Nyonya Alistair [1]

2.1K 491 25
                                    

"The secret of a happy marriage remains a secret."

(Henny Youngman)

Mungkin cuma Ina dan Alistair yang menghabiskan hari pertama setelah menikah di rumah saja. Tidak ada anggota keluarga yang merecoki. Tidak ada sisa perayaan yang terlihat. Tidak ada juga bulan madu yang biasanya sudah disiapkan oleh pasangan yang sedang berada di puncak dunia.

Apakah Ina sudah boleh menyesal sekarang? Namun, kenapa tak ada perasaan semacam itu yang dirasakannya? Mungkinkah dia sudah berubah kepribadian dalam sekejap, menikmati hal-hal yang simpel? Atau pada dasarnya memang seperti ini yang diinginkannya? Ina mendadak merasa tak mengenal dirinya sendiri.

Zora menelepon dan bertanya apakah Ina butuh sesuatu. Dia juga menawarkan untuk menemani Ina jika diinginkan. Ditingkahi kalimat menggoda yang mengesalkan tentang "kayak gimana malam pertama kalian" yang membuat wajah Ina terasa panas. Saudara kembarnya menolak dengan halus, beralasan dia butuh waktu untuk makin mengenal Alistair.

"Kalian terlalu kaku untuk pasangan yang akan menikah. Apa kamu dipaksa menikah sama Alistair?" goda Zora di suatu ketika. Zora pasti tidak tahu kalau saat itu dada Ina segera menggelegak oleh denyut jantung yang menggila.

"Menurutmu, apa ada orang yang bisa memaksaku menikah?" Ina membela diri, defensif. Dengan suara tajam yang jelas mengejutkan Zora.

"Hei, aku cuma bergurau. Nggak perlu semarah itu, Ina," protesnya. "Apa ini juga karena semacam sindrom ketegangan ala calon pengantin yang banyak diomongin orang-orang? Tumben kamu jadi gampang emosi."

"Aku nggak gampang emosi. Aku cuma nggak suka kamu ngomong yang aneh-aneh. Sudah tahu aku lagi cemas karena memikirkan ini-itu, malah sengaja bikin orang makin pusing," komentar Ina dengan nada menggerutu. Namun kemudian dia menyesali kata-katnaya karena sudah bicara terlalu banyak. Zora bisa curiga.

"Kenapa harus cemas? Memangnya ada apa? Kan sudah ada yang mengurusi acara resepsi dan sebagainya itu?" Zora tampak heran. Lalu, gadis itu bicara lagi. "Kamu cuma perlu menyiapkan mental, Na. Tapi, kalau dipikir lagi, aku nggak menyalahkanmu kalau sampai cemas, sih. Umur masih muda, biasa senang-senang dan belum pernah punya pacar serius, tahu-tahu nekat mau menikah. Kalau aku jadi kamu, mungkin nggak akan bisa tidur nyenyak sampai hari-H. Cuma, karena calon suamimu sekeren Alistair, nggak apa-apa juga sedikit menderita, Na. Anggap saja itu semacam konsekuensi," cerocos Zora penuh semangat. Ina mendengar kata-kata saudara kembarnya sambil mencebik.

"Aku nggak paham kamu ngomong apa, Ra. Sudah ah, jangan sok tahu," larangnya.

Hingga detik ini dan mungkin seumur hidupnya, Ina tak memberi tahu Zora tentang penyebab dirinya menikah dengan Alistair. Biarlah itu menjadi rahasia yang akan disimpan Ina selamanya. Toh, kemungkinan besar rumah tangga Ina dengan Alistair tak akan berjalan lama. Namun, tiap kali memikirkan penyakit lelaki itu, Ina tak bisa mencegah perasaan sedih menguasai jiwanya. Alistair adalah pria muda yang menawan dan terlihat sehat, memiliki masa depan panjang yang sudah menantinya.

Ina duduk dengan punggung setegak busur panah. Di bawah siraman matahari pagi yang bersinar garang, barulah Ina bisa memindai dapur dengan saksama. Seperti ruangan lain di rumah itu, dinding bukan kaca selalu dicat dengan warna putih. Seluruh kabinet dapur menggunakan warna hitam sehingga terlihat kontras.

Pagi itu Ina baru memperhatikan jika dapur yang menyatu dengan ruang makan itu menggunakan gaya lesehan. Meja makan persegi nan rendah diletakkan di atas sebidang area dari kayu. Letaknya lebih tinggi setengah meter dibanding area lantai di sekelilingnya.

Duduk di atas bantal empuk, Ina berhadapan dengan Alistair. Seorang perempuan yang menurut tebakan Ina berusia di atas tiga puluh lima tahun, tampak sibuk di dapur. Tadi malam dia sama sekali tidak melihat perempuan itu. Alistair baru saja memperkenalkannya sebagai Dini, asisten di rumah itu.

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang