empat puluh empat

388 102 28
                                    

"Gue gapapa Ta, mending lo samperin Rakan sekarang. Minta maaf sama dia kalau lo cuma salah paham tadi." Ucap Bitra kepada Nata yang hanya duduk di samping ranjang memperhatikan luka di lengannya yang sudah di perban.

Keduanya saat ini tengah berada di rumah sakit. Nata langsung membawa Bitra setelah tahu bahwa Bitra mengalami kecelakaan sebelum menemuinya. Dan rumah sakit yang mereka datangi adalah rumah sakit dimana Rakan melaksanakan program pendidikan profesi dokternya.

Nata menggeleng. "Enggak, gue mau nemenin lo dulu."

Bitra tersenyum simpul. "Gue gapapa Ta beneran deh, lo juga denger kan kata dokter tadi kalau luka gue gak terlalu serius." Ucapnya. "Nih liat, tangan gue masih bisa gerak."

"Namanya luka gak ada yang gapapa Bit, tetap sakit." Sahut Nata menghentikan Bitra yang menggerak-gerakan lengannya seolah ingin terlihat kuat.

"Iya sakit dikit, kan luka nya gak parah." Timpal Bitra.

"Bit, dengerin gue." Ucap Nata yang kini terdengar lugas. "Lo tahu kan tangan tuh anggota tubuh yang paling penting? Lo gak akan bisa ngambil, megang, dan genggam tangan orang lain kalau tangan lo gak ada. Dan lo bisa bayangin gimana perasaan bersalah gue kalau tangan lo kenapa-kenapa?"

"Iya tahu, tapi kan yang terpenting tangan gue baik-baik aja."

"Stop bilang baik-baik aja Bit, lo jangan sok kuat!." Bentaknya berbarengan dengan butiran bening yang keluar dari bola matanya, namun segera gadis itu seka. "Dulu tangan kanan lo pernah patah, dan sekarang lo mau samain ke tangan kiri lo juga?"

Bitra kini terdiam, tak lagi melawan perkataan Nata yang terlihat kesal karenanya.

"Maafin gue." Gumam Nata kemudian menundukan kepalanya dalam. Merasa begitu sangat bersalah karena Bitra terluka karenanya.

Melihat itu Bitra langsung menarik tubuh Nata pada pelukannya, mengusap rambut panjang gadis itu dengan lembut, menenangkannya. "Lo gak salah Ta, ini gue aja yang ceroboh. Gue yang mestinya minta maaf."

"Maafin gue." Nata kini terisak dalam pelukannya.

"Iya Ta iya." Bitra mengangguk mengiyakan saja agar Nata tak terus menyalahi dirinya sendiri. "Udah ya jangan nangis, dari tadi nangis mulu." Kemudian melepaskan pelukannya dan menghapus pipi Nata yang sudah basah. "Nanti gak cantik lagi."

Nata menurunkan tangan Bitra di pipinya, kemudian menghapus air matanya sendiri. "Ayo kita pulang." Ucapnya lalu membantu Bitra turun dari ranjang karena telah selesai melakukan pengobatannya.

Saat tangan Nata sudah menggandeng Bitra untuk menuntun pergi, Bitra langsung melepaskannya. "Samperin pacar lo dulu sana, gue tunggu di bawah."

"Gak usah, Kak Rakan pasti masih marah. Gue nunggu waktu yang tepat aja." Tolak Nata.

"Sekarang waktu yang tepat Ta, kalau punya salah justru harus cepet minta maaf kan? Lagian hape dia bukannya di lo, nanti kalau ada yang hubungin dia gimana? Susah kalau hape nya lo pegang." Jelasnya.

Bitra sudah tahu alasan Nata dan Rakan bertengkar karena gadis itu sudah menceritakannya tadi. Ia juga tahu bahwa Nata memang melakukan kesalahan dengan menuduh Rakan berselingkuh dan memaksa untuk melihat ponsel milik pria itu, dan kini Nata menyesal setelah memeriksanya karena ia tak menemukan hal yang mencurigakan seperti tuduhannya. Dari awal Rakan memang tak pernah berbohong.

"Gue tunggu di bawah ya." Ucapnya lagi kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Nata yang masih terdiam bingung.

Hingga tak lama dari itu, Nata mendapatkan panggilan masuk. Saat ia merogoh tas untuk mengeceknya ternyata bukan ponselnya yang berdering melainkan ponsel milik Rakan.

BITRA, NATA, & JUNA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang