Rumah Kaca [1]

1.9K 464 18
                                    

"By all means, marry. If you get a good wife, you'll become happy. If you get a bad one, you'll become a philosopher."

(Socrates)

Ina merasa kikuk sekaligus bodoh saat pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah Alistair. Dia bahkan baru tahu beberapa jam silam nama lengkap suaminya. Alistair Valerius Damanik. Ah, betapa banyak hal yang tak diketahuinya seputar pria yang kini sah menjadi suaminya. Padahal, Ina sempat memanfaatkan jasa detektif untuk mengumpulkan informasi sebelum setuju menikah dengan Alistair, kan?

"Aku memang bodoh. Mungkin ada kekurangan vitamin di otakku makanya hal sesederhana ini saja nggak kepikiran untuk mencari tahu. Oalah Ina, Ina," katanya pada diri sendiri. Alistair yang berada di sebelahnya, menoleh.

"Kamu bicara apa?" tanya lelaki itu, penasaran.

"Bukan apa-apa. Aku lagi teringat sesuatu yang agak menyebalkan," akunya. Lalu, demi menghindari pertanyaan lebih detail dari Alistair, Ina buru-buru menjauh dari lelaki itu dan berjalan mendekat ke arah Zora dan kedua sahabat mereka.

Awalnya, keluarga Damanik meminta mereka menginap di hotel yang kebetulan memiliki kamar khusus untuk bulan madu. Hotel Megalopolis memang dikenal memiliki paket spesial untuk pengantin baru yang diminati banyak pasangan berduit. Untuk kali pertama, Ina berhasil membulatkan tekad dan mengajukan penolakan. Anehnya, tidak ada yang berusaha untuk membujuknya. Semua seakan sepakat untuk mengabulkan keinginannya. Termasuk Alistair.

Hal itu membuat Ina bertanya-tanya sendiri. Apakah sebaiknya dia menerima saja tawaran untuk menginap di hotel itu? Apakah ada sesuatu yang harus dicurigainya? Namun setelah itu, Ina mengomeli dirinya sendiri. Terlalu terlambat jika dia berprasangka ini-itu, kan? Dia sudah telanjut menjadi Nyonya Alistair, tak ada lagi yang bisa dilakukannya.

Rumah Alistair berada di sebuah perumahan terkenal di kawasan Jakarta Barat. Termasuk dalam daftar lima puluh perumahan terbaik di Indonesia versi sebuah majalah properti. Seusai resepsi dan berganti pakaian, mereka langsung menuju tempat yang kelak akan ditinggali Ina. Sebelumnya, barang-barang Ina sudah dipindahkan.

Ina memasrahkan tugas itu pada Nunik dan supir ayahnya. Namun belum sekalipun Ina menginjakkan kaki ke rumah itu karena kerepotan mengurus persiapan pernikahan. Dia bahkan tidak bertanya pendapat Nunik tentang rumah Alistair. Entahlah, Ina tidak tahu pasti alasannya. Mungkin karena dia yang terlalu takut untuk tahu. Terlalu cemas kalau akan menghadapi kekecewaan karena rumah Alistair tidak sesuai dengan harapan. Atau mungkin karena dirinya terlalu masa bodoh. Kesimpulan yang terakhir tampaknya lebih masuk akal.

"Kamu kenapa malah cemberut melulu dan banyak melamun, sih?" tegur Zora sambil menyenggol lengan saudara kembarnya ketika resepsi hampir kelar. "Kayak korban kawin paksa saja. Harusnya, kamu melompat ke sana dan ke mari saking bahagianya. Aku nggak menyangka kalau kamu diam-diam pacaran sama anak konglomerat yang juga dikenal Papa. Pantas saja restu Papa turun tanpa kesulitan berarti."

Ina tak memiliki tenaga untuk mendebat adiknya. "Ya, aku memang beruntung." Cuma itu yang diucapkannya.

Hanya dalam waktu kurang dari empat bulan sejak kecelakaan itu, Ina sudah menyandang status nyonya. Dan saat berdiri di depan pintu rumah yang terpentang lebar, Ina tahu betapa parah kecerdasannya. Seharusnya, dia sudah pernah melihat rumah itu. Minimal Ina harus mencari tahu seperti apa tempat yang akan ditinggalinya.

Entah kenapa, sebelumnya hal itu tidak terpikirkan. Mungkin juga karena Ina memblokir keinginan itu tanpa disadari. Semua yang dialaminya terlalu membingungkan untuk dicerna dalam waktu singkat. Ada kalanya Ina berharap kalau dia sedang melalui mimpi berbadai yang menguras tenaga. Akan tetapi, sayangnya mimpi itu tidak pernah ada.

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang