Inanna Grace
Aku tak bisa menggambarkan seperti apa malam pertama kami sebagai pasangan suami istri dalam arti yang sesungguhnya. yang pasti, aku sungguh merasa bahagia. Entah bagi orang lain, yang jelas aku merasa bersyukur karena selama ini bisa menjaga diri dengan baik. Bagiku, suamiku adalah pria serba pertama dalam hidupku. Mulai dari orang yang pertama kali mencium bibirku hingga bercinta denganku.
Sekarang, aku benar-benar tahu arti kata-kata yang lumayan sering kudengar karena rajin sekali didengungkan oleh Milly saat otaknya sedang dalam mode porno. Dia beralasan, kalimat itu sangat sering dibacanya dari novel-novel romantis yang dikoleksinya. "Memuja dengan tubuhnya."
Ya, kini aku tahu pasti artinya seperti apa. Namun tolong, jangan minta aku menjelaskan dengan detail karena sudah pasti wajahku akan terasa panas setengah mati. Dan aku pasti tak akan bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku.
"Kuharap kamu bahagia jadi istriku, Na," bisik Alistair sebelum dia terlelap tadi malam. Setelahnya, aku malah tak bisa memejamkan kata dan hanya mampu mengelus lengan suamiku yang memelukku dari belakang.
Keesokan harinya, Alistair memberikan ucapan selamat pagi dengan kecupan di pipiku. Aku bahkan tidak sempat merasa jengah meski belum mencuci muka dan menyikat gigi. Suamiku sudah rapi dan begitu menawan hanya dengan mengenakan celana jeans dan kaus putih polos. Meski berpakaian kasual, Alistair akan disibukkan dengan urusan pekerjaan hingga sore. Dan Alistair sudah berjanji akan meminta seseorang menemaniku untuk berkeliling Florence.
Awalnya aku menolak karena lebih ingin menikmati pemandangan kota ini bersama suamiku. Namun Alistair yang tampak merasa bersalah meminta maaf berkali-kali karena dia nyaris tidak punya waktu luang. Aku pun terpaksa menyerah dan setuju dengan rencananya. Namun, begitu aku mengutarakan kesediaan, justru Alistair yang merasa bimbang.
"Kamu nggak apa-apa kutinggal sendiri? Aku sudah minta tolong sih supaya Enrico mencarikan orang yang bisa menemanimu. Tapi..."
Kutepuk pipi Alistair dengan lembut. "Aku nggak apa-apa. Kalau tersasar, aku akan pergi ke kantor polisi terdekat," gurauku. Aku duduk di ranjang, berhadapan dengan Alistair yang sedang membungkuk ke arahku. "Aku pengin mengunjungi museum milik Salvatore Ferragamo. Aku pengin melihat langsung koleksi di sana."
"Atau ... kamu ikut aku saja? Tapi itu artinya kamu akan merasa bosan."
Aku tertawa geli. Jujur saja, aku suka jika Alistair mencemaskanku. "Kan tadi kamu sendiri yang memberi usul supaya aku berkeliling tanpa harus menunggu kamu selesai bekerja. Aku memang lebih suka nggak mengganggumu. Pergilah, bekerja sebaik mungkin dan hasilkan uang sebanyak yang kamu bisa. Aku akan bersenang-senang sendiri.""
Alistair tersenyum lebar dan aku terlalu terpesona untuk sekadar mengerjap. Saat mataku tanpa sengaja berhenti di cincin kawin yang kukenakan, hatiku terasa hangat. Cincin itu kini menunjukkan keterikatan antara aku dan Alistair dalam arti sesungguhnya.
Suara ketukan di pintu membuyarkan suasana magis yang baru saja melingkupi kami. Aku mendadak tersadar dengan kondisiku yang masih acak-acakan usai membuka mata. Aku pun buru-buru melompat dari ranjang dan menuju kamar mandi saat Alistair membuka pintu.
Ketika aku kembali ke kamar, sarapan sudah memenuhi meja kopi di depan sofa. Beberapa pilihan danish pastry dan croissant tampil cantik dalam piring saji. Dua cangkir cokelat masih mengepulkan asap halus. Alistair menungguku sambil menelepon seseorang.
Itu adalah sarapan paling enak yang pernah dicicipi oleh indra pengecapku. Bukan karena makanannya yang luar biasa lezat, melainkan karena kehadiran Alistair. Setelah malam indah yang kami ciptakan berdua, aku dipenuhi kebahagiaan yang tidak terbayangkan.
Aku tak pernah tahu bahwa perasaan bahagia yang melingkupi seseorang, bisa memberi pengaruh luar biasa besar. Bahkan hingga ke soal cita rasa makanan. Perasaan manusia ternyata memang sekompleks itu.
Sebelum Alistair pergi, kami kedatangan tamu yang kemudian diperkenalkan padaku sebagai Carissa Savonarola. Carissa berambut cokelat dengan kulit terang yang membuatku iri. Usianya sudah di atas tiga puluh tahun, minimal menurut tebakanku.
Perempuan itu lebih jangkung dariku. Pipinya kemerahan, terutama saat terkena sinar matahari. Enrico yang membawa serta Carissa saat dia menjemput suamiku. Alistair menciumku sekilas sebelum meninggalkan kamar, membuatku merona sekaligus mengalami fase tulang meleleh yang memaksaku duduk karena lutut yang bergetar.
Carissa menjadi penolong yang luar biasa. Karena aku baru tersadarkan andai memilih untuk tetap berada di kamar seharian atau mengekori Alistair, aku akan terjerat dalam lumpur isap yang berisi kenangan atas malam pertama di Florence. Bisa-bisa aku akan banyak tersenyum sendiri mirip orang sinting. Ajakan Carissa untuk berkeliling membuat akal sehatku tetap terjaga dan tidak sempat terlalu lama terbenam dalam lamunan.
Dari hotel, aku dan Carissa langsung menuju Palazzo Spini Feroni. Kami berjalan kaki menembus keriuhan para turis yang membanjiri kota Florence. Dalam hati aku berjanji untuk datang ke sini lagi di musim lain. Musim panas tampaknya masih menjadi primadona untuk menghabiskan liburan. Telingaku menangkap aneka bahasa yang berasal dari seluruh penjuru dunia. Turis asal Jepang tampak cukup banyak meski tak berasal dari satu rombongan yang sama.
Carissa terbukti menjadi penunjuk jalan yang andal, meski ada kendala bahasa di antara kami. Kemampuanku berbahasa Inggris sungguh mencemaskan. Untungnya Carissa dengan sabar menungguku menjelaskan maksudku. Dan kedua tanganku biasanya ikut sibuk memberi gambaran untuk mendukung kalimat amburadulku.
Aku sudah pernah membaca sejarah Palazzo Spini Feroni, bangunan yang dibangun pada abad ke-13. Di masanya, bangunan itu pernah menjadi gedung paling indah dan anggun dari era abad pertengahan. Dibangun oleh pedagang kaya bernama Geri Spini dan sempat berganti kepemilikan hingga akhirnya sang maestro sepatu membelinya.
Salvatore Ferragamo membeli gedung indah itu pada tahun 1930-an yang kemudian dijadikan markas besarnya. Setelah Ferragamo meninggal, Palazzo Spini Feroni pun berubah fungsi menjadi museum. Semua orang di seluruh penjuru dunia bisa melihat langsung warisan sang maestro. Para pengunjung diharuskan membayar tiket masuk sebesar enam euro.
Kami diarahkan untuk menuju ruang bawah tanah yang memberikan gambaran pencapaian Tuan Ferragamo selama hidupnya. Aku pernah membaca beberapa ulasan berisi kekecewaan dari para pengunjung. Ada yang menyebut kalau tempat itu tidak layak disebut museum karena tidak memajang banyak karya-karya Ferragamo. Juga dianggap terlalu banyak mengangkat masalah anatomi kaki dan seni lain yang tidak berhubungan langsung dengan sepatu merek ternama itu.
Aku justru berpendapat sebaliknya. Aku pemuja sepatu dan karya-karya Salvatore Ferragamo. Memasuki "istana" pria itu mirip pengalaman magis yang pasti sulit terlupakan dalam hidupku. Entah sudah berapa lama aku memendam hasrat untuk berkunjung ke tempat itu. Dan baru kali ini tercapai, berkat Alistair. Alistair-ku.
Eh, sekarang aku sudah bisa mengklaim Alistair sebagai milikku, kan?
Lagu: Cintaku (Chrisye)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
Chick-LitIni kisah tentang pernikahan tanpa cinta. Ah, pasti kisah tentang salah satu calon mempelai yang kabur dan terpaksa digantikan oleh saudaranya? Sayangnya, bukan. Ini pernikahan yang melibatkan kecelakaan, kanker otak, gadis nakal yang sering kehil...