Bukan Sitti Nurbaya [3]

4K 803 14
                                    

Norman memucat. Ina menekan jauh-jauh rasa iba yang menggumpal di dadanya sebelum berbalik dan menjauh. Norman mulai membuatnya tidak nyaman. Mereka memang pernah pacaran selama dua bulan. Namun itu sudah berlalu satu setengah tahun lalu. Dan selama itu pula Norman masih terus berusaha mendekati Ina. Percuma dia menunjukkan penolakan yang terang-terangan, tampaknya Norman tidak mengerti.

Ina sungguh tidak ingin bersikap kasar. Masakahnya, Norman seakan tidak memberinya pilihan. Entah sudah berapa kali Norman menungguinya sepulang kuliah, mengajaknya pergi ke berbagai tempat dan acara. Ina benar-benar tidak tertarik. Dia merasa bahwa keputusannya untuk pacaran dengan Norman adalah kesalahan besar.

Jika ditanya lagi, dia sama sekali tidak tahu kenapa dulu tertarik dan nekat menjalin asmara dengan cowok itu. Apa karena Norman pernah menjadi ketua Senat? Atau kecintaannya pada lingkungan yang tinggi? Mungkinkah juga karena otak encernya yang terkenal di seantero Fakultas Ekonomi? Hingga Ina mengabaikan usia Norman yang lebih muda atau warna kulitnya yang cenderung gelap. Padahal selama ini Ina lebih menyukai cowok yang lebih tua, lebih tinggi, dan berkulit terang.

"Aku memang bodoh karena dulu nggak pikir panjang dan mau saja pacaran dengan Norman," rutuk Ina dalam hati sembari menjauh dari Norman.

Ina kehilangan kegembiraannya hari itu. Norman cuma menjadi pelengkap yang menjengkelkan. Menghadapi cowok yang gigih seperti Norman sungguh menguras energi. Karena Ina sepertinya sudah mulai kehilangan kesabaran untuk menjaga sikap. Dia sungguh-sungguh tidak tahan selalu melihat Norman dalam radius kurang dari lima meter tiap kali berada di luar kelas. Apa yang harus Ina lakukan untuk menghentikan perhatian Norman yang sama sekali tak diinginkannya?

"Ina...."

Perut Ina tiba-tiba mulas saat menyadari bahwa Norman sudah menjajari langkahnya. Tampaknya, kata-kata Ina tadi tidak memberi efek yang memadai untuk membuat Norman berhenti mendekatinya.

"Apalagi, Norman? Apa kata-kataku masih belum jelas?" kata Ina ketus.

"Na, jangan galak begitu. Aku kan cuma ingin mengajakmu ke suatu acara. Nggak ada maksud apa-apa, kok," Norman membela diri.

Ina berhenti melangkah. Dia sudah tidak mencemaskan andai mereka jadi tontonan sekaligus sumber gosip panas terbaru di kampus. Tingkah Norman sudah benar-benar tidak tertahankan. Ina bukanlah gadis penyabar.

"Nggak ada maksud apa-apa? Serius? Bukannya kamu sedang berusaha untuk mengajakku berbaikan? Pacaran lagi?" tuding Ina tanpa basa-basi.

Pupil mata Norman membesar. "Hmmm ... iya sih. Tapi...."

"Dan aku sama sekali nggak tertarik, Man. Aku sedang nggak pengin pacaran dengan siapa pun, apalagi kembali ke mantan. Jadi, kuharap kamu nggak lagi menungguku setiap habis kuliah atau mengajak ke suatu tempat. Hasilnya sama saja, aku pasti menolak," tandasnya dengan suara datar. Untungnya Ina masih ingat untuk bicara dengan suara rendah.

"Ina, kata-katamu itu kasar sekali."

Ina mengangkat bahu. "Kamu nggak memberiku pilihan. Aku sudah berusaha bicara sopan, tapi kamu kayaknya nggak mengerti sama sekali. Norman, di luar sana ada banyak cewek yang jauh lebih pas buatmu. Aku bukan orang yang tepat. Tolong, jangan biarkan aku mengatakan hal-hal seperti ini lagi. Jangan membuatku menyakiti hatimu," pintanya sungguh-sungguh. "Kita nggak cocok, Man."

Norman terdiam. Ina yakin, kali ini cowok itu pasti mengerti. Setidaknya, itulah harapannya. Ketika dia berbalik untuk melanjutkan langkah, hati gadis itu terasa jauh lebih ringan. Ina berharap tak pernah harus menolak ajakan Norman lagi.

Tatkala Ina menceritakan apa yang terjadi dengan Norman, Zora memandangnya dengan tatapan iba. Alhasil, gadis itu kembali tersandera oleh rasa bersalah.

"Kata-kataku keterlaluan, ya?" tanyanya tak nyaman. "Aku nggak punya pilihan. Norman tidak mengerti isyarat halus. Aku capek menghadapinya." Ina menarik napas.

"Soal keterlaluan atau nggak, aku ... entahlah. Aku cuma nggak tega saja. Ya padamu, ya pada Norman."

"Sudah ah, aku ogah bicara soal itu lagi. Aku cuma bisa berharap semoga Norman benar-benar menemukan cewek yang jauh lebih baik dibanding aku. Sepertinya, ini doa paling tulus dari seorang mantan."

Zora terkekeh mendengar kalimat bernada putus asa itu. "Aamiiin, semoga doamu yang tulus itu didengar Tuhan." Gadis itu kembali menunduk dan memperhatikan tabletnya. "Na, ini ada sepatu cantik model terbaru. Aku baru lihat di unggahan Instagram milik Mbak Adele," Zora menyebut nama pemilik butik langganan mereka. "Juga ada atasan unik yang pasti akan mem—"

"Zora!" Ina membelalakkan mata, berpura-pura marah. "Papa sudah menyita kartu kredit kita. Lupa, ya?"

"Kita kan masih punya uang saku dan tabungan. Kalau yang seperti ini, tidak perlu pakai kartu kredit," balas Zora santai. "Lagi pula, harganya nggak terlalu mahal, Na."

"Ih, kamu tuh benar-benar nggak kapok, ya? Papa bukan...."

Zora tidak membiarkan kata-kata saudaranya tergenapi. "Sepatu ini sesuai seleramu, Na. Kamu belum punya model seperti ini, kan? Paduan wedges dan gladiator. Nih, coba lihat!"

Alhasil keduanya mulai sibuk melihat satu per satu foto yang baru diunggah oleh pemilik akun. Tangan keduanya menunjuk ke sana dan kemari dengan cekatan sambil cekikikan. Godaan yang terpampang di sana jauh lebih menarik untuk dilihat ketimbang memikirkan ancaman dari ayah mereka.

Ina masih mampu bertahan dari godaan untuk membeli baju atau tas trendi. Di dalam lemarinya, Ina memiliki banyak baju dan tas yang bagus. Namun sepatu? Itu adalah kelemahan terbesarnya. Meski dia sudah memiliki ratusan pasang sepatu yang beberapa di antaranya malah belum sempat dipakai. Sementara Zora adalah penggila pakaian dan tas.

Melihat sepatu, membangkitkan cita-cita lama Ina yang belum terwujud. "Kapan ya aku bisa ke Florence? Aku sangat pengin melihat museumnya Salvatore Ferragamo. Tapi Papa malah nggak memberi izin. Kalaupun pergi, harus menunggu sampai Papa punya waktu untuk liburan. Huh, kurasa aku telanjur tua kalau harus menunggu Papa cuti," sungut Ina.

"Nanti kalau kamu sudah punya penghasilan sendiri, pergi ke Florence sana. Atau, ajak suamimu," balas Zora asal-asalan. Ina mengecimus dengan kesal.

"Saran yang nggak bermutu!"

Beberapa minggu berlalu, suasana di rumah sudah kembali seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda Navid akan mewujudkan ancamannya selain penarikan kartu kredit itu. Tentu saja hal itu membuat si kembar berlega hati. Ayahnya hanya berniat menakut-nakuti keduanya.

"Aku yakin, Papa cuma marah. Makanya mengancam kita dengan rencana perjodohan segala." Ina menelentang seraya merentangkan kedua tangannya. Zora menepis tangan kiri saudara kembarnya yang mengenai perutnya.

"Aku juga nggak yakin Papa akan setega itu. Tapi, strategi Papa boleh juga. Sebulanan ini kita sudah menjadi anak manis, kan?" Zora tertawa. Lima minggu belakangan ini mereka berdua harus menahan diri untuk tidak belanja berlebihan. Meski kadang Zora dan Ina terpaksa menggunakan uang saku mereka jika ada barang yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

"Sekarang fokus jadi sarjana, ya?" Ina ikut tergelak. "Kita ini sudah terlalu tua untuk bertingkah terus. Tapi, aku belum mau jadi perempuan dewasa. Aku belum siap untuk kerja kantoran dan terikat jam kerja. Ah, pokoknya jauh lebih enak seperti sekarang ini."

Kegembiraan keduanya tidak berlangsung lama. Karena tiga hari kemudian mereka mendapati ada dua keluarga yang datang bertamu, membawa dua pria lajang yang konon akan dijodohkan dengan si kembar. Ina ingin pura-pura pingsan, tapi mustahil. Ingin kabur, tapi tak punya nyali. Risiko dibuang dari keluarga Kusuma ternyata jauh lebih menakutkan. Jadi, Ina cuma bisa berperan sebagai nona rumah yang baik meski sebenarnya dia sungguh tersiksa.

Lagu : Melangkah di Atas Awan (Ronnie Sianturi)

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang