AL-KHAFA ٢

498 41 6
                                    

📖📖📖

Dahi Ning Khafa sedikit mengernyit ketika masuk kedalam mobil. Namun pikirannya buyar ketika Ning Khilwa menegurnya.

"Mbak Khafa!"

Ning Khafa menoleh dengan kedua alisnya terangkat. "Ada apa Ning?"

Ning Khilwa ini sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri, karena sebagai anak bungsu tentu ada keinginan memiliki adik. Membayangkan saja rasanya senang, apalagi menjadi kenyataan.

Sayang sekali, kata Abi "Cukup Nduk Khafa saja yang terakhir."

"Mbak Khafa kok gak pernah main ke rumah? 'Kan aku kangen!" Ning Khilwa memeluknya dari samping, bermanja padanya.

Ning Khafa terkekeh, mengelus kepala remaja berumur 15 tahun ini. "Maaf enggeh Ning!"

"Kuliahnya sibuk banget yah?" tanya Ning Khilwa masih nyaman bersender di bahunya.

"Pandungane enggeh agar cepat lulus!" ungkapnya tulus, masih mengelus kepala Ning Khilwa.

"Amin... Terus cepet menikah sama Mas. Eh, tapi ada—"

"Ehem!"

Ning Khilwa langsung menutup mulutnya. Posisi duduknya berubah tegap, menyorot takut pada spion atas.

Dahi Ning Khafa mengerut. "Ada apa Ning?"

Ning Khilwa menoleh masih dengan sorot takut. "Ehm... Anu Mbak."

"Gak ada apa-apa Ning! Dek Khilwa memang suka gitu, ngelantur," kekeh kecil Gus Zaydan menjelaskan.

Ning Khafa mengangguk meski sedikit keraguan yang menyusup atas jawaban dari calon suaminya ini.

"Gus Aa' di barat iya Ning?" Gus Zaydan mengalihkan pembicaraan.

"Enggeh Gus. Tapi Mbak gak ikut."

Gus Zaydan mengangguk sambil fokus pada jalanan di depan. "Tadi sebelum kesini rencananya mau sowan ke ndalem, tapi setelah telefon Gus Aa', beliau ada di barat. Dan beliau berpesan untuk menjemput panjenengan."

Ning Khafa mengangguk. Pantas saja Aa' tadi menanyakan dia ada dimana.

"Enten Gus Ashmaan, Mbak?"

Seolah tak pernah menampilkan wajah ketakutan seperti tadi, Ning Khilwa berubah antusias menanyakan keponakannya itu.

Ning Khafa mengangguk senyumnya melebar. "Enten Ning."

"Yes!" pekiknya senang.

"Khilwa!" tegur Gus Zaydan pada adiknya itu.

Ning Khilwa menyengir lebar. "Pengapunten!" Sambil menyatukan tangannya di dada.

Ning Khafa terkekeh gemas. Duh! Ingin rasanya menahan Ning Khilwa untuk tinggal bersama dirinya.

Dalam spion atas Gus Zaydan menangkap senyuman manis milik calon istrinya. Manis sekali! Lama-kelamaan bisa-bisa nanti Gus Zaydan diabetes. Ah! Gus Zaydan mengetuk dahinya sendiri bergumam istighfar.

Lagi-lagi dia merasa konyol.

Hingga mobil tiba di gerbang Pondok Pesantren Al-Munawir, satpam langsung membukakan gerbang ketika melihat Gus Zaydan menurunkan kaca mobilnya.

Memang calon suaminya ini lebih sering sowan kesini dibanding dengan sowan di rumahnya. Mengingat jarak jauh dari ndalem Gus Zaydan ke rumahnya, yang lebih dekat iya di Pesantren Al-Munawir ini.

Ning Khafa mempersilahkan untuk masuk ke ndalem lalu memanggil kakak iparnya. Mengingat hari menjelang dzuhur, bisa dipastikan kakak iparnya itu sedang berada di kamar guna menidurkan keponakannya.

"Assalamualaikum Mbak!" lirih Ning Khafa mengetuk pintu pelan.

Terdengar decitan pintu, menampilkan wanita dengan hijab instannya. "Waalaikumussalam Nduk!"

"Mbak, ada Gus Zaydan dan Ning Khilwa."

Setelah mendapat respon dari kakak iparnya, Ning Khafa beranjak ke dapur membuatkan minuman dan menyuguhkan beberapa cemilan.

Gus Zaydan kini sedang berbicara dengan Mbah Yai Nahrowi, sedangkan Ning Khilwa ikut membantu dirinya dan kakak iparnya mempersiapkan makanan untuk makan siang.

Tak lama keponakannya itu terbangun. Menampilkan wajah khas bangun tidur.

"Gus Ashmaan!" pekik riang Ning Khilwa. 

Sedangkan sang empu yang di panggil melirik lalu melengos. Satu fakta yang sebenarnya terjadi, keponakannya itu tidak suka dengan Ning Khilwa. Pasalnya setiap kali bertemu, Ning Khilwa selalu menjahilinya berakhir keponakannya itu menangis.

"Salim sayang!" Amma-nya mengintrupsi anak laki-laki berumur empat tahun itu.

Dengan ogah-ogahan keponakannya itu menurut.

"Duh! Gemesnya...." Ning Khilwa mencubit kedua pipi keponakannya hingga matanya berkaca-kaca. "Eh-eh! Masak gitu aja mau nangis. Anak laki-laki harus kuat dong, jangan cengeng. Huu...."

Ning Khafa berserta kakak iparnya hanya menggeleng senyum. Interaksi mereka bukan hal baru lagi.

Sudah biasa...

"Amma...." adu Ashmaan pada Amma-nya.

Kakak iparnya itu terkekeh kecil lalu menggendong putranya. Sedangkan Ning Khilwa mendekat lalu menggelitiki Ashmaan, membuat anak kecil itu tertawa keras.

"Nduk! Sampeyan bersih-bersih dulu aja. Ini sudah hampir selesai."

Ning Khafa mengangguk mendengar perintah kakak iparnya. Kamar Ning Khafa berada di belakang dekat area taman dan kolam ikan kecil. Aa' sengaja menempatkan kamarnya disini, karena katanya agar tidak jenuh ketika mengerjakan tugas kuliah.

Memang benar, kamar ini satu-satunya kamar tersejuk di ndalem ini. Ventilasi yang lebar apalagi mengarah langsung pada tanaman hias maupun obat-obatan dan kolam ikan koi lengkap air mancur menimbulkan hawa penuh kesejukan.

Sangat nyaman...

Ketika akan pergi ke kamar mandi, Ning Khafa mendengar suara sayup-sayup dari luar. Berhubung jendela terbuka lebar, kepalanya melongok kesana kemari. 

Tepat matanya menangkap punggung tegap berbalut kemeja hitam.

Ia tahu siapa...

"Terserah kamu mau kemana saja. Saya masih bersama Khafa."

Rasa penasaran Ning Khafa semakin tinggi kala mendengar namanya disebut.

Siapa yang berbicara di telepon dengan Gus Zaydan?

🎈🎈🎈🎈

08-02-2022

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang