AL-KHAFA ٢١

365 38 27
                                    

📖📖📖📖📖

Rencana sowan ke ndalem  Bunyai Robi'ah ternyata harus tertunda. Tepat setelah acara wisuda Ning Khafa berakhir, mendapat kabar jika Ning Kiya sudah mulai kontraksi. Tentu hal tersebut membuat Abi maupun Bunda segera bertolak pulang. 

Atas paksaan Bunda, Ning Khafa tetap berada di ndalem. Kata Bunda, acara tasyakuran sederhana tidak boleh di tunda setelah itu boleh menyusul. Kurang setuju sebenarnya, momen menanti kelahiran 'kan tidak bisa di tunda, pikirnya. Kapan lagi 'kan?

Namun jika kanjeng ratu bunda sudah bertitah, mau tidak mau iya harus patuh.

Di ndalem, hanya ada Ning Khafa dan Zulaikha. Sedangkan hari ini adalah jadwal tasyakurannya. Jadi selepas sholat shubuh, ia maupun Zulaikha sudah sibuk di dapur. 

Sebenarnya tasyakurannya bukan yang acara resmi, lebih ke makan bersama santri saja. Kalau istilah di pondoknya dulu bancaan.

Di dalam kamar, Ning Khafa dan Zulaikha bernapas lega. Tasyakuran bersama santri sudah selesai menjelang Dzuhur.

"Dina sudah bisa njenengan hubungi, Ning?" Zulaikha selonjoran di karpet bulu, menyenderkan punggungnya pada ranjang.

Ning Khafa berbaring di sebelahnya menoleh lalu menggeleng lemah. "Centang satu, Mbak. Mosok Dina ganti nomer ndak ngabari aku."

Dari sebelum wisuda hingga sekarang, pesan maupun teleponnya tidak ada yang tersampaikan pada Dina. 

"Emh—" Zulaikha menimbang sesuatu. Melihat Ningnya masih menggerutu, akhirnya ia buka suara. "Tapi kemarin wisuda, kulo semerep Dina, Ning." Zulaikha menggigit bibirnya. "Ta-pi enggeh ngoten hanya sekilas sangking katah tiyang," imbuhnya.

"Huft! Iyaudah lah Mbak. Mungkin Dina lupa," cemberutnya. 

Ning Khafa tahu jika Dina kemarin juga wisuda, tapi kesempatan bertemu kecil sekali. Jangankan itu, melihatnya saja ia tidak bisa. Karena kursi antara wisudawan sarjana dan magister itu berbeda. 

Zulaikha menangkap raut murung Ningnya, ia jadi merasa bersalah karena telah menyembunyikan sesuatu pada Ning Khafa. 

Sebenarnya ia cukup bingung karena Ning Khafa belum mengetahui apa yang ia ketahui. Ia pikir sewaktu Ning Khafa memutuskan menenangkan diri ke Kediri waktu lalu, Ningnya itu sudah mengetahui sesuatu. Tapi nyatanya praduga itu salah.

Belum selesai acara tasyakurannya, berlanjut selepas magrib Ning Khafa maupun Zulaikha menuju ke warung makan ala kafe yang tak jauh dari area kampus.

Kali ini acara tasyakurannya untuk sahabat-sahabatnya, iya meski tidak banyak hanya orang yang sering berinteraksi dengannya saja yang di undang.

"Sampeyan langsung ke meja nomer 11 dulu iya Mbak, biar aku yang ngambil buku menunya."

Memasuki warung ala cafe itu. 

"Biar kulo saja Ning," tawar Zulaikha.

Ning Khafa menggeleng keras. "Uwes to Mbak." Setelah mengucapkan seperti itu, Ning Khafa berlalu ke tempat pemesanan.

Memandang Ning Khafa pergi, Zulaikha menghembuskan napas lalu beranjak mencari meja yang disebutkan tadi. Mencari meja yang di sebutkan Ning Khafa membutuhkan beberapa menit, sebab bangunannya cukup luas. Dan meja nomer 11 itu berada di privat outdoor.

"Mbak Zulaikha?"

Merasa namanya di panggil, Zulaikha pun membalikkan badan. Sejenak ia cukup terkejut, terbukti dengan pupil matanya yang membesar.

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang