AL-KHAFA ٣

392 40 13
                                    


📖📖📖

Ketukan pintu pada kamarnya, mengalihkan atensi yang tadinya terpaku pada layar dan buku-buku berserakan diatas meja. 

Aa' adalah kakak nomor dua, atau di kalangan pesantren di kenal dengan sebutan 'Gus Aa'. Pria dewasa berhidung mancung melebihi dirinya maupun kakak pertama, kini berjalan mendekatinya. 

Ning Khafa tersenyum lebar mencium tangan kakaknya ini. Ia tidak tahu kapan Aa' pulang, pasalnya hampir tengah malam terjaga tidak ada tanda-tanda kepulangannya. Dan sekarang, tepatnya pagi ini Aa' sudah berada di rumah dengan mengenakan pakaian khas rumahan, sarung dan kaos hitam polos.

"Revisi Nduk?"

Berubah posisi menghadap Aa' yang duduk di pinggiran kasur. "Enggeh A'."

"Banyak yang di revisi Nduk?"

Aa' memang selalu memantau perkembangan tesisnya. Tak tanggung-tanggung, Aa' itu bagai alarm pengingat ketika tesisnya terbengkalai.

Padahal 'kan istirahat sebentar!

Ini kalau Aa' mendengar suara batinnya, pasti akan menggetok kepalanya. 

Sebentar apanya? Dua minggu sebentar?

"Hmm... Mboten A' cuman dikit aja. Besok sudah ngadep dosbing lagi." Dagu Ning Khafa bertumpu pada sandaran kursi menatap Aa'.

"Bagus lah! Terus seperti itu Nduk. Sekarang revisi, besok ngadep. Kalau revisi lagi, langsung garap besok ngadep lagi. Terus ae ngunu. Suwi-suwi dosen pembimbingnya luluh sendiri," kekeh kaku Aa'.

Padahal dia tahu alasan dibalik adiknya di buat molor lulusnya.

Ning Khafa ikut terkekeh membayangkan wajah pasrah dari dosen pembimbing sedang meng-Acc tesisnya. Lelah karena hampir tiap hari bertemu.

"Terus mari ngunu Acc! Enak 'kan?" 

Ning Khafa mengangguk antusias. 

"Iyo iyolah enak, wong bayangne!" sahut Aa' bernada.

Kakak beradik itu tergelak bersama.

 "Aa' kapan wangsule, kok Nduk e ndak tau?" tanya Ning Khafa penasaran.

Dahi Aa' berkerut mengingat jam berapa dia datang. "Emh... Setengah 2 pagi kayaknya Nduk. Aa' ndak lihat jam." Diiringi dengan gidikkan bahu.

Ning Khafa mengangguk matanya menatap lantai. Pantas saja, di jam itu dia sudah terlelap.

"Kemarin Gus Zaydan dan Ning Khilwa jadi kesini iya Nduk?"

Mendengar nama itu, kedua matanya langsung menatap binar pada Aa'. Ning Khafa mengangguk antusias diiringi senyumnya yang melebar.

Aa' tersenyum lebar melihat keantusiasan itu. "Seneng?"

Lagi-lagi adik kesayangannya ini mengangguk antusias. Aa' terkekeh kecil lalu di detik berikutnya berubah murung. "Yah... Kenapa cepet dewasa sih Nduk!" desah lesunya.

Ning Khafa terkekeh geli. Reaksi kakaknya tak pernah berubah jika sudah menyangkut pernikahannya. Ia beranjak duduk disamping kakaknya lalu memegang lengan berotot milik Aa'. 

Tak heran bisa sekeras ini! Di ndalem ini ada ruangan khusus untuk olahraga. Beruntung kakak iparnya menyetujui ide Aa'. 

Kalau dirumah?

Dulu pernah Aa' membeli alat-alat olahraga dan dengan entengnya Aa' meletakkannya pada area taman yang biasanya untuk bersantai.

Tentu saja, Bunda mengomel. Pasalnya alat-alat olahraga milik Aa' itu berat dan merusak rumput hias kesayangan Bunda.

Ia dan Mase tergelak melihat wajah penuh ketidakrelaan dari Aa' ketika alat-alat olahraganya di usir paksa oleh Bunda.

Dan berakhirlah disini.

Sebelum menyenderkan kepalanya, Ning Khafa menepuk memastikan kerasnya lengan berotot Aa'. "Masak Nduke suruh kecil terus A'," cemberutnya.

"Iyo bukan gitu Nduk." Mengelus sayang kepala adik kesayangannya ini. "Kesannya ngebet banget mau nikah!" gerutu Aa'.

"Iya 'kan udah nemu yang tepat A'." Masih cemberut.

Aa' menoleh menangkap bibir manyun adiknya. "Emang yakin udah pas?" tanyanya setengah mencibir, menggoda adiknya.

Ning Khafa duduk tegap dengan alis mengerut, wajahnya kesal. "Kok gitu sih A'?" Berubah posisi menatap jendela besar.

Aa' tergelak melihat tingkah adiknya yang masih seperti bocah. Dia mendekapnya dari samping. "Hmm... Terus seperti ini iya Nduk!" gumam Aa' mendapat anggukan Ning Khafa meski ia tak tau maksudnya apa.

"Iya udah, kerjain lagi revisinya. Aa' mau nemenin Aash main." 

Sebelum beranjak, Aa' menyempatkan untuk mengacak rambutnya. Ning Khafa mendengus kesal, namun setelah pintu tertutup senyuman lebar terbit di bibirnya.

Jadi kangen Abi, Bunda, Mase dan semua yang dirumah...

Ning Khafa menghela napas sebelum melanjutkan kembali revisi. Memposisikan diri di depan layar 16 inch.

Semangat Khafa! Bisa yuk, sebentar lagi nikah!

Ning Khafa terkekeh sendiri melihat memo kecil yang tersemat pada frame photo. Mengelus pelan potret setahun lalu sewaktu acara khitbah. Potret ini mengingatkannya tentang kebahagiaan terindah yang terjadi dalam hidupnya.

Menjadi calon pendamping untuk orang yang dicintainya, tentu siapa yang tidak bahagia. Apalagi saling tahu ada cinta diantara keduanya.

Dia ingat dan selalu mengingat proses khitbah itu terjadi. Dan untuk pertama kali Ning Khafa melihat Abi-nya menitikkan air mata.

Ah! Semakin rindu Abi, Bunda, Mase dan semuanya...

Beralih pada ndalem Gus Zaydan. Yang kini Gus Zaydan seperti sedang di sidang. Di hadapannya ini ada Abah dan Uminya. Menanyakan bagaimana pertemuan dengan calon mantu kesayangan beliau.

"Umi sudah ndak sabar."

Gus Zaydan tersenyum hangat. "Sabar enggeh Mi. Ning Khafa masih mengusahakan lulus cepat."

Hela kasar Uminya menimbulkan kekehan kecil di bibir Gus Zaydan. Tentu saja dia sangat senang, melihat antusias wanita paruh baya yang melahirkannya suka sekali dengan Ning Khafa-calon istrinya.

"Iyo mbok dibantu tah Le, Ning Khafa ne. Biar cepet lulus ngunu loh."

Bahu Gus Zaydan merosot pada sandaran kursi. Kini gantian Abahnya yang terkekeh.

"Umi... Umi... Zaydan sama Ning Khafa 'kan beda jurusannya. Iyo ndak mathuk toh." Kekeh Abahnya.

"Iyo kedik katah e 'kan tahu Bah. Wong sama-sama kuliah." Umi tak mau kalah.

Gus Zaydan menggeleng pasrah. Meski sama-sama kuliah, tapi tetap beda. Dia lulusan Ilahiyat atau di Indonesia dikenal dengan Ushuluddin sedangkan Ning Khafa kuliah Ekonomi dan Bisnis Islam.

'Kan tidak nyambung. Dah lah! Iyakan saja Umi. 

Memangnya siapa yang mau bantah kanjeng Uminya ini. Bahkan Abahnya saja hanya menggeleng sambil terkekeh kecil kemudian melanjutkan membaca kitab.

Tak lama ada seseorang yang membawakan suguhan.

Umi berdehem sejenak. "Bah! Terose mau sambang Zidny. Sekarang saja ayo Bah!"

Abah mendongak menatap istrinya. Melihat seseorang yang telaten meletakkan suguhan dengan sangat hati-hati.

"Riyen Mi. Ini loh sudah dibuatkan minum, iyo mbok di minum dulu." Abah menuangkan kopi panas pada tatakkan cangkir, mendinginkan. "Matur suwun Nduk!"

Yang di panggil Nduk hanya tersenyum patuh. Hatinya senang meski yang merespon baik hanyalah Abah Yai.

🎈🎈🎈🎈

09-02-2022


AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang