AL-KHAFA ١٣

334 45 31
                                    

🎵Sandaran hati


📖📖📖📖


Sudah beberapa jam lamanya benda pipih itu ia anggurkan. Dan sewaktu sudah dalam keadaan on, banyak notifikasi yang masuk. Salah satunya adalah pesan beruntun yang datang dari Gus Zaydan. Inginnya ia mengacuhkan itu, namun rasa penasaran mengalahkannya. 

Dengan ragu dan berdebar, akhirnya jarinya menyentuh pesan itu.

Gus Zaydan

Assalamualaikum Ning. Beribu-ribu maaf, aku sudah menyakiti hati Ning. Keadaan seperti ini bukan keinginan dan bukan juga kehendakku, Ning. Apalagi menyakiti orang yang aku sayangi, itu sama sekali ndak pernah membayangkan.

Terpaksa dan di paksa, sulit untuk aku bergerak dalam situasi semacam itu. Aku ndak menuntut Ning untuk mengerti tapi setidaknya Ning bisa tahu penjelasanku.

Ning Khafa, menjadi pendamping njenengan adalah keinginanku dan aku sangat serius dalam hal itu. Maka dari itu, bagiku dia bukanlah masalah besar yang akan menghambat antara ikatan aku dan Ning Khafa.

Jadi, bolehkah aku masih berharap pada njenengan, Ning? Perasaan kita masih sama 'kan Ning?
Aku harap selalu begitu. Wassalamualaikum.

Dada Ning Khafa kembali memburu, napasnya tak beraturan. Tangannya  menggenggam erat tasbih kokkanya. Seolah menyalurkan apa yang ia rasa.

Dengan mata terpejam, ia sibuk menetralkan suasana hati.

Ini nyata dan bukan mimpi. Bahwa Gus Zaydan bukan lagi seseorang yang terikat padanya. Bukan lagi calon imamnya. Bukan. Semua sudah berakhir.

Mulai sekarang harus belajar tanpa Gus Zaydan. Belajar melupakan. Belajar melepas. Dan belajar mengikhlaskan.

Ia harus kuat 'kan? Harus! Tapi kok sakit....

Fiuh!

Suara dering ponsel memecahkan renungannya. Seolah tersambung, seseorang yang tadi sedang ia pikirkan, tiba-tiba muncul dalam layar panggilan.

Ning Khafa terdiam lama sembari memandang layar itu. Ia memang sengaja tidak menerimanya. 

Untuk apalagi? 

Mau apalagi?

Bukankah sudah cukup?!

Di satu sisi, Ning Khafa tidak terbiasa menerima panggilan atau mengirim pesan dari Gus Zaydan. Berhubungan dengan beliau selalu melalui perantara.

Bukan menebak asal-asalan, tapi ia sudah tahu alasan Gus Zaydan berani hingga meneleponnya.

Setelah notifikasi itu berakhir, segera Ning Khafa membisukan kontak Gus Zaydan.

Lebih baik seperti itu 'kan?! 

Tapi ia tidak bisa membohongi hatinya, jika ia menginginkan Gus Zaydan mengejarnya, mempertahankannya, dan memilihnya menjadi satu-satunya.

Berada diantara cinta dan rasa sakit itu rasanya benar-benar campur aduk.

Benar kata orang-orang disana, jangan terlalu mencintai sesuatu karena dari rasa cinta itu bisa menimbulkan rasa sakit.

Huft!

Beranjak dari ranjang menuju ke meja belajar. Frame foto yang tadinya berdiri, kini telah tertelungkup. Ning Khafa tidak tahu siapa yang melakukannya.

Ia pun duduk, mengambil frame foto tersebut. Memandangi lekat, mencoba merasakan kembali sisa rasa kebahagiaan itu.

Namun, justru hatinya kian tersayat. Ia pun tersenyum masam. Kini semua hanya akan menjadi kenangan. Kenangan yang akan tersimpan dalam memori otaknya.

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang