Bau amis dari darah yang memenuhi tempat itu masih dapat tercium dengan sangat jelas. Terlalu jelas bahkan hingga membuat siapapun bisa merasa mual. Namun, gadis itu terlalu sibuk hanya untuk merasakan hal yang disebut mual itu. Tatapannya tertuju ke arah lelaki yang juga tengah menatapnya.
Surainya yang berwarna lilac terlihat mencolok di antara yang lainnya. Namun, karena hal itu juga (Y/n) perlahan melangkah mundur. Setelah cukup jauh dari pintu, gadis itu langsung berlari dari sana. Diikuti oleh tatapan mereka yang menatap (Y/n) dengan pandangan berbeda-beda.
Tetapi, niatnya itu digagalkan oleh sebuah tangan yang mencengkeram pergelangan tangannya. Sontak (Y/n) menoleh ke belakangnya. Menatap lurus ke arah orang yang melakukan hal tersebut.
Dan, di saat yang bersamaan (Y/n) menyadari dirinya dalam bahaya.
"Kau ingin pergi ke mana, Nona?"
***
Suasana yang mencekam dan juga menegangkan terasa sangat kental di dalam ruangan berukuran 10 x 13 meter itu. Suara napasnya saja pun bisa terdengar dengan jelas di sana. Keringat dingin sudah mengalir dan membasahi pakaian gadis itu. Kedua tangannya meremas rok selutut yang ia kenakan kala dirinya ditatap secara bergantian oleh sekumpulan lelaki yang berada di sana.
Jujur saja, (Y/n) merasa takut juga bingung. Namun, ketika ia melihat wajah seseorang yang ia kenali, seketika rasa takut itu pun menghilang. Lenyap, tak berbekas. Namun, kebingungan itu serta-merta masih ada.
Tetapi, bukanlah rasa tenang yang ia dapatkan setelah perasaan takut itu menghilang. Melainkan digantikan oleh perasaan heran bercampur bingung yang sebelumnya masih meliputi dirinya. Bersamaan dengan manik violet yang bersitatap dengan manik (e/c) milik sang gadis.
"Apa yang akan kita lakukan terhadapnya?"
Pertanyaan itu dilontarkan. Yang kemudian membuat bulu kuduk (Y/n) berdiri. Rasa takut yang sebelumnya menghilang kembali muncul ke permukaan. Menyeruak dari dalam dirinya dan membuatnya meremas roknya semakin erat. Menciptakan garis-garis yang tampak kusut di atas permukaannya.
Tubuh gadis itu yang tengah duduk di atas sofa hanya bisa diam dalam hening. Jantungnya berdebar dengan sangat cepat sembari menunggu jawaban yang diberikan oleh salah satu dari mereka.
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban apa-apa—(Y/n) sendiri khawatir jika jawaban yang ia dapat jauh dari harapannya atau memang itulah yang akan ia terima—alhasil entah dari mana keberanian itu berasal, gadis itu membuka bibirnya. Tak lama setelahnya, ia mengucapkan satu kalimat pertanyaan.
"Ano... Apakah aku boleh pulang? Masih ada pekerjaan lain yang harus kulakukan."
Dengan senyum di wajahnya, (Y/n) menanyakan kalimat tersebut. Meskipun sebenarnya di dalam benaknya ia sudah ketar-ketir. Manik (e/c)nya menatap satu per satu orang yang berdiri mengelilingnya. Hingga pada akhirnya tatapannya berhenti pada Ran dan Rindou yang sedang menatapnya dengan dua tatapan yang berbeda. Namun, kedua tatapan itu memiliki persamaan; sama-sama tak dapat (Y/n) artikan apa maknanya saat ini.
"Ya. Kau boleh pergi."
Ucapan lelaki bersurai hitam yang berdiri di depan (Y/n) sejak tadi cukup mengejutkan gadis itu. Tatapan lelaki itu yang tak terlihat cahaya sedikit pun seolah-olah tengah memindai diri (Y/n). Seusai mengatakan itu, taiyaki di tangannya dilahap olehnya hingga tandas. Melihat taiyaki itu, entah mengapa tiba-tiba saja perutnya terasa lapar dan segera meminta untuk diisi.
Tanpa menunggu disuruh dua kali, (Y/n) segera bangkit dan memeluk tote bag-nya erat-erat. Kemudian, ia segera pergi dari sana diiringi oleh tatapan dua lelaki bermanik violet itu.
***
"(Y/n)!"
Suara seseorang dari kejauhan menghampiri indra pendengaran (Y/n). Gadis itu sudah berjalan cukup jauh dari gedung kosong tadi. Perlu diketahui, gedung yang ia tinggalkan tadi berbeda dengan gedung di mana (Y/n) melihat banyak darah hingga membuatnya merasa mual.
Dengan linglung, (Y/n) pun menyahut, "Y-Ya?"
Masih sambil mengendarai sepeda (Y/n) mendekati pemiliknya, Mika sontak menghentikan sepeda itu tepat setelah ia berdiri di sebelah (Y/n). "Kau kabur ke mana saja? Sejak tadi aku mencarimu. Kau bahkan meninggalkan sepedamu di kampus. Apakah kau sangat takut denganku?" cerocosnya panjang lebar.
Dikarenakan oleh banyaknya pertanyaan yang Mika ajukan, (Y/n) pun merasa bingung pertanyaan manakah yang harus ia jawab terlebih dahulu.
"Aku hanya bersembunyi di suatu tempat," jawab (Y/n). Kemudian ia menyengir, menampilkan deretan giginya yang tampak rapi. "Ya, aku takut denganmu."
Mika mengerjapkan matanya beberapa kali. Kemudian, raut wajahnya yang sebelumnya tampak kesal kini digantikan oleh sirat kebingungan.
"Maaf karena membuatmu takut," ujar Mika pelan. Ia menunduk.
"Eh, tidak perlu meminta maaf, Mika." Dengan panik, (Y/n) berusaha menenangkan Mika yang tampak sangat merasa bersalah. Ia masih menunduk.
"Baiklah, aku tidak akan bertanya apapun tentang kertas itu."
"Eh?"
Tentu saja (Y/n) merasa bingung dan lega di saat yang bersamaan. Bingung karena tiba-tiba Mika mengatakan kalimat itu dan lega karena Mika tidak akan bertanya lebih lanjut tentang kertas yang sebelumnya membuat (Y/n) kabur hingga berakhir di ruangan tadi.
Mengingat-ingat tentang kejadian yang sebelumnya, sontak (Y/n) pun kembali teringat dengan dua orang yang ia kenal di dalam sana. (Y/n) ingin bertanya mengapa mereka bisa berada di ruangan itu. Namun, di saat yang bersamaan, (Y/n) pun tidak bisa menanyakannya.
"(Y/n)?"
Teringat dengan keberadaan Mika di depannya, lamunan (Y/n) sontak buyar. "Y-Ya?" sahutnya.
"Maaf."
***
Di balik heningnya ruangan itu, tercipta suasana yang cukup mencekam dan menegangkan. Penyebabnya hanya satu, seorang gadis yang meminta dirinya sendiri pergi dari sana. Aneh, namun nyata.
"Oi, apakah tidak apa-apa jika kau membiarkannya pergi, Mikey?"
Yang ditanya pun menoleh. Menatap kosong ke arah lawan bicaranya. "Memangnya mengapa?" tanyanya balik.
Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan. Itulah yang terjadi saat ini.
"Bagaimana jika ia melapor pada polisi tentang kita? Apakah kau bisa bertanggung jaw—"
"Jika kau lanjutkan perkataanmu, kurasa kepalamu akan lepas lebih dulu."
Belum sempat Mochizuku menyelesaikan perkataannya, Sanzu sudah lebih dahulu menyelanya. Ia menodongkan pistolnya ke arah lelaki itu. Tentu saja, prioritasnya adalah Mikey yang ia agung-agungkan.
Mochizuku hanya berdecak. "Kau ini."
"Gadis itu tidak akan berani melapor."
Bukan Mikey yang menjawab, melainkan si bendahara Bonten. Namun, pekerjaannya bukanlah menagih uang kas dan hanya diberikan kata-kata bahwa akan dibayar di esok hari tetapi kenyataannya tidak pernah dibayar juga.
"Ia tampak tidak mengenal siapa kita. Itu hal yang aneh, namun memang benar demikian," lanjut Kokonoi setelah ia menyalakan pematiknya.
"Kurasa kau benar." Kakucho ikut menimpali. Membenarkan perkataan Kokonoi.
Mereka pun sama-sama terdiam. Memikirkan perkataan Kokonoi yang entah mengapa sulit untuk dipercaya. Mikey pun tiba-tiba membuka mulutnya.
"Jika ia benar-benar melapor pada pihak berwajib, kita hanya perlu menggunakannya untuk tujuan lain."
***
Mmf minna, aku lupa update sksksks—🚶♀️
Makasih ya sudah baca dan vomment jugaa(*˘︶˘*)♡
KAMU SEDANG MEMBACA
END ━━ # . 'Last Hello ✧ Haitani Brothers
FanfictionKala malam tiba, sang mentari bergerak pergi, menjauhi kalbu dalam hening. Bulan merangkak ke atas. Menjajakan dirinya di tengah kegelapan. Bunga tidur kembali muncul. Menyelimuti pikiranmu, menjaga alam bawah sadarmu. Itu pun kau indahkan. Tak memp...