama. Paling tidak Ayash ada teman yang akan membantu dirinya mengambil gambar diri. Tentu Ayash tidak ingin terlalu sering mengambil gambar dengan bantuan tongsis, yang hanya bisa mengambil sebagian tubuhnya saja. Kalaupun pakai tripod sudah pasti akan memakan waktu agak lama dan Ayash bukan tipikal traveler yang suka berfoto diri sendiri terlalu sering. Sebagian besar postingan foto di sosial medianya gambar suasana atau pemandangan alam dari tempat yang dia kunjungi.
Tiba-tiba dua orang anak kecil berkerudung putih dengan jaket hitam dan rok lebar mendekati Ayash.
"Tolong beli dagangan saya... Saya butuh uang untuk makan..."
Salah seorang anak itu memasang wajah memelas. Dia berbahasa Arab yang Ayash tidak mengerti sama sekali. Wajahnya yang cantik sedikit kotor. Yang paling membuat Ayash takjub, dia bermata biru terang. Ayash menaksir sang kakak berumur 8 tahun dan sang adik berumur 4 tahun.
Anak itu terus menyodorkan sekotak korek api kepada Ayash. Guratan sedih dan putus asa mewarnai wajahnya. Matanya mengenang bening, tampaknya air mata akan jatuh bercucuran. Anak yang lebih kecil di belakangnya, hanya mengikuti gerak anak bermata biru itu saja.
"Tolonglah beli dagangan kami. Kami tidak meminta-minta. Kami hanya perlu uang untuk bertahan hidup. Kasihanilah anak yatim seperti kami."
Anak itu meneteskan air mata. Ayash sangat iba kepadanya. Tetapi dia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan anak itu. Ayash masih waspada apakah ini scam atau bukan. Di beberapa negara yang pernah dia kunjungi ada scam semacam ini, pura-pura mencari iba para traveler tetapi ternyata hanya untuk dimanfaatkan uangnya saja. Anak-anak dimanfaatkan oleh bandar mereka untuk meraup iba dari orang lain.
"Biarkan saya yang membelinya,"
Baru saja Ayash akan mengeluarkan uang untuk anak itu tetapi seorang pemuda sudah berada di depannya.
"Eh, maaf..." Ayash sedikit bingung.
Pemuda itu memberikan sejumlah uang kepada sang kakak. Dia lalu berbicara bahasa arab kepada anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA CINTA DARI ISTANBUL
Ficción históricaMereka tidak merencanakan tempat, tetapi takdir memutuskan mereka harus bertemu disini. Mereka tidak merencanakan cinta, tetapi takdir membawa mereka pada cinta yang tidak pernah mereka perkirakan. Mereka tidak merencanakan pertemuan, tetapi tak...