AL-KHAFA ٣٠

326 36 3
                                    

📖📖📖📖📖


"Baik, kalau gitu kami permisi dulu iya Mbak Ihda." 

Ning Khafa sudah tidak betah berlama-lama berada di satu ruangan yang sama dengan laki-laki yang beberapa kali tertangkap basah memandangnya.

Sungguh ia risih!

Ning Khafa bukannya tak tahu alasan di balik itu. Tapi ia tak akan mencampur adukkan masalah pribadi dan bisnis. Ia tetap profesional, meskipun awalnya memang sempat syok berlebihan.

"Loh, makan dulu Mbak Khafa," cegah Ihda.

Ning Khafa tersenyum hangat. "Terimakasih Mbak Ihda, tapi kami ada urusan lain. Wassalamualaikum."

Sebenarnya itu hanya alibinya saja. Beruntung timnya memakluminya.

Keluar dari ruangan itu, seketika napasnya lega.

Namun ada hal yang membuatnya kesal dengan sendirinya. Ia menjadi pihak yang lebih dulu tahu sesuatu di banding dengan orang lain.

Itu yang tidak ia suka. Di ombang-ambing dalam perasaan dilema. Ingin hati memberi tahu, tapi khawatir merusak semuanya. Kalaupun tidak pun juga tidak tega.

Lantas ia harus bagaimana?

Huft! Merepotkan.

Mengingat itu, rahangnya mengeras serta giginya bergemeletuk. Kebohongan dan penghianatan, adalah dua hal yang paling membuatnya mudah tersulut emosi.

Astaghfirullah! 

Berkali-kali ia menenangkan diri, mengucap istighfar.

Tiba di kantor, Ning Khafa segera menuju ke unitnya. Meletakkan tas sembarang setelah menemukan ponsel.

Sepanjang menunggu panggilannya di terima, ia sibuk mondar-mandir. Sambungan pertama tidak terjawab, begitupun dengan panggilan kedua dan ketiga. "Neng endi seh arek iki! " dengusnya meletakkan ponsel sembarang.

Menghempaskan tubuh di ranjang, menghadap jendela kecil yang terbuka. Tanpa di cegah, pikirannya melalang buana ke masa lalu. 

"Kenapa harus bersembunyi?" tanyanya. Laki-laki yang menjadi objek perdebatan itu tiba-tiba datang. 

Dia terdiam kaku, menatap penuh penyesalan. "Ma-maaf. Aku ndak bermaksud seperti itu. Aku terpaksa Ning!"

"MAS!"

Laki-laki memakai setelan kemeja dan sarung senada itu menatap tajam pada perempuan di sampingnya. "APA? Memang terpaksa 'kan? Lebih tepatnya di paksa."

"IYA JANGAN GITU JUGA! Kamu itu suaminya, harus menjaga perasaan istrimu lah!" bela sepupu ipar laki-laki itu.

"GAK USAH IKUT CAMPUR!" bentak laki-laki itu, wajahnya sudah memerah. 

"GAK BISA—"

"CUKUP!" teriaknya lantang. Dadanya naik turun disertai tangannya gemetar. "Sudah cukup!" lirihnya.

Mata merahnya menatap berani pada laki-laki yang dicintainya itu. "Insyaallah, saya memaafkan panjenengan, Gus. Jadi, silahkan lanjutkan kehidupan panjenengan, begitupun saya."

Beralih pada dua perempuan bersaudara itu, yang salah satunya sudah ia anggap sebagai keluarga. "Madina," jedanya sejenak. Sorot matanya berubah sayu, tersirat penuh kekecewaan. "Terimakasih dan maaf aku ndak akan lupa," lanjutnya diiringi senyum pedih.

Setelah berbalik badan meninggalkan mereka. Ia tersenyum getir. Bagus sekali ia tidak menangis. Ia harus kuat 'kan?!

Mengambil oksigen banyak, lalu menghembuskan pelan. Berulang kali seperti itu, sampai rasa sesak perlahan menghilang. 

AL-KHAFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang