AL-KHAFA ١٧

305 34 20
                                    

📖📖📖📖

"Saya ndak marah, ndak. Hanya saja, sebagai seorang ayah yang melihat putrinya di perlakukan sedemikian rupanya, tentu saja saya sangat kecewa." Pria dewasa berkopiah goni itu kemudian menoleh, menatap sendu lalu menghela napas berat. 

"Jadikan kejadian ini sebagai pelajaran iyo Le! Mungkin lantaran ini, Allah menegur mu untuk lebih memperhatikan tanggung jawab mu," imbuh beliau.

Laki-laki yang sudah dianggap anak itu kemudian menatap penuh penyesalan. "Pengapunten Gus," lirihnya penuh sesal, menundukkan kembali kepalanya.

Tangan pria itu mengelus pundaknya. "Wes ndak usah terlalu ngunu. Saya dan Bundanya arek-arek, insyaallah sudah legowo menerima," jeda sejenak. "Ndak usah mikir masalah tuntutan Aa' tadi, biar saya yang bicara nanti."

"Pengapunten Gus, peng-apunten sudah mengecewakan panjenengan sekeluarga terutama Ning Khafa." 

Pria yang dipanggil Gus itu menatap ke sembarang arah, seketika memori masa lalu menyeruak. Kalau di tilik ulang, ia pernah di posisi seperti itu. Namun, Alhamdulillah-nya berakhir dengan penuh kebahagiaan.

Kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa jadi orang yang sekarang paling menyakiti, di kemudian hari adalah satu-satunya orang yang menyayangi. 

Untuk itu, memaafkan dan mengikhlaskan adalah jalan tempuh paling akurat dari segala permasalahan. 

"Sudah-sudah, memang jalannya sudah seperti ini. Putri saya mungkin bukan yang terbaik untuk sampeyan. Sekarang, sampeyan fokus saja pada keluarga. Bangun keluarga yang di barokahi Gusti Allah. Bimbing istrimu Le."

Laki-laki yang sedari tadi menatap keluar jendela, lamunan kejadian beberapa jam lalu itu membuatnya mendesah kecewa bercampur kesal. Ia kehilangan muka di hadapan mantan calon mertuanya itu.

Rambutnya yang rapi, berubah berantakan ketika tangannya sendiri mengacak kasar. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Sikap kurang tegasnya yang lalu menjadi bumerang sekarang.

Argh!

Kehilangan perempuan yang di cintainya. Perempuan yang akan dijadikan rumah paling nyaman. Yang ia harap menjadi pasangan hidup di dunia maupun di akhirat. Membangun rumah tangga penuh harmonis dan tentunya di barokahi. Lalu dari rahimnya lah terlahir dzurriyah-nya.

Begitu indah, angannya dulu. Dan sekarang, semua itu lenyap seketika.

"Mas?"

Laki-laki dalam keadaan kacau itu langsung menatap nyalang pada perempuan—emh istrinya, baginya sang istri adalah tersangka utama. Emosinya seketika meluap, napasnya naik-turun tak beraturan. 

"Mas makan dulu."

Tatapan tajamnya mengikuti gerak-gerik sang istri. "Keluar!"

"Mas makan dulu baru aku keluar."

"Keluar," tekannya, sorot matanya bak leser yang bisa melubangi lawannya.

"Ndak mau." Sang istri malah duduk nyaman di sofa. "Jangan mengurung diri gitu Mas, lagian masalahnya sudah clear 'kan."

Laki-laki yang tadinya akan membelakangi, seketika berbalik kembali. "Clear?"

Perempuan itu mengangguk yakin. "Iya emang sudah clear 'kan. Besok tinggal klarifikasi, beres. Lagian bukan aku yang salah. Mbak Dena aja yang nyebarin itu."

Laki-laki itu menggeleng tak percaya. Luar biasa sekali istrinya ini! Tidak ada sedikitpun setitik rasa bersalah, sudah menyebabkan gonjang-ganjing satu kampus dan hampir menghancurkan dua keluarga besar. Dan dengan gampangnya melimpahkan semua pada pihak lain.

Ia baru tahu sisi lain dari perempuan ini.

"Sakit kamu!" tekannya.

"Sakit bagaimana to Mas. Aku baik-baik saja loh. Mereka saja yang lebay, hanya masalah remeh gitu saja sudah viral."

Emosi yang di tahan sekuatnya itu hampir membuncah. Mengusap wajahnya kasar lalu mengayunkan tangan kanannya. "Keluar!"

Percuma, dia tidak akan sadar.

"Ndak mau. Makan dulu Mas, aku tungguin."

"Keluar," desisnya. Giginya bergemeletuk, semakin memperlihatkan rahang tegas yang di tumbuhi rambut halus.

"Ndak Mas!"

"Jangan terus mancing emosi saya, lebih baik kamu keluar sekarang juga." Kedua tangannya terkepal kuat.

Perempuan itu terkekeh kecil. "Ikan Mas kalau mancing. Aku ndak mancing emosi Mas. Lagian apa susahnya tinggal makan saja, aku tungguin, beres."

"KELUAR!" 

Brak!

"KELUAR DARI SINI. KELUAR!"

Bentakan diiringi tendangan kursi itu tak terelakkan lagi. Seketika nyali perempuan berkerudung hitam itu menciut. Dengan langkah cepat, ia keluar dengan air mata yang hampir menetes.

Pertama dalam hidupnya, ia di bentak sedemikian rupa. Dan yang membentaknya adalah suaminya sendiri. Suami yang sedang ia perjuangkan hatinya. Sakit sekali rasanya.

Dan semua ini penyebabnya adalah Ning Khafa. 

Ia muak, muak sekali. Seolah dunia berada di genggaman Ning Khafa. Semua orang lebih memilih Ning Khafa. Semuanya mengagungkan Ning Khafa. Semua yang ia inginkan, Ning Khafa yang mendapatkan.

Ning Khafa, Ning Khafa, Ning Khafa semuanya Ning Khafa. Sedangkan dirinya hanyalah sebagai bayangan semu seolah tak bernyawa dan tak bernama. 

Jika kemarin, ia dengan bodohnya berusaha mengikhlaskan suaminya untuk menikah lagi dengan Ning Khafa. Namun sekarang tidak akan lagi. Dan jangan harap!

Gus Zaydan adalah miliknya, suaminya dan selamanya begitu. 

Beruntung di kala masa terpuruknya, ia mencurahkan semuanya pada sepupunya. Berakhirlah dengan pola pikir yang sekarang jauh lebih terbuka. Ia tidak ingin bertindak bodoh lagi.

Ia bertekad. Yang bisa mempertahankan miliknya adalah ia sendiri.

🎈🎈🎈🎈🎈

06-04-2022

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang