"Na, kok malah bengong di situ? Kamu mau berenang? Bawa baju renang, kan?"
Ina berbalik dan mencari-cari asal suara Alistair. Sekali lagi, dia kaget melihat lelaki itu sudah duduk nyaman di sebuah amben dengan alas busa dan bantal-bantal empuk. Sebuah meja panjang diletakkan di depan amben itu. Ina kemudian menyusul suaminya dan duduk di sebelah Alistair. Dia sama sekali tak membawa baju renang. Bahkan sama sekali tak terpikir untuk menyelipkan benda itu di antara tumpukan barang-barangnya yang dipindahkan ke rumah Alistair.
"Aku nggak bisa berenang," Ina akhirnya bicara. "Kamu tadi belum menjawab pertanyaanku. Sudah berapa lama sih kamu tinggal di sini?" Rasa nyeri menyengat Ina tiba-tiba begitu kalimatnya usai. Dia begitu sedih membayangkan hari-hari suram yang siap menyambut Alistair. Umur yang diprediksi tidak lama lagi karena penyakit yang diderita oleh pria yang sudah menjadi suaminya itu.
Alistair menatap Ina, mengerjapkan mata hingga dua kali sebelum menjawab. "Sudah lima tahun."
Pertanyaan baru pun diajukan oleh Ina. "Apa selama ini kamu tinggal sendiri?"
"He-eh, tentu saja aku sendirian." Jeda selama beberapa detik. Lalu, Alistair mendadak bicara dengan agak terbata. "Ina ... sepertinya kita butuh bicara."
Kata-kata Alistair terdengar aneh di telinga Ina. Ditatapnya lelaki itu dengan alis dinaikkan. Ina bisa melihat wajah Alistair mendadak muram. Perasaan tidak nyaman segera menembus dadanya dengan kecepatan cahaya. Apakah lelaki ini akhirnya akan membahas tentang penyakitnya?
"Ada sesuatu yang aku perlu ... tahu?" tebak Ina setelah memberanikan diri untuk membuka mulut.
Meski tampak berat, Alistair akhirnya mengangguk. "Ya."
Ina berdeham. "Yaitu?"
Alistair tak langsung menjawab, membuat Ina malah berdebar-debar. Lelaki itu masih menatapnya dengan mimik yang sulit untuk ditebak maknanya. Ina tak tahu apa yang sedang berkelindan di benak Alistair. Apakah lelaki ini ingin meminta maaf karena membuat Ina akan segera menjadi janda? Ataukah Alistair menginginkan sesuatu sebagai permintaan terakhirnya? Ada banyak pemikiran yang membuat Ina merasa sesak napas.
"Kok malah diam saja? Apa yang aku perlu tahu?" desak Ina, tak bisa menahan diri untuk terus menunggu dan bersabar saja. "Kamu malah bikin aku deg-degan."
"Maaf," sahut Alistair, terdengar tulus. "Aku mau tanya, kenapa kamu mau menikah denganku? Orang asing yang terlibat dalam suatu insiden di jalan raya. Insiden yang bahkan sebagian besar andilnya ada di tanganku. Andai kamu belum tahu, aku tidak memakai sabuk pengaman saat itu. Hingga sampai terluka. Untungnya tak ada cedera parah. Kalau aku lebih hati-hati, hanya mobil kita saja yang rusak."
Kekusutan menyerbu kepala Ina. Menyulitkan perempuan itu untuk berpikir sejernih kristal. Padahal itu yang sangat dibutuhkannya saat ini. Kata-kata Alistair mirip air es yang disiramkan ke tubuh Ina, membekukan pembuluh darah sekaligus kecerdasannya. Ini kali pertama Alistair mengakui soal sabuk pengaman. Meski sudah merasa curiga, tapi entah kenapa Ina tidak merasa lega. Walau tampaknya semua dugaan membabi buta di kepalanya itu, tak ada yang terjadi.
"Itu pertanyaan yang sangat telat untuk diajukan, Al," sahut Ina.
Alistair mengejutkan Ina dengan kalimat selanjutnya. "Aku tahu. Aku memang sengaja tidak menanyakan padamu jauh-jauh hari atau sebelum kita menikah. Anggap saja ini ... hmmm ... saat yang tepat. Setidaknya untukku."
Pernyataan yang aneh. Namun sisi penasaran yang selalu dimiliki Ina, mendadak lumpuh. Mengkhianati benaknya yang meneriakkan berjuta pertanyaan. Alistair tampaknya memberi efek yang aneh untuk Ina. Ya kata-katanya, ya kehadirannya, ya tatapan matanya. Lelaki ini membuatnya tak berdaya tanpa bisa dijelaskan alasannya.
"Kamu sendiri tidak menjawab dengan jelas, kenapa mau menikah denganku. Kamu pasti bisa memilih perempuan hebat di luar sana yang...."
"Aku kan sudah bilang, aku anak yang patuh. Bagiku, itu alasan yang sangat kuat. Memangnya zaman sekarang sudah nggak ada anak yang menuruti kemauan orang tua walau itu berbau perjodohan? Tak semua anak adalah pembangkang yang ingin hidup bebas dan tak diatur oleh ayah atau ibunya," celoteh Alistair dengan tenang.
Ina ingin mendebat, kembali menjadi dirinya yang biasa. Akan tetapi, kenapa di depan Alistair semuanya menjadi lebih sulit? Ina lebih sering terkelu. Apakah suaminya memiliki ilmu rahasia untuk membuat Ina menjadi tak berdaya. Padahal, biasanya Ina adalah orang yang tak mudah kehilangan kata-kata. Perempuan itu menggigit bibir, merasa sudah menjadi manusia idiot jika sudah terkait dengan Alistair.
"Jadi, kenapa kamu mau menikah denganku? Aku sangat tidak keberatan dengan kejujuran. Bicara saja apa adanya, Na," pinta sang suami.
"Aku...." Ina menelan ludah dan berhenti bicara lagi. Menimbang-nimbang di balik otaknya yang berkabut, pantaskah dia mengungkapkan semuanya di depan Alistair? Apakah lelaki itu tahu apa yang sebenarnya terjadi? Ina termangu dalam kegamangan yang membuat tulang-tulangnya seolah berubah menjadi sponge cake.
"Katakan saja terus-terang, jangan ditutupi! Kurasa ini saat yang tepat untuk membahas semua ini. Toh kita sudah menikah, nggak diizinkan untuk bercerai. Oke, agama kita memang membolehkan perceraian, tapi aku dan keluargaku nggak menganut paham itu. Menikah hanya sekali seumur hidup, itu bukan sekadar jargon doang. Jadi, anggap saja kita menikah dulu sebelum berusaha untuk saling kenal," Alistair mencoba untuk bergurau meski senyumnya tampak kaku.
Ina nyaris memukul kepalanya sendiri karena dia sempat terpesona hanya karena melihat Alistair tersenyum. Ada apa dengan dirinya? Memangnya dia tak pernah melihat pria yang lebih keren dibanding Alistair? Bahkan, Kenji Ganendra yang pernah mengejar-ngejar Ina beberapa bulan lalu, tak kalah menawan dibanding Alistair. Namun entah mengapa, Ina tak tertarik pada Kenji.
"Ina," Alistair bersuara lagi. "Aku tahu, kamu nggak mungkin mau menikah dengan sukarela. Tapi aku nggak tahu pasti apa saja yang sudah dilakukan papa dan mamaku untuk membujukmu. Mereka nggak pernah mau memberitahuku. Makanya, aku bertanya padamu. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maaf ya, kalau kamu menganggap ini sudah telat atau ada dugaan lain. Aku cuma bisa bilang, menurutku ini waktu yang tepat," urainya.
Kalimat itu tidak bisa dimengerti Ina sepenuhnya. Menambah tanda tanya baru di kepalanya. Namun akhirnya dia memutuskan untuk mengaku saja, tak ada gunanya terus menutup-nutupi. Karena Ina yakin, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk mengelak lebih jauh lagi. Saat ini akan tiba, cepat atau lambat. Menunda-nunda mungkin akan membuat segalanya menjadi lebih rumit. Jadi ada baiknya Ina dan Alistair membahas semua itu dengan terbuka. Semoga ini keputusan yang akan membuat mereka berdua menjadi lebih tenang.
"Aku ... hmm ... papa dan mamamu menceritakan soal ... penyakitmu." Ina mendadak cegukan. Itu adalah kebiasaan jelek tiap kali dia merasa gugup dan tertekan. Dia bahkan tak bisa bicara tanpa terbata. Perempuan itu menghela napas panjang untuk menenangkan diri sebelum kembali bersuara. "Aku ... karena itu akhirnya aku ... bersedia menikah sama kamu." Ina lega karena bisa menyelesaikan kalimat itu. Tentu saja dia tidak sepenuhnya bicara jujur. Akan tetapi, menyebut nama Martin dan alasan Navid berniat menjodohkan lelaki itu dengan Ina, sama sekali tidak ada gunanya.
"Penyakitku?" Alistair malah balik bertanya. Ekspresinya serius. "Papa dan Mama bilang apa sama kamu, Na?
"Mereka bilang ... maaf ya Alistair, penyakitmu itu benar-benar mengkhawatirkan. Kanker otak yang kamu derita sudah sampai stadium akhir."
"Hah? Kanker otak stadium akhir?" Alistair mengembuskan napas panjang yang terdengar tajam. Ina memberanikan diri menantang mata lelaki yang baru sehari menjadi suaminya. Dia bingung dengan reaksi Alistair. Memangnya apa yang salah dengan kata-kata Ina? Apakah lelaki ini tak mau penyakitnya diketahui orang, seperti yang sudah diingatkan oleh ibu mertua Ina. Ah, Ina memang bodoh karena mau saja didesak Alistair untuk mengungkapkan alasannya menikahi pria itu.
Ina baru saja hendak membuka mulut saat Alistair sudah bicara lagi. Kali ini, kata-katanya begitu megnejutkan dan membuat Ina melongo.
"Aku benar-benar minta maaf, Na. Karena Mama dan Papa sudah membohongimu mentah-mentah. Aku memang pernah menderita kanker otak beberapa tahun lalu, syukurnya baru memasuki stadium awal. Begitu tahu soal penyakit itu, aku berobat ke Jerman hingga sembuh total. Jadi, sekarang aku sehat walafiat, nggak menderita penyakit apa pun."
Lagu: Sampai Nanti (Kahitna)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
ChickLitIni kisah tentang pernikahan tanpa cinta. Ah, pasti kisah tentang salah satu calon mempelai yang kabur dan terpaksa digantikan oleh saudaranya? Sayangnya, bukan. Ini pernikahan yang melibatkan kecelakaan, kanker otak, gadis nakal yang sering kehil...