Chapter 1 - Helped

927 105 87
                                    

Ditariknya napas dalam-dalam. Karbon dioksida pun dikeluarkannya seusai terjadi difusi gas di alveolus. Atau setidaknya itulah yang ia harapkan. Tetapi, kenyataannya tidak demikian. Tidak seperti yang ia inginkan.

Tubuhnya terus tenggelam. Hingga ke dasar laut yang paling dalam. Di sekitarnya terasa gelap. Tak ada satu pun cahaya yang terlihat. Tidak ada satu pun.

Pikirannya mendadak kosong. Air sudah masuk ke dalam paru-paru gadis itu. Menyebar hingga ke sekitarnya. Terasa sesak, juga menyakitkan.

Ia ingin berteriak. Meminta pertolongan. Namun, siapa yang akan menolongnya? Di dunia ini, gadis itu hanya seorang diri. Tanpa teman, tanpa keluarga. Dunianya hanya diisi oleh fakta bahwa ia sendirian. Juga kesepian.

Hening menyapa. Diam, tanpa asa. Matanya perlahan menutup. Bersamaan dengan detak jantungnya yang perlahan melemah. Gelembung-gelembung udara berangsur-angsur menghilang. Lenyap, tak berbekas.

Kala perlahan mata itu tertutup, sebuah tangan mengulur ke arahnya.

***

Manik (e/c) di balik kelopak mata itu perlahan terbuka. Pemiliknya, (Y/n), sontak menatap ke sekelilingnya. Memastikan jika dirinya berada di dalam kamarnya sendiri. Lengkap dengan piyamanya yang masih kering.

Seketika pikirannya teringat akan hal yang baru saja ia lihat. Lebih tepatnya adalah mimpinya. Sebuah bunga tidur yang tak dapat ia artikan serta ia anggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dianggap serius. Toh hanya mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata. Sebatas penghibur ketika ia tengah tertidur.

Mengingat hari ini adalah hari Senin, (Y/n) sontak melirik ke arah jam dinding. Jarum detik yang terus bergerak menandakan bahwa jam dinding tersebut masih hidup. Angka dua belas pun dilalui oleh si jarum detik. Bersamaan dengan jarum menit yang bergeser nol koma satu centimeter.

Ia bangkit dari pembaringannya. Beranjak menuju kamar mandi untuk menyelesaikan urusannya di sana. Tungkai kakinya melangkah ke luar dari kamar mandi setelahnya.

Kini dapur menjadi tujuannya. Dengan cekatan, ia membuat roti yang diisi dengan selai cokelat. Digigitnya secara perlahan roti tersebut. Sekaligus sebagai sarapan yang sudah jarang ia lakukan belakangan ini.

Sunyi kembali meliputi dapur di mana (Y/n) berada. Merasa kesepian? Awalnya memang demikian. Namun, pada akhirnya kini ia merasa biasa saja. Terlalu biasa hingga ia berpikir di dunia ini dirinya memang hanya ditakdirkan untuk menjadi sendirian.

Suapan terakhir dimasukkan ke dalam mulutnya. Gadis itu beranjak menuju bak cuci piring. Mencuci sebuah piring dan gelas yang habis ia pakai. Kemudian, ia berbalik dan bersiap menuju kampusnya.

Pintu pun dibuka, kunci rumah diambilnya. Sekali lagi, kepala (Y/n) menoleh ke dalam rumah peninggalan kedua orang tuanya. Ia diam sejenak. Tampak memikirkan sesuatu.

Lalu, tubuhnya pun berbalik. Menutup pintu rumahnya rapat-rapat, sekaligus menutup kenangannya di dalam rumah itu.

***

Nuansa jingga kemerahan memenuhi jalan. Kala sang angin pun ikut bertiup dari utara. Menciptakan suasana musim gugur yang tampak menenangkan, damai.

Sang gadis berjalan di tengah-tengah. Sebuah sepeda didorongnya perlahan, melawan arah angin berhembus. Rantainya terlepas dari tempatnya. Menciptakan suara yang tak mengenakkan kala sepedanya digerakkan. Bersamaan dengan helaan napas yang dikeluarkannya, gadis itu berhenti berjalan. Menepi ke tepi trotoar yang tampak sepi.

Kakinya perlahan ditekuk. Tatapannya mengarah pada rantai sepedanya yang sudah lepas dari posisi yang seharusnya. Helaan napas dihembuskannya sekali lagi.

(Y/n) melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Waktu yang tersisa hingga mata kuliah pertamanya dimulai hanyalah sekitar dua puluh menit.

Ia bisa saja meninggalkan sepedanya di minimarket terdekat. Namun, gadis itu tak suka mengambil resiko yang cukup tinggi. Terlebih hanya sepeda itu yang bisa mengantarnya ke kampus setiap pagi. Lantas, apa yang harus ia lakukan? Tetap membawanya ke kampus meskipun dirinya akan terlambat? Ya, sepertinya hanya itu pilihan satu-satunya.

Kakinya yang semula ditekuk berniat untuk diluruskan kala pikirannya tiba-tiba teringat akan mimpi yang tadi pagi membangunkannya. (Y/n) terdiam sejenak. Ia bertanya-tanya mengapa dirinya mendadak memikirkan tentang bunga tidur yang tidak penting itu. Namun, pada akhirnya kini pikirannya diliputi oleh mimpi itu.

"Hei."

Sumber suara itu pun dicarinya. Sang gadis sontak menoleh kala ia melihat dua orang lelaki berada tepat di belakangnya. Salah satunya lebih tinggi dari yang lainnya. Warna surai mereka senada. Yang juga merupakan warna kesukaan gadis yang kini menatap lurus ke arah mereka.

"Ya?" (Y/n) pun akhirnya menjawab setelah ia diam mengamati dua lelaki yang berbeda sekolah dengannya itu. Gadis itu berhipotesa demikian karena tidak pernah melihat mereka di universitas tempat ia berkuliah.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Yang surainya dipotong lebih pendek dan tampak rapi bertanya demikian pada (Y/n). Sontak (Y/n) menatap ke arah sepedanya. Membuat dua orang lelaki yang berdiri di depannya juga ikut menatap ke arah yang sama.

"Ah, begitu rupanya."

(Y/n) yang tak tahu harus mengatakan apa hanya bisa memilih untuk diam. Ia juga menghindari tatapan si lelaki yang surainya tampak lebih panjang. Karena tak tahan menghindar dari manik violet itu, gadis itu beralih ke arah lelaki yang sebelumnya bertanya padanya. Yang ternyata sedang berjongkok dan mengutak-atik rantai sepedanya.

"Sepedamu rusak. Ini tak dapat diperbaiki dengan mudah."

Ya, (Y/n) pun tahu tentang hal itu. Maka dari itu, ia tidak mencobanya lagi untuk memperbaiki sepedanya sendiri. Bukannya ia memilih untuk menyerah, namun memang lebih baik demikian. Benar, 'kan?

"Ikut saja dengan kami."

Spontan, mulut (Y/n) sedikit menganga. Tersirat keheranan pada air mukanya. "Eh?"

"Kau pun sedang dalam perjalanan menuju kampusmu, bukan?" tanyanya lagi.

"Y-Ya," sahut (Y/n) masih diliputi keheranan. "Tetapi, kalian tidak perlu melakukannya. Aku bisa melakukannya sendiri," tolaknya kemudian.

"Kau dengar apa yang dikatakannya 'kan?"

Kini bukan si lelaki yang surainya tampak rapi yang berbicara. Melainkan yang satunya.

"Kau akan membiarkan gadis ini di sini sendirian?" balasnya.

(Y/n) diam menyaksikan perdebatan singkat mereka. Sebenarnya perdebatan itu akan menjadi panjang apabila (Y/n) tidak berinisiatif untuk menyelanya.

"Baiklah, baiklah. Kuturuti perkataanmu."

***

END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang