Helaan napas lagi-lagi dihembuskan olehnya. Perkataan terakhir gadis itu menjadi topik pemikirannya sejak beberapa hari yang lalu. Sungguh sulit untuk lelaki itu lupakan barang sedetik. Bahkan, saat ini pun demikian. Hingga detik ini.
Rindou merogoh saku celananya. Di dalam sana terdapat sebuah tabung berukuran kecil. Di dalamnya berisi beberapa pil obat. Obat yang harus rutin ia konsumsi sebagai antisipasi penolakan organ di dalam tubuhnya.
Melihat obat-obatan di dalam tabung itu, Rindou kembali teringat dengan (Y/n). Seorang gadis sekaligus teman masa kecilnya yang menjadi orang yang mendonorkan salah satu ginjalnya untuk Rindou.
Lelaki itu mengepalkan tangannya yang bertumpu pada pagar pembatas balkon apartemennya hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Menandakan jika dirinya tengah diliputi rasa kesal serta kecewa. Kesal dan juga kecewa pada dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa mencegah (Y/n) mendonorkan ginjal itu untuk dirinya? Hei, Rindou bukanlah seorang lelaki yang bisa dikatakan baik. Ia pun yakin dirinya pasti akan berdiam diri di dalam neraka suatu saat nanti.
Namun, (Y/n) tetap melakukannya.
Membuat Rindou semakin merasa kesal disertai kecewa di saat yang bersamaan. Apakah selama ini ia terlihat lemah di mata orang lain? Benarkah demikian? Bagaimana dengan Ran? Apakah kakaknya itu pun melihatnya dengan pandangan seperti itu?
"Jangan melamun, Rindou."
Suara yang tiba-tiba muncul di sebelah Rindou sempat membuatnya tersentak. Ia hendak mengumpat siapapun yang mengagetkannya itu. Nyatanya ia urung melakukannya kala lelaki itu melihat Ran di sana. Tampak sedang menatap ke arah langit malam yang dibubuhi bintang-bintang.
"Aku tidak melamun," sangkal Rindou. Ia hendak memasukkan tabung kecil berisi obat itu ke dalam saku celananya seperti semula. Ternyata aksinya itu terlihat oleh Ran.
"Kau tidak memakan obatmu?" tanya Ran setelah ia melihat adiknya hanya memasukkan tabung berisi obat itu ke dalam saku celananya.
Rindou sontak menoleh. Ia pun menjawab, "Aku sudah memakannya."
"Kapan?"
"Tadi sore."
"Jam berapa?"
Dengusan keluar dari hidung Rindou. Lelaki itu tampak risih karena kakaknya mendadak berubah menjadi seorang pewawancara dengan dirinya yang menjadi sang narasumber. Ia kesal, sungguh.
"Kau terlalu banyak bertanya, Aniki," komentarnya.
Ran tertawa melalui hidungnya. "Hei, aku sedang khawatir padamu, Adikku." Ia mengacak-acak surai lilac milik Rindou. Si empunya tampak kesal diperlakukan seperti itu oleh Ran. Tentu saja karena Ran seringkali masih menganggapnya seperti anak kecil. Padahal usia mereka sudah berkepala dua.
"Jam lima sore kurang tujuh menit," sahut Rindou setelahnya. Kemudian, ia melemparkan tatapan kepada Ran yang seolah-olah berkata: 'apakah kau puas?'.
"Hei, Aniki."
Rindou memanggil kakaknya itu setelah beberapa saat terdiam. Lalu, ia melanjutkan perkataannya setelah mendapat lirikan mata dari Ran.
"Apakah kau sudah tahu jika (Y/n)-lah yang akan menjadi pendonor untukku?"
Tidak ada sirat keterkejutan pada raut wajah Ran. Ia hanya menatap gelapnya langit malam. "Ya, aku tahu," sahutnya.
Rindou langsung mencengkeram kerah pakaian milik Ran. Matanya menatap nyalang ke arah lelaki itu. "Mengapa kau tak memberitahukannya padaku?! Mengapa kau menyembunyikannya?!" hardiknya marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani Brothers
FanficKala malam tiba, sang mentari bergerak pergi, menjauhi kalbu dalam hening. Bulan merangkak ke atas. Menjajakan dirinya di tengah kegelapan. Bunga tidur kembali muncul. Menyelimuti pikiranmu, menjaga alam bawah sadarmu. Itu pun kau indahkan. Tak memp...