Chapter 13 - Unexpected

252 61 1
                                    

Di tangannya terdapat sebuah buket bunga lily putih. Dirinya menatap ke arah seseorang yang terbaring di bawah kakinya. Pun tepat di dekat kakinya.

Gadis itu menatap wajah orang yang berada di bawah sana. Wajah yang sama dengan wajah miliknya sendiri. Bentuk dahinya, matanya yang terpejam, hidungnya, bahkan bentuk bibirnya pun demikian.

Dengan kata lain, orang itu adalah dirinya sendiri.

Terkapar di atas padang rumput yang sangat luas. Dinaungi oleh sang jumantara bernuansa biru. Gumpalan permen kapas raksasa terbentang di atas sana. Menghiasi cakrawala di kala hening ikut menyapa.

Ia membuka mulutnya. Hendak mengatakan sesuatu. Namun, lagi-lagi suaranya tidak keluar. Hanya menyisakan rasa bingung serta kecewa karena hal yang sama.

Kepalanya ditengadahkan ke atas. Mengagah ke arah jumantara yang terbentang di atasnya. Seraya bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

Meskipun pada akhirnya, pertanyaan itu tidak akan terjawab.

***

Manik (e/c) itu terbuka. Bersamaan dengan deru napas yang tersengal-sengal. Dengan perlahan, (Y/n) bangkit dari posisi tidurnya. Ia duduk di atas tempat tidurnya dengan peluh yang membanjiri wajah.

Tangannya menyusupkan jarinya ke dalam surainya yang tampak berantakan. Kefrustasian terlihat dengan cukup jelas pada raut wajahnya. Yang ia dapatkan karena mimpinya barusan.

(Y/n) melihat ke luar jendela kamar. Matahari sudah terlihat di sana. Menyiratkan bahwa hari telah masuk fase pagi hari.

Dengan segera sambil masih berusaha melupakan mimpinya, (Y/n) bersiap untuk ke kampusnya hari ini. Waktu cuti yang ia ambil telah usai. Sudah waktunya untuk dirinya kembali beraktivitas seperti biasanya setelah kejadian di hari itu. Tepat satu bulan yang lalu.

Masih ada satu hal yang mengganjal di dalam pikiran (Y/n); bagaimana reaksi orang itu kala ia mengetahui jika dirinyalah yang memberikan sesuatu yang berharga itu kepadanya?

***

Pintu kelas yang masih terbuka membuat (Y/n) yakin jika dirinya belum terlambat untuk mata kuliah pagi ini. Biasanya ia mendapat mata kuliah di siang hari. Bukan di sore hari mengingat dirinya yang harus melakukan kerja paruh waktu.

Plimsoll sneakers putihnya melangkah dengan hati-hati mendekati kursi untuk ia duduki. Rasa sakit di bagian pinggangnya masih cukup terasa meskipun satu bulan telah berlalu. Gadis itu meraba pinggang kanannya. Tidak ada perbedaan jika dilihat dari luar. Namun, jika dilihat dari dalam, tentu saja perubahan itu ada. Sangat besar, bahkan.

(Y/n) menoleh ke kanan dan kirinya. Ia mencari keberadaan Mika yang entah mengapa belum menampakkan batang hidungnya hari ini.

Apakah ia terlambat? pikirnya.

Tepat setelah pemikiran itu muncul di dalam kepala (Y/n), gadis itu melihat Mika masuk melalui pintu yang sama dengan dirinya. Kemudian, ia menghampiri (Y/n) dan duduk di sebelahnya.

"Hei, Mika," sapa (Y/n) canggung. Tentu saja canggung. Sudah satu bulan lamanya ia dan Mika tidak berhubungan. Meskipun bisa saja ia melakukannya. Tetapi, nyatanya (Y/n) memilih untuk tidak melakukannya.

"Bagaimana kabarmu? Kau sudah baik-baik saja 'kan?" Mika kembali mencecar (Y/n) dengan segudang pertanyaannya. Yang kemudian dibalas dengan kekehan dari (Y/n).

"Ya, aku sudah baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir," jawabnya kemudian.

Mulutnya memang berkata demikian. Namun, apa yang (Y/n) katakan sebelumnya kini berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada.

***

Selama mata kuliah hari ini, (Y/n) berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan jika dirinya memang baik-baik saja. Di hadapan semua orang. Terlebih di hadapan Mika. Tidak ia inginkan raut kekhawatiran muncul di wajah teman satu-satunya itu.

Kini, kuliahnya telah usai. Beberapa menit yang lalu, (Y/n) baru saja berpisah dengan Mika di depan gedung kampus mereka. Mika telah dijemput oleh adiknya yang mengatakan bahwa ternyata ibu mereka menyuruh Mika untuk pergi ke supermarket terlebih dahulu sebelum pulang. Karena adiknya tidak ingin repot seorang diri, dengan sengaja ia mengajak Mika untuk repot bersama. Dua lebih baik dari sendiri, begitulah prinsipnya.

Tidak sadar jika sejak tadi (Y/n) melamun hingga ia tiba di depan sebuah gedung yang masih terlihat sama. Tentunya tidak akan ada perubahan yang cukup besar hanya dalam waktu satu bulan, bukan?

Kakinya kemudian melangkah. Plimsoll sneakers putihnya yang beradu dengan lantai menimbulkan suara di setiap langkah kakinya.

"Konnichiwa, Sensei."

Sebuah sapaan dilontarkan. Shinichiro yang sudah hafal dengan suara itu sontak menatap kepada (Y/n). Melihat gadis itu berdiri di sana, tebakannya pun terbukti tidak salah.

"Konnichiwa, (Y/n). Bagaimana kabarmu setelah operasi saat itu?" Shinichiro mulai membuka percakapan.

(Y/n) diam sejenak. Lalu, ia menjelaskan tentang rasa sakit di pinggangnya. Shinichiro mengangguk paham. Rasa sakit itu tidak dapat diabaikan oleh (Y/n). Ia melakukan serangkaian pemeriksaan pada gadis itu. (Y/n) hanya menatap ke arah langit-langit kala dirinya tengah diperiksa.

Setelah usai, (Y/n) kembali duduk. Namun, lagi-lagi rasa sakit itu mulai menyerangnya. Melihat hal itu, Shinichiro mendorong sebuah kursi roda ke hadapan (Y/n).

"Duduklah di sana, (Y/n). Apakah kau memerlukan bantuanku untuk melakukannya?" tawar lelaki itu.

(Y/n) hendak menolak. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa lebih lanjut dan memilih untuk menuruti perkataan lelaki bersurai hitam itu.

Setelah (Y/n) duduk di sana, dengan cepat Shinichiro menuliskan resep obat di atas secarik kertas. Yang ia berikan pada (Y/n) setelahnya.

"Arigatou gozaimasu, Sensei," ucap gadis bersurai (h/c) itu.

Shinichiro mendekati (Y/n). Kedua tangannya menggenggam pegangan kursi roda di belakang gadis itu. "Mari kuantar dirimu ke luar," katanya.

(Y/n) pun mengangguk meskipun rasa ragu masih mengganjal di dalam benaknya. Yang setelahnya ia menyadari kursi roda yang ia duduki mulai bergerak perlahan.

Selama di perjalanan dari ruangan milik Shinichiro, lelaki itu kerap disapa berkali-kali oleh para pegawai rumah sakit yang lain. Tentunya dibalas dengan sapaan yang ramah dan diakhiri sebuah senyuman hangat. (Y/n)? Tentu saja gadis itu hanya menunduk dan menatap ke arah tangannya yang saling memilin.

Shinichiro mendadak menghentikan kursi roda yang (Y/n) duduki. Gadis itu mengira jika mereka sudah tiba di mana sang apoteker berada untuk diberikan obat sesuai resep pemberian lelaki itu. Namun, ternyata (Y/n) salah.

Yang berada di depan matanya saat ini justru lebih mencengangkan. Sekaligus menimbulkan rasa tidak percaya setelahnya.

***

END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang