Chapter 4 - Asked

386 75 5
                                    

Alunan musik klasik mengalun di tengah-tengah keheningan. Mengangkat suasana yang terasa damai hingga membuat gadis itu menguap beberapa kali. Tentu saja, setiap kali ia melakukannya, wajahnya ia palingkan ke arah jendela. Menghindari tatapan lelaki yang kini duduk di sebelahnya.

"Mengantuk?"

Tubuhnya berjengit kaget kala ia mendengar suara lelaki yang sejak tadi hanya bisa gadis itu tatap melalui pantulan kaca jendela mobil. (Y/n) pun menoleh dan mendapati Ran juga tengah menatap dirinya.

"Eh? Tidak," sahut (Y/n) spontan meskipun kenyataan yang ada justru berbanding terbalik dengan yang ia katakan. Lagi pula, ia merasa tak enak jika ia terlalu jujur pada Ran pasal alunan musik klasik yang membuat dirinya mengantuk.

"Katakan saja padaku. Jangan merasa sungkan, (Y/n)." Pada akhir kalimatnya, Ran membubuhi senyuman di wajahnya. Yang seketika membuat (Y/n) tertegun. Bukan, bukan karena paras lelaki itu yang berkali-kali lipat lebih tampan kala ia tersenyum. Melainkan karena seketika gadis itu merasa pernah melihat senyumannya di suatu tempat. Entah di mana, ia tidak mengingatnya.

Pada akhirnya, (Y/n) pun hanya mengangguk singkat menanggapi perkataan Ran. Ia kembali memandang ke luar jendela kala ia menyadari ada sesuatu yang kurang di dalam mobil itu.

"Hmm... Ran-san, di mana adikmu?" tanya (Y/n) dengan terselip secuil perasaan ragu di dalam ucapannya. Khawatir jika dirinya terlalu ikut campur padahal ia hanya diantarkan untuk pulang saja.

"Rindou? Ia memiliki urusan lain. Aku sendiri tidak tahu apa urusannya," jawab Ran tanpa berpikir panjang. Yang seketika membuat (Y/n) merasa lega. Setidaknya ia tahu lelaki itu tidak merasa terusik dengan perkataannya.

"Ah, begitu rupanya."

Kini perasaan heran (Y/n) pun terjawab oleh ucapan Ran. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela. Rintik-rintik hujan menutupi pandangan (Y/n) yang tengah menatap ke pemandangan di baliknya. Gadis itu sontak langsung memikirkan bagaimana ia akan turun nanti dari Subaru Levrog milik Ran yang tengah mengantarnya menuju rumahnya. Ia kembali mengingat-ingat apakah sebuah payung berada di dalam tasnya atau tidak.

"Jangan khawatir. Di luar hanya hujan."

Kepalanya ia tolehkan ke samping. Ke arah Ran yang juga ternyata sedang menatap dirinya.

"Ah, kau benar," sahut (Y/n) kemudian. Ia seolah disadarkan oleh ucapan lelaki itu. Dan, berterima kasih kepada Ran karena kini (Y/n) dapat meredakan rasa khawatirnya dan kembali menatap lurus ke depan.

"Oh ya. Tentang sepedamu. Aku sudah memperbaikinya," ujar Ran tiba-tiba yang membuat (Y/n) seketika teringat dengan sepedanya tadi pagi.

"S-Secepat itu?" tanyanya sangsi dan juga terkejut. Lagi pula, siapa yang tidak akan merasa terkejut bila sepeda miliknya yang rusak secara fatal dapat diperbaiki hanya dalam waktu beberapa jam? Ya, mungkin saja (Y/n)-lah yang berlebihan di sini. Dan juga, gadis itu belum melihat wujud sepedanya secara langsung. Namun, sebuah pertanyaan yang sama kembali berputar-putar di dalam kepalanya; mengapa Ran sebaik ini padanya? Apakah ada hal yang lelaki itu inginkan dari (Y/n)? Atau karena sifat aslinya memang seperti ini?

"Kau tidak tampak senang. Apakah ada hal lain yang mengganggumu?" Ran menatap (Y/n) lamat-lamat. Yang ditatap hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaan Ran yang sebelumnya.

"Ah, tidak. Aku senang, sangat senang bahkan. Terima kasih banyak, Ran-san." Secara otomatis, (Y/n) melemparkan senyumannya. Ia tidak bisa mengatakan apapun selain terima kasih.

"Cukup panggil aku Ran saja, (Y/n). Sama seperti dengan aku yang memanggil namamu," sahut Ran yang kemudian diangguki dengan cepat oleh kepala (Y/n). Gadis itu pasti akan menuruti perkataan Ran. Ditambah dengan dirinya yang sudah sangat banyak dibantu oleh lelaki itu.

Tangan Ran terulur ke arah (Y/n). Ketika gadis itu tersadar, surainya telah diacak-acak hingga berantakan oleh lelaki itu. Ia menengadahkan kepalanya dan di saat yang bersamaan manik (e/c) itu bertemu dengan manik violet milik Ran.

Seraya mengalihkan pandangannya dan sambil berusaha menetralisir detak jantungnya yang mendadak berdetak dua kali lebih cepat, (Y/n) pun tidak sadar jika Subaru Levrog berwarna putih itu telah berhenti tepat di depan rumahnya. Sesuai dengan instruksi dari (Y/n) sebelumnya.

"Kita sudah tiba, (Y/n)."

"Eh? Y-Ya."

Seusai mengucapkan terima kasih atas tumpangannya, (Y/n) segera membuka pintu mobil dengan cepat. Awalnya ia memang berniat demikian. Namun, aksinya itu pun tertunda karena tangan kanannya dicengkeram oleh Ran tiba-tiba.

Sontak (Y/n) kembali menoleh. Untuk ke sekian kalinya, manik violet itu bertemu dengan manik (e/c) milik sang gadis.

"Apakah aku boleh meminta ID LINE-mu?"

***

Tiga hari telah berlalu seusai Ran yang mengantarkan (Y/n) pulang ke rumahnya. Hari itu, kala ia tiba di sana, sepedanya telah terparkir di hadapannya. Catnya yang sebelumnya mengelupas kini tampak telah dicat ulang. Rantainya pun telah diperbaiki dan kembali ke posisi semula. Bahkan, (Y/n) merasa jika sepedanya itu tidaklah diperbaiki, melainkan membeli yang baru. Itulah yang ia pikirkan tiga hari yang lalu.

Kini, tiga hari setelahnya, sepeda itu telah ia naiki. Membelah jalan kota Tokyo di siang hari. Kala angin musim gugur berhembus cukup kencang. Sang gadis kemudian berbelok di ujung jalan. Setelahnya, ia berhenti seusai mengayuh sepedanya beberapa meter ke depan.

Sebuah gedung bercat putih tampak berdiri kokoh di depannya. (Y/n) menatapnya sejenak sambil mengingat-ingat hari ini adalah yang ke berapa kalinya ia menginjakkan kaki di sana. Meskipun pada akhirnya ia tidak mengingat jika kedatangannya kali ini menjadi yang ke berapa kalinya.

Lorong rumah sakit dapat dengan leluasa ia lalui. Tampak sepi, bahkan seperti tidak terasa hawa keberadaan orang lain. (Y/n) kemudian berhenti berjalan setelah ia tiba di depan sebuah ruangan. Tangannya bergerak mendekati pintu agar ia bisa mengetuknya. Kemudian, kakinya melangkah masuk ke dalam kala lintu tersebut telah ia geser dan menciptakan ruang untuk dilewati olehnya.

"Ah, (Y/n)."

"Konnichiwa, Shinichiro Sensei."

Kursi yang sebelumnya kosong kini diduduki oleh (Y/n). Gadis itu menatap lurus ke arah dokter muda di hadapannya itu.

"Ano... Sensei."

Shinichiro memperbaiki posisi duduknya hingga ia merasa nyaman. Kemudian, ia melipat tangannya di atas meja di depannya. Manik hitamnya pun tertuju ke arah (Y/n).

"Apakah kau ingin bertanya lagi tentang pendonoran itu?"

***

END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang