"Marriage should be a duet. When one sings, the other claps."
(Joe Murray)
Ina bisa merasakan bumi terbelah dan tubuhnya tersedot dalam pusat siklon saat mobil yang dikendarainya menabrak sesuatu. Ralat, bukan sesuatu melainkan sebuah coupe berwarna gelap. Kepanikan menyerbu dan mencuri napasnya dalam waktu bersamaan. Apa yang sudah dilakukannya? Bagaimana bisa dia menyetir seceroboh ini?
Gadis itu termangu entah berapa lama sebelum suara panik dari luar mulai menyusup ke telinganya. Dengan gerakan perlahan karena tenaganya seakan terkuras habis, Ina membuka sabuk pengamannya. Dia tidak merasa lega meski kondisinya baik-baik saja. Sabuk pengaman sudah menyelamatkan gadis itu. Namun dia belum bisa mengatakan hal yang sama untuk mobil mewah yang baru saja ditabraknya.
Seseorang berteriak dan memukul engine hood mobil Ina dengan suara panik. Ina diminta memundurkan mobilnya. Gadis itu menurut dengan jantung yang terasa nyaris meledak dan meremukkan tulang dadanya. Dia bisa melihat pintu pengemudi yang ditabraknya mengalami kerusakan yang cukup menggetarkan. Yang segera terpantul di benak Ina adalah wajah murka Navid. Dia tak berani membayangkan hukuman apa yang akan dijatuhkan ayahnya jika tahu apa ulah terkini putrinya.
"Ya Tuhan, tolong jangan biarkan Papa tahu soal ini," doa Ina sungguh-sungguh.
Ketika Ina akhirnya mampu keluar dari mobilnya yang bagian depannya juga ringsek, orang-orang sudah berkerumun. Telinganya segera mendengar sederet kata makian yang membuat pendengarannya seolah berdengung. Tentu saja makian itu ditujukan untuknya. Dia nyaris terlengar karena takut akan diamuk massa. Bagaimana jika dia dikeroyok oleh orang-orang yang ada di sekitarnya?
Ina menyaksikan beberapa orang berusaha membuka pintu mobil untuk mengeluarkan si pengendara yang tampaknya terjepit. Gadis itu berdoa luar biasa serius, berharap orang itu tidak mati. Karena jika itu terjadi, maka sudah pasti umur Ina pun tak akan panjang.
Ina bahkan tidak benar-benar mengerti bagaimana dia bisa menabrak sebuah mobil yang melintas dari arah kiri jalan. Seharusnya dia berhenti karena lampu berwarna merah, dan Ina baru menyadarinya setelah tabrakan telanjur terjadi. Mobilnya tidak kencang, begitu pula coupe itu. Akan tetapi, entah bagaimana kerusakannya begitu parah dan menciutkan nyali. Saat ini, lutut Ina gemetaran.
"Hei, jangan bengong saja! Lakukan sesuatu, entah menelepon rumah sakit atau menyerahkan diri ke polisi. Kamu yang sudah menabrak kami dan menerobos lampu merah. Kamu itu bisa menyetir atau tidak, sih?" Seorang perempuan muda mengacungkan tangannya dengan tidak sopan. Ina menelan kesiap kagetnya dan memilih untuk memundurkan wajah. Segalak-galaknya Ina, nyalinya sedang tergelintang saat ini.
"Aku...."
"Kalau bosku sampai celaka, tahu sendiri akibatnya! Masuk penjara cuma masalahmu yang paling ringan," ancamnya lagi.
Perempuan yang lebih pendek sekitar sepuluh sentimeter dari Ina itu memandang dengan tatapan kesal. Sesaat, perempuan itu tampak kaget, seakan mengenali wajah Ina. Bibirnya terbuka, matanya yang tadi "cuma" bersorot kesal, kini berubah berapi. Ina yakin dia akan hangus kalau perempuan di depannya maju dua langkah lagi. Mendadak, perempuan itu mengerjap dan tampak lega. Namun suaranya justru kian ketus. "Jangan ke mana-mana! Awas kalau kamu berani kabur!"
"Iya ... aku...." Ina merogoh tasnya. Dalam hati dia memaki lidahnya yang mendadak sulit untuk digerakkan. Namun setelah memegang ponselnya pun Ina kesulitan berpikir jernih. Apakah dia sebaiknya menelepon polisi atau rumah sakit terdekat? Jika mengontak pihak rumah sakit, mungkinkah mereka bersedia mengirimkan ambulans? Pertanyaan-pertanyaan itu malah membuat jari-jari Ina kian gemetar. Hingga ponselnya nyaris terjatuh ke aspal. Ina buru-buru menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Perempuan galak tadi berbalik dan meninggalkan Ina dalam langkah gesit, kembali ke arah mobil yang ditumpanginya tadi. Saat akhirnya pintu mobil berhasil dibuka dan seorang pria nyaris tersungkur ke aspal.
Ina merinding saat melihat ada banyak darah di kepala lelaki itu. Bahkan dari jarak bermeter-meter pun Ina bisa melihat kemejanya yang berubah memerah. Perempuan galak itu mengucapkan sesuatu dengan suara gugup. Ina tidak tahu harus berbuat apa saat melihat jalanan yang macet dan orang-orang yang kian menyemut akibat ulahnya. Ina lega sekaligus lunglai saat telinganya mendeteksi suara sirine. Dia baru ingat, ada sebuah rumah sakit tak jauh dari situ.
"Ya Tuhan, tolonglah orang itu. Semoga dia nggak mengalami cedera serius," doanya lagi. Kepala Ina terasa pusing. Pandangannya nyaris berkunang-kunang. Mungkin, tak lama lagi Ina pun akan pingsan.
Gadis itu terduduk tak berdaya di atas aspal yang dingin dan keras. Kelegaan membuat tenaganya terisap. Dia cuma bisa menatap dengan mata membulat saat paramedis memeriksa kondisi lelaki itu. Ina mengabaikan nyeri di bokong dan lututnya karena tadi sempat terduduk dengan posisi yang aneh. Dia pun cuma bisa menurut saat perempuan galak itu kembali mendatangi seraya menarik tangan Ina tanpa perasaan.
Seorang polisi menanyai mereka dan Ina tidak bisa menghentikan mulutnya mencerocos. Ina mencoba menggambarkan peristiwa tabrakan itu menurut versinya, tapi sepertinya dia menumpahkan terlalu banyak kata-kata tanpa memasang filter. Dia sendiri bahkan tidak benar-benar bisa mencerna kata-kata yang berlompatan melebihi banyaknya butiran hujan itu.
Otak Ina sedang berada dalam mode primitif, menghentikan seluruh aktivitas mentalnya. Gadis itu sungguh-sungguh tidak mampu berpikir jernih. Butuh waktu panjang untuk menunjukkan bukti tentang pengendalian diri. Bahkan untuk berdiri tanpa gemetar dan suara jantung yang memalu kepalanya, sangat sulit untuk dilakukan.
"Kamu sedang mabuk, ya?" tanya perempuan galak yang menjadi penumpang coupe yang ditabrak oleh Ina itu.
"Nggak, Mbak. Aku nggak pernah mabuk," komentar Ina sembari menyabarkan diri. Jika berada dalam kondisi normal, Ina pasti mengomeli perempuan judes ini. Akan tetapi, kali ini, dialah yang bersalah. Ina bahkan cukup yakin jika dirinya akan masuk penjara karena peristiwa hari ini.
Ina seakan baru benar-benar sadar setelah berada di rumah sakit. Aroma obat-obatan yang menyerang indra penciumnya turut membangunkan konsentrasi gadis itu. Dia terduduk lemas di kursi keras yang tersedia di depan UGD. Perempuan galak tadi berkali-kali menelepon dengan suara rendah sambil melirik ke arah Ina dalam banyak kesempatan.
Sebenarnya Ina merasa sangat tersinggung karena dipandang seperti penjahat hina yang sedang mencari celah untuk melarikan diri. Namun dia tidak punya tenaga untuk meributkan harga diri untuk saat ini. Ina juga tidak sempat mencemaskan mobilnya. Dia pasrahkan SIM, STNK, dan city car kesayangannya pada pihak berwajib.
Seorang lelaki muda menghampiri perempuan galak itu, bicara selama kurang dari dua menit, sebelum akhirnya duduk di sebelah Ina. "Kamu pucat sekali. Mau diperiksa dokter? Ada yang luka?" sapanya dengan nada datar.
Ina menoleh ke kiri. "Kamu ... siapa?" tanyanya spontan.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Aku Juno, salah satu karyawan dari orang yang kamu tabrak tadi. Kamu?"
Melihat pria di sebelahnya bersikap santai, Ina pun sedikit tertulari. "Ina. Dan...." dia tak sanggup bicara, hanya mampu menunjuk ke satu arah dengan dagunya.
"Itu Vicky. Kamu dimarahi, ya? Dia memang selalu begitu, jangan dipikirkan. Vicky itu salah satu sahabat sekaligus orang kepercayaan bosku." Juno mengerutkan alis. "Kurasa kamu harus bertemu dokter, atau minimal makan."
Kata-kata Juno tidak mampu memancing rasa lapar di perut Ina. Padahal sudah lebih dari tujuh jam dia tidak makan. Kecemasan, ketakutan, kengerian, dan entah perasaan apalagi, telanjur bergulung tanpa jeda dan melumpuhkan semua keinginan gadis itu.
Ina berfantasi lelaki yang sedang ditangani oleh dokter itu keluar dari UGD dengan senyum cerah dan tubuh prima. Tidak akan membuat Ina terbelit masalah hukum dan –mungkin- memangkas masa lajangnya hingga tujuh tahun. Karena jika Navid tahu ulah teranyar putrinya, kemungkinan besar Ina akan benar-benar menjadi korban kawin paksa.
"Gaunmu sobek," Juno bicara lagi. Ina tidak berminat mencari tahu bagian mana dari gaun selututnya yang tercabik. Gaun cantik milik Zora yang baru dibeli kurang dari dua minggu yang lalu itu pasti akan memicu persoalan baru jika dikembalikan dalam kondisi cacat. Namu, itu tidak akan menjadi masalah untuk saat ini. Ina tidak punya energi untuk mencemaskannya sekarang.
Lagu : Nada Kasih (Fariz RM featuring Neno Warisman)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fix You
Chick-LitIni kisah tentang pernikahan tanpa cinta. Ah, pasti kisah tentang salah satu calon mempelai yang kabur dan terpaksa digantikan oleh saudaranya? Sayangnya, bukan. Ini pernikahan yang melibatkan kecelakaan, kanker otak, gadis nakal yang sering kehil...