Cangkang Baru yang (Ternyata) Nyaman [1]

2K 473 15
                                    

"Every good relationship, especially marriage, is based on respect. If it's not based on respect, nothing that appears to be good will last very long."

(Amy Grant)

Inanna Grace

Hari demi hari melaju lamban, menciptakan cangkang nyaman untukku. Aku tidak tahu kalau pernikahan akan seperti ini rasanya, dalam artian positif tentu saja. Meski bisa dibilang pernikahan kami belum sempurna, tapi aku senang menjalaninya. Bahagia.

Zora, seperti biasa, berusaha mengorek-ngorek perasaan terdalamku. Entah berapa kali dia mengajukan protes karena masih merasa aku mengkhianatinya. Karena aku tidak secara terbuka membicarakan apa yang terjadi di antara diriku dan Alistair, lalu mendadak memperkenalkan lelaki itu sebagai calon suamiku. Zora yakin kalau aku menyembunyikan sesuatu. Dan percayalah, kalimat sejenis itu terdengar makin menjengkelkan saja. Terutama jika diucapkan hampir setiap minggu.

"Zora, jangan terlalu banyak berspekulasi yang aneh-aneh. Kamu sok tahu! Lagi pula, sebentar lagi kamu bakalan mirip nenek-nenek berumur enam puluh tahunan kalau terus-terusan cemberut dengan alis berkerut seperti itu," elakku.

Kalau Zora terus bertanya dengan ekspresi serius, tentu aku harus memberi jawaban supaya dia tak terus-menerus merengek. Aku berusaha tetap tenang dan membantah semua kata-katanya. Meski hubungan kami luar biasa dekat, aku belum siap untuk membongkar habis semua rahasia yang melibatkan Alistair.

Bagiku, Alistair adalah bagian lain dari hidupku yang tidak mudah untuk kuperkenalkan pada Zora. Ada banyak titik yang harus kupertimbangkan sebelum membuka mulutku yang kadang ceroboh ini. Karena aku belum siap Zora tahu segalanya. Kami memang saudara kembar tapi bukan berarti segala rahasia harus dibagi, kan? Aku sekarang lebih menghargai sesuatu yang bernama privasi.

Jika Zora tahu lebih cepat dibanding yang kurencanakan, akan ada banyak hal yang sulit untuk kukontrol. Protesnya akan kian kencang berkumandang, itu garansi. Belum lagi kemungkinan besar dia akan membocorkan ceritaku pada Papa, karena beragam alasan. Kalau beritanya sudah sampai di telinga Papa, aku mungkin akan menghadapi masalah. Minimal, diomeli. Karena tak mungkin Papa meminta pernikahanku dibatalkan, bukan?

"Pokoknya aku curiga ada sesuatu. Karena kamu nggak seperti biasa. Kamu kan nggak pernah merahasiakan hal-hal sepenting ini. Kalau cuma menyembunyikan berapa jumlah pengeluaranmu sekali belanja, masih masuk akal. Tapi soal laki-laki yang kemudian jadi suamimu, itu mustahil," urai Zora, sok tahu tapi jitu.

"Ya sudah kalau nggak percaya. Aku bisa apa?" kataku berpura-pura tak berdaya sembari mengedikkan bahu.

Tidak cuma Zora yang harus kuhadapi. Milly dan Uci pun memilih untuk menyusahkanku. Sebagai sahabat, mereka juga merasa berhak untuk mengajukan protes. Menganggapku bersikap tidak masuk akal karena menyembunyikan berita bahagia.

"Menemukan suami sekeren Alistair itu berkah, Na. Tapi kamu malah menyembunyikannya, lebih mirip sikap pendosa," cetus Milly gemas. Kami berkumpul di kantin fakultas. Uci bahkan sengaja membolos agar bisa ikut menyiksaku. Ini hari pertama aku kembali kuliah setelah meliburkan diri seminggu penuh.

"Kurasa, Ina terlalu takut kalau Alistair diambil orang. Ya karena barang langka itu. Makanya dia main rahasia," komentar Uci.

"Tapi, dia nggak perlu merahasiakan soal Alistair di depan kita," protes Zora. "Apalagi di depanku, saudara kembarnya sendiri," ulang adikku untuk kesekian juta kalinya. "Memangnya siapa yang mau merebut Alistair, sih? Maksudku, di antara kita bertiga, kan-"

"Berapa banyak pasangan yang disambar saudara dan sahabat sendiri, sih? Jadi, kali ini aku memaklumi keputusan Ina," sahut Uci, mengejutkan sekaligus memicu protes dari Milly dan Zora. Untuk sementara, aku merasa lega melihat mereka berdebat. Walau tetap ada rasa bersalah sekaligus geli mendengar kata-kata sok tahu yang dilontarkan Uci.

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang