AL-KHAFA ٢٢

298 30 16
                                    

📖📖📖📖📖

Satu tahun kemudian....

Banyak yang terjadi selama setahun terakhir ini. Yang jelas terlihat adalah Ning Khafa memutuskan pindah ke ibu kota. Fokus membangun AS Labels agar lebih di kenal. Selain itu, tidak ada yang berubah.

Ning Khafa masih bisa tertawa, masih bisa bersenda gurau, masih bisa menjahili keponakannya, masih manja dengan keluarganya dan masih banyak lagi. Seolah kejadian hebat setahun lalu tidak berefek apapun pada dirinya.

Padahal.... 

Ning Khafa tersenyum kecut. Bunyi pensil terjatuh lalu menumpu kepalanya dengan kedua tangan. Dengan mata terpejam, beberapa kali ia mengatur napasnya karena rasa sesak itu kembali menyerang.

Sepertinya malam ini, ia kehilangan fokusnya.

Meninggalkan desain yang hampir rampung, ia pun beranjak menuju ke balkon. Angin malam seketika menyibakkan beberapa anak rambutnya. Berpegang erat pada besi pembatas, ia mendongak. 

Malam ini langit begitu terang, awan pun sama sekali tak terlihat. Sinar rembulan yang terang menutup kerlipan bintang. 

"Sebenarnya ada rahasia kecil yang di sembunyikan Abi pada sampeyan Nduk."

Netra Ning Khafa sontak menatap serius Aa'. 

Aa' terkekeh kecil melihat tatapan penasaran itu. "Nduke mau tahu?"

Kepala Ning Khafa mengangguk beberapa kali. Tentu saja ia kepo, mengingat keluarganya selalu terbuka.

Aa' merubah posisinya menghadap Ning Khafa. "Sudah ada beberapa orang yang datang sowan ke Abi," jeda Aa' menatapnya serius. "Nduke tahu beliau semua bilang nopo kaleh Abi?"

Ning Khafa menggeleng, "emange sanjang nopo A'?" Alisnya mengerut.

"Beliau semua ingin kenalan dengan Nduke."

Seketika tawa Ning Khafa menguar. "Mosok mboten semerep Nduke toh A'. 'Kan semua juga sudah kenal Nduke toh. Nduke 'kan putrine Abi." Kekehannya masih mengembang. "Ada-ada aja." Ning Khafa menggeleng tak habis pikir.

'Kan ia benar, siapa yang tidak tahu dirinya. Bukan bermaksud sombong, tapi karena memang menjadi putri satu-satunya Abi dan Bunda sudah bukan hal yang di tutupi rapat-rapat.

Melihat tawa Ning Khafa, Aa' kembali ke posisi awal. "Ta'aruf Nduk." Seketika kekehan itu lenyap di bibir Ning Khafa. "Beliau semua ingin ta'aruf kaleh Nduke," lanjut Aa' menoleh padanya.

Ta'aruf iya? Gumamnya mengangguk.

"Tapi selama ini Abi selalu menolaknya," imbuh Aa'.

Senyum tipis Ning Khafa seolah menyembunyikan sesuatu lalu memandang Aa' dari samping. "Alhamdulillah!" serunya kencang diiringi senyuman lebar.

"Heh! Kok malah Alhamdulillah," sentak Aa' menabok lengannya.

Ning Khafa terkekeh kecil melihat wajah garang Aa' sambil mengusap bekas tabokan Aa' yang sama sekali tidak sakit itu.

"Nduke masih belum bisa berdamai enggeh?" Suara halus nan kehati-hatian itu terlontar dari bibir Aa'. 

Ning Khafa terdiam sejenak. "Memangnya Nduke selama ini mboten berdamai A'?" tanyanya balik. Lalu tersenyum menggamit lengan kekar Aa' dan merebahkan kepalanya disana. "Nduke bersyukur tadi, karena Nduke mboten bingung caranya menolak gimana, sudah di wakilkan Abi," kekeh kecilnya.

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang