"Kau tidak perlu mengembalikan biayanya, (Y/n)."
Sebuah pernyataan dilontarkan. Menggemparkan satu isi kepala (Y/n) secara sepenuhnya. Saat ini, dirinya dan kedua Haitani bersaudara itu tengah duduk di bagian luar café tempat (Y/n) bekerja paruh waktu. Awalnya gadis itu ingin menyelesaikan shift-nya terlebih dahulu. Namun, karena Hinata merupakan seorang atasan yang sangat baik, alhasil (Y/n) pun dibiarkan menemui Ran dan Rindou di luar agar ia bisa mendapatkan sebuah privasi. Juga menghindari tatapan rekan kerjanya yang menatap penasaran dan terpesona oleh wajah kedua bersaudara itu.
Dengan cepat, (Y/n) menatap ke arah Ran yang duduk di hadapannya. Tak sengaja, manik (e/c)nya pun ikut melirik kepada Rindou yang tengah menatap dirinya dengan tatapan datar.
Hening sesaat. Perkataan yang seharusnya mudah dipahami kini terasa sulit untuk dicerna oleh gadis itu. (Y/n) meremas apron berwarna cokelat yang ia kenakan sebagai bagian dari seragam kerjanya.
"Mengapa?"
Tanpa bisa ia cegah, bibirnya sudah terbuka lebih dulu dan menanyakan hal yang hinggap di dalam kepalanya sejak tadi. Bukankah seharusnya ia berterima kasih? Penghasilannya yang sangat tipis bahkan hanya bisa untuk memenuhi kehidupannya justru diselamatkan oleh kedua Haitani bersaudara itu.
Setelah pemikiran itu muncul di dalam kepala (Y/n), gadis itu pun sontak terlonjak. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk bertanya demikian." Ia menunduk dalam-dalam sebagai tanda permintaan maafnya sekaligus penyesalannya. "Aku, aku sangat berterima kasih pada kalian," lanjutnya.
Kekehan yang keluar dari bibir Ran membuat gadis itu menaikkan kepalanya. Menatap lurus ke arah (Y/n) yang masih diselingi oleh tawa kecilnya. Sementara Rindou hanya mendengus. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa sebuah senyuman samar terbentuk di wajahnya. Senyum yang kerap ia sembunyikan dari sang gadis.
"Kau memang tidak berubah sama sekali, (Y/n)."
***
Secarik kertas berukuran A4 berada di tangan (Y/n) sejak tadi. Sejak kuliahnya berakhir beberapa menit yang lalu, ia sudah menatap pada kertas itu. Tulisan yang diketik di sana pun masih sama. Sama sekali tidak berubah meskipun ia telah membacanya berulang kali.
Helaan napas pun ia hembuskan. Hasilnya masih sama seperti yang sebelumnya. Tidak ada perbedaan mau pun kemajuan. Masih belum ada orang yang membutuhkan bantuan darinya. Bahkan hingga detik ini.
Justru dirinyalah yang mendapatkan bantuan. Ya, dari dua Haitani bersaudara itu. Tetapi, karena hal itu pula, seketika pertanyaan yang sama kembali berputar-putar di dalam kepalanya. Pertanyaan yang tidak ia tanyakan dan memilih untuk ia pendam seorang diri.
Seketika (Y/n) teringat dengan kalimat terakhir yang Ran ucapkan sebelum ia dan adiknya pergi dari hadapan (Y/n). Masih diliputi oleh rasa bingung dan penasaran, gadis itu pun hanya bisa menutup mulutnya rapat. Membiarkan dirinya merasa penasaran dan hanya diam saja. Memang, bisa saja (Y/n) bertanya, namun ia tidak melakukannya.
Merasa jika dirinya mulai berpikiran terlalu jauh, gadis itu hendak melipat kertas tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam amplopnya seperti semula sebelum ia pulang ke rumahnya. Namun, rencananya itu gagal kala kertas tersebut lebih dahulu direbut oleh tangan seseorang di sebelahnya.
Mika.
"Apa ini?" tanya gadis bersurai pirang itu. Manik hitamnya tidak membaca apa isi kertas itu. Justru ia menatap lurus ke arah (Y/n). Menuntut penjelasan langsung dari sang gadis.
"Itu..."
Jujur saja, (Y/n) tidak bisa menjawab apa isi dari kertas putih itu. Lebih tepatnya, ia tidak ingin Mika tahu. Tetapi, karena Mika yang tidak membuka kertas itu dan justru meminta penjelasan darinya terlebih dahulu, membuat (Y/n) semakin merasa bersalah. Mika memang bisa saja membacanya bahkan tanpa izin dari (Y/n). Toh kertas itu sudah berada di tangannya. Namun, Mika bukanlah orang yang seperti itu sehingga ia pun tidak melakukannya dan meminta penjelasan langsung dari (Y/n).
"Aku, aku..."
(Y/n) kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Mengapa untuk jujur pada Mika terasa sesulit ini? Padahal jujur lebih menguntungkan daripada berbohong.
"Jika kau tidak bisa menjelaskannya, maka aku akan membacanya langsung."
Perkataan Mika tadi membuat (Y/n) semakin merasa gelisah. Ia menggigit bibir bagian dalamnya. Sebagai tanda jika dirinya mulai diselimuti oleh kepanikan.
Sesaat keheningan menyambut mereka. Berangsur-angsur menyatu dengan keadaan. Sekaligus membuat (Y/n) merasa semakin tertekan oleh aura yang dikeluarkan oleh Mika kala gadis itu menatapnya setelah ia selesai membaca apa isi surat itu.
"(Y/n)."
"Y-Ya?" sahut (Y/n) gugup. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya saat ini. Ia hanya bisa berharap bahwa ia akan baik-baik saja.
"Mengapa kau merahasiakannya dariku?"
Tatapan Mika yang biasa terlihat datar kini tampak mengintimidasi. Terus terang saja, (Y/n) merasa jika dirinya berada di dalam bahaya saat ini. Memang, ini semua adalah salahnya sendiri karena ia menyembunyikannya dari Mika selama ini. Karena ia tidak ingin mengumbar niat baiknya kepada orang lain.
Ketika tangan kanan memberi, maka tangan kiri tidak boleh tahu. Itulah prinsipnya.
"M-Mika, kurasa aku harus pergi sekarang. Aku harus bekerja!" seru (Y/n). Gadis itu sudah berlari lebih dahulu meninggalkan Mika yang masih berada di dalam kelas.
"Oi, (Y/n)!"
Seraya menoleh ke belakang, rasa panik pun menjalar semakin cepat. Ia melihat Mika yang tengah mengejarnya di belakang sana. Hanya terpaut jarak sekitar tujuh sampai delapan meter. (Y/n) merasa jika lari Mika lebih cepat dari perkiraannya. Karena selama ini Mika tampak seperti orang yang tidak memiliki niat untuk berolahraga. Namun, sepertinya itu hanyalah dugaannya saja. Nyatanya saat ini Mika hampir menyusulnya.
Melihat sebuah kerumunan orang yang cukup padat di hadapannya, (Y/n) segera memanfaatkan kerumunan itu. Ia menyelinap di dalam sana agar Mika kesulitan untuk menemukannya.
Setelah keluar dari kerumunan orang-orang itu, (Y/n) kembali berlari hingga keluar dari kampusnya. Terus saja berlari dan tidak menyadari jika dirinya sudah tidak lagi dikejar oleh Mika. Bahkan gadis itu melupakan sepedanya karena ia yang terlalu panik.
(Y/n) pun berhenti di sebuah gedung tua yang kosong dan tampak tidak terawat. Cat pada dindingnya sudah mengelupas. Bahkan ada yang sudah runtuh. Namun, (Y/n) mengabaikannya.
Ia bersandar pada dinding sekaligus untuk menetralkan detak jantungnya. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang untuk memastikan jika dirinya sudah tidak dikejar oleh Mika lagi.
Namun, tatapannya berhenti pada lantai yang ia pijak. Bukan karena lantainya yang tampak sudah rapuh. Melainkan karena genangan darah yang tiba-tiba muncul mendekati kakinya.
Penasaran dan juga heran, (Y/n) mengikuti jejak darah itu hingga ke bagian dalam gedung. Pada akhirnya, jejak darah itu berhenti di depan sebuah pintu. Bagian depan pintu itu diselimuti oleh bercak-bercak darah yang tampak samar. Bau amis seketika menghampiri indra penciumannya.
Entah karena dorongan apa, (Y/n) membuka pintu itu. Ia tidak merasa takut bahkan dirinya berinisiatif untuk membuka pintu tersebut. Ya, awalnya memang demikian. Namun, ketika ia melihat apa yang ada di dalamnya, pemikiran optimis itu pun segera tergantikan oleh fakta yang ia lihat di depan matanya.
***
Gomen baru up.
Aku baru sj sembuh dari sakit skskskks—
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani Brothers
FanficKala malam tiba, sang mentari bergerak pergi, menjauhi kalbu dalam hening. Bulan merangkak ke atas. Menjajakan dirinya di tengah kegelapan. Bunga tidur kembali muncul. Menyelimuti pikiranmu, menjaga alam bawah sadarmu. Itu pun kau indahkan. Tak memp...