AL-KHAFA ١٩

304 34 5
                                    

📖📖📖📖

Pada dasarnya mencintai seseorang adalah hal yang lumrah. Setiap manusia boleh bahkan di halalkan memiliki rasa cinta itu. Namun, banyak diantara mereka yang salah dalam pengaplikasiannya maupun persepsinya.

Ibnul Qoyim Al Jauziyah dalam bukunya mengatakan bahwa cinta adalah menyerahkan totalitas didalam diri sehingga tidak ada lagi yang tersisa dalam diri pecinta.

Itulah yang terjadi pada Ning Khafa. Ia menyerahkan rasa cintanya pada Gus Zaydan. Menurutnya cintanya pada Gus Zaydan tidak terindikasi dalam hal kemaksiatan. Ia menjaganya utuh hingga ke jenjang pengaplikasian yang halal.

Namun Ning Khafa lupa, jika tidak ada yang lebih indah bagi pandangan orang-orang yang jatuh cinta selain menikah. Memang Ning Khafa sedang proses menuju ke sana. Tapi yang perlu diingat adalah niat baik haruslah di segerakan begitupun dengan menikah.

Disini poinnya, ia tidak menyegerakan itu.

Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang bercongkol dalam benaknya. Salah satunya, ketika Abi yang biasanya selalu cepat menanggapi tentang pernikahan. Namun yang terjadi padanya, Abi seolah mengulur waktu.

Entah ada korelasinya dengan keadaannya sekarang atau tidak, Ning Khafa tidak tahu.

Jika di tanya, apakah kamu masih mencintainya? Ning Khafa tanpa ragu mengatakan kalau ia masih mencintainya, namun di balik rasa cinta itu terdapat kekecewaan yang amat besar.

Di kecewakan sedemikian rupa hingga Ning Khafa merasa ia terlalu naif dalam hal mencintai. Ning Khafa terbiasa mendapatkan cinta dan kasih sayang dari keluarga. Ketika ia merasa hatinya terkhianati, Ning Khafa jatuh dalam keterpurukan.

Ning Khafa selalu menganggap jika kita berperilaku baik maka ia akan mendapatkan timbal baliknya. Sayangnya, semua manusia tidak seperti itu.

Semenjak itu, pola hidupnya sangat berubah. Ia lebih sering termenung. Ia lebih suka menyendiri. Dan juga, ia seringkali begadang.

Malam ini, untuk kesekian kalinya mata Ning Khafa tak bisa terpejam meski waktu sudah memasuki sepertiga malam. Yang ia lakukan hanya memegang mushaf dan berulang kali ber-muroja'ah. Hanya itu yang bisa mengalihkan atas rasa sakit dan kekecewaan dalam hatinya.

"Ora turu eneh Nduk?"

Wanita sepuh dengan mukenah yang membalut tubuh kemakan usia itu menghampirinya. Bunyai Robi'ah, adalah garwo terakhir dari pendiri pesantren ini yang sampai sekarang masih sugeng.

Selama disini, beliau-lah yang menuntun Ning Khafa untuk meleburkan penyakit patah hatinya. Membantu menenangkan hatinya. Beliau sudah Ning Khafa anggap sebagai buyutnya sendiri.

"Ojo keseringan ndolim neng awake dewe Nduk. Kita sudah di paringi jasad gratis, iyo kudu di jaga Nduk."

Kelopak mata Ning Khafa turun menatap simpuhan kakinya sendiri. Malam ini memang ia sengaja tidak meminum obatnya.

"Iyowes, ayo gek mangkat neng langgar." Sambil mengelus sayang kepalanya.

Mushola pesantren putri selalu membuat Ning Khafa betah untuk berlama-lama. Mushola yang desainnya mirip pendopo tanpa aling-aling tembok sehingga sirkulasi udara menyesuaikan cuaca. Rasanya ketika ia sholat atau membaca Al-Qur'an disini, hatinya lebih tentram.

"Tak enteni neng ndalem iyo Nduk."

Gerakan jari pada tasbih baru seketika berhenti. "Enggeh ndereaken."

Yang biasanya Ning Khafa bisa berlama-lama di mushola, kali ini Bunyai Robi'ah tak biasanya memintanya untuk datang ke ndalem.

Menyelesaikan dzikirnya, lalu Ning Khafa segera menuju ke pondok bambu tempatnya selama disini.

Tempat tinggalnya selama di pesantren ini terpisah dengan ndalem Bunyai Robi'ah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tempat tinggalnya selama di pesantren ini terpisah dengan ndalem Bunyai Robi'ah. Kata Bunda, dulunya itu bagian dari ndalem cucu Bunyai Robi'ah. Namun sekarang bergeser posisi menjadi tempat menginap bagi tamu khusus ndalem Bunyai Robi'ah.

Ning Khafa yang kini bersiap-siap, mematut dirinya di cermin. Di bawah matanya terdapat kantung mata yang sedikit menghitam. Kemudian Ning Khafa mencari kacamatanya.

Ketika tangan lentiknya merogoh laci, justru ia menemukan benda lain. Benda pipih dalam keadaan nonaktif sudah lama terbengkalai. Dari hari pertama Ning Khafa disini, ponsel pintar itu sengaja ia nonaktifkan. Dan ini sudah hampir satu bulan lamanya.

Ada dorongan kuat untuk mengaktifkannya kembali. Segera ia mencari charger-nya. Ketika layar itu mulai hidup, Ning Khafa membiarkan terlebih dahulu, notifikasi muncul bertubi-tubi.

Jarinya menggulir kebawah, banyak pesan masuk dari beberapa klien, karena ini adalah ponsel kerjanya. Beberapa kali Bunda mengirimi pesan yang menanyakan kabar. Namun yang membuat jantungnya mulai berdetak kencang adalah pesan dari Zulaikha.

Mengatakan bahwa wisudanya di majukan, seketika tatapannya pada penanggalan yang tergantung. Tepatnya dua hari lagi wisuda itu di laksanakan.

Mendadak pikirannya blank. Secepat inikah ia harus kembali!

"Nduk?"

Panggilan dari Bunyai Robi'ah membuatnya tak ingin berlarut kembali. Segera Ning Khafa berlalu keluar meninggalkan sembarang ponselnya.

Akan ia pikirkan lagi nanti!

"Dhalem."

Melihat Bunyai Robi'ah berada di teras segera ia turun lalu menghadap beliau.

"Tak kiro lek sek neng langgar," kekehan kecil beliau. "Wes siap 'kan?"

Kepala Ning Khafa mengangguk lalu mengikuti Bunyai Robi'ah masuk ke ndalem cucunya.

Ini pertama kalinya Ning Khafa memasuki rumah yang di dominasi dengan kayu, sehingga ketika pintu terbuka tercium aroma kuat kayu yang telah lama tak digunakan.

"Rewangi iyo Nduk, mindahi poto-poto kuwi."

Ning Khafa bukan mengacuhkan matur-nya Bunyai Robi'ah, namun frame foto yang lumayan besar itu menyita seluruh perhatiannya. Disana tampak sepasang suami istri dan bayi mungil yang berada dalam gendongan.

Sebentar! Sepertinya ia pernah melihat foto itu, tapi dimana?

"Embah seneng, Al gelem muleh, Nduk."

Mendengar nama itu tersebut, dahi Ning Khafa mengerut memandang Bunyai Robi'ah yang sedang menatap salah satu foto. Ning Khafa pun mendekat, juga menatap foto dua anak laki-laki yang masih kecil.

"Iki kakangmu to Nduk?"

Sudut bibir Ning Khafa terangkat tipis diiringi anggukkan kepala. Kalau itu sudah ia hapal di luar kepala.

"Koyok sopo sak iki praupane iyo," gumam Bunyai Robi'ah mengusap salah satu diantara mereka.

Mengerti akan kesedihan Bunyai Robi'ah, Ning Khafa memeluk beliau dari samping.

"Ora tau balek, opo ora kangen neng embahe iki," lanjut beliau lirih terkandung kesedihan mendalam.

🎈🎈🎈🎈🎈

19-04-2022

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang