Sebuah gedung bercat putih terpampang dengan jelas di hadapan (Y/n). Sebuah gedung yang sudah lama tidak ia kunjungi. Kapan terakhir kali ia datang ke sini? Tiga minggu yang lalu? Entahlah, gadis itu tidak dapat mengingatnya dengan pasti. Yang ia ingat, kedatangannya yang terakhir kali saat itu membuat dirinya membawa pulang kekecewaan.
Harapannya, hari ini tidaklah demikian.
Suara plimsoll sneakers berwarna putih miliknya yang beradu dengan lantai mengiringi setiap langkah yang dilalui oleh (Y/n). Ruangan demi ruangan telah ia lalui dengan cepat, tentunya. Gadis itu merasa penasaran akan apa yang dikatakan oleh dokter muda yang sudah terbiasa dengan kedatangannya itu. Namun, di saat yang bersamaan pula ia merasa takut. Takut jika kabar yang ia ketahui nanti tidak sesuai dengan ekspektasinya dan membuat dirinya kembali berada di dalam jurang kekecewaan.
Pintu bernuansa cokelat itu pun digeser setelah cukup lama didiamkan oleh gadis itu. Pasalnya, (Y/n) menyiapkan dirinya terlebih dahulu agar ia siap mendengarkan pernyataan yang akan dikatakan untuknya. Setidaknya, ia tidak ingin berharap terlalu lebih kali ini.
"Akhirnya kau tiba, (Y/n)."
Suara bariton itu menyapa gadis yang namanya disebut kala ia membuka pintu ruangan. Dengan langkah yang terasa berat, ia mendekati meja milik dokter berjas putih yang menyapa dirinya sebelumnya.
Sesaat (Y/n) terdiam. Menunggu apa yang akan dikatakan oleh Shinichiro kepadanya. Yang bahkan hingga menghubungi (Y/n) tadi siang. Menambah rasa gugup di saat yang bersamaan pula. Bibirnya terkatup rapat. Kerongkongannya bersusah payah untuk menelan saliva-nya.
Hingga pada akhirnya, tubuh (Y/n) sontak menegang kala ia mendengar satu kalimat pernyataan yang diucapkan oleh Shinichiro. Sebuah kalimat yang telah ia harapkan sejak enam bulan yang lalu. Juga menjadi sebuah pernyataan yang sontak membuat dirinya menghela napas lega.
"Ada seseorang yang membutuhkan donornya."
***
"Apakah tidak masalah kau meninggalkan gadis itu seorang diri?"
Mendengar pertanyaan itu, sontak Ran menoleh. Kemudian mendapati adiknya tengah menatap ke arah dirinya sendiri. Setelah menunggu beberapa saat, Ran pun membuka mulutnya.
"Bukan hanya aku, tetapi kita," ralatnya kemudian. Menciptakan dengusan yang keluar dari hidung milik Rindou.
Seusai pertanyaan itu dilontarkan, mereka kembali terdiam. Bukan tengah melamun, melainkan sedang memikirkan seseorang. Orang yang sama, namun dengan isi pikiran yang berbeda tentang orang tersebut.
"Kau pun harus mulai memikirkan dirimu sendiri, Rindou."
Ucapan sang kakak mengalihkan atensi Rindou ke arahnya. Ia menatap kakaknya sambil berpikir harus menyahut pernyataannya dengan kalimat apa. Meskipun sebenarnya di dalam benaknya terdapat banyak argumen yang bisa ia lontarkan.
"Gadis itu memang lebih penting dari apapun. Namun, ada kalanya kau juga harus peduli pada dirimu sendiri." Ran berhenti sejenak. Di dalam kepalanya, wajah milik (Y/n) yang tengah tersenyum tercetak dengan jelas. "Agar senyuman miliknya tidak lenyap," lanjutnya kemudian. Yang seketika membuat Rindou merasa dikalahkan telak oleh perkataan sang kakak.
"Kau sudah tahu harus melakukan apa, bukan?"
Yang menerima pertanyaan itu pun hanya tertawa melalui hidungnya. Sekaligus membenarkan ucapan Ran dalam hati. Lengan kanannya yang terbalut pakaian berlengan panjang sontak menutupi matanya. Mencegah cahaya lampu yang terang benderang menusuk mata, serta menghindari tatapan Ran yang tertuju kepadanya.
"Mikey menanyakanmu lagi. Tentu saja karena keberadaanmu yang tidak ada di saat pertemuan waktu itu," ujar Ran tiba-tiba. Membuat Rindou mengangkat tangannya dari atas wajah.
"Apa yang Aniki katakan padanya?" Secara tidak langsung, pertanyaan Rindou menuntut sebuah jawaban dari Rin. Yang tentu saja dijawab oleh lelaki bersurai lilac itu.
"Jawaban yang sama seperti yang sebelumnya."
Rindou mendengus lagi sambil menarik sudut bibirnya ke samping. Entah apa yang ia tengah pikirkan saat ini.
"Aku berasumsi jika Sanzu sudah mulai curiga. Hanya saja ia pandai menyembunyikannya dari siapapun. Kau tahu; seorang raja tidak boleh dikhianati oleh siapapun. Kurasa aku harus mencari alasan lain yang lebih logis."
Ran menyusupkan tangannya ke dalam rambutnya yang tampak tersisir rapi. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah pematik dari dalam saku celananya. Sebatang rokok telah diapit di bibirnya. Ia hendak menyalakan pematik tersebut. Namun, niat itu ia urung lakukan kala menatap Rindou yang berbaring di hadapannya.
Adiknya yang tampak berbeda dengan yang dulu.
"Maaf, Aniki. Aku merepotkan dirimu," ujar Rindou tanpa menatap ke arah Ran. Ia memiringkan tubuhnya menghadap ke arah dinding di sebelah kanan untuk menghindari tatapan si kakak. Tentu saja, kalimat permintaan maaf itu sungguh sulit untuk ia katakan. Walau kepada Ran sekalipun.
Ran terkekeh. Lalu, ia mengulum senyumannya. "Sudah sewajarnya aku khawatir padamu, Rindou."
Tanpa Ran ketahui, sang adik tengah tersenyum simpul. Sebuah aksi yang jarang ia lakukan. Terlebih di hadapan orang lain. Mereka lebih sering melihat wajah datarnya ketimbang garis kurva yang terbuka ke atas itu.
"Hei, Rindou."
Rindou bergumam singkat, menyahut panggilan dari Ran. Bahkan tidak terdengar terlalu jelas.
"Kita tidak boleh mengulangi kejadian yang sama. Tentu saja, terhadap (Y/n). Kau pun berpikir demikian, 'kan?" ujar Ran, meminta persetujuan Rindou.
Namun, Ran tak kunjung mendapat sahutan apapun dari adiknya. Tentu saja hal tersebut menciptakan keheranan dan berbagai prasangka hinggap di dalam kepala. Ran pun mendekat. Menepuk bahu Rindou pelan. Berusaha menyadarkannya apabila adiknya itu tengah melamun. Barangkali lamunannya sendiri lebih menarik daripada pembicaraan dengan dirinya.
Kala ia membalikkan tubuh Rindou, yang Ran dapatkan hanyalah Rindou yang terkulai lemas. Matanya tertutup rapat. Namun, bercak darah yang berasal dari hidungnya hingga mengenai lengan pakaian Rindou membuat Ran seketika diliputi oleh rasa panik.
"Rindou!"
***
Adh, pusing sama sekul—🤺
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani Brothers
FanfictionKala malam tiba, sang mentari bergerak pergi, menjauhi kalbu dalam hening. Bulan merangkak ke atas. Menjajakan dirinya di tengah kegelapan. Bunga tidur kembali muncul. Menyelimuti pikiranmu, menjaga alam bawah sadarmu. Itu pun kau indahkan. Tak memp...