Tersapu Badai [3]

2.7K 751 25
                                    

Binsar memesan gindara steak with white sauce, sementara istrinya memilih chicken charsiu with hainam rice. Ina? Bersikeras bahwa dirinya tidak lapar, akhirnya dia cuma memilih satu porsi apple crumble yang tampak menggiurkan pada situasi normal.

Kedua suami-istri itu tidak jengah menunjukkan kasih sayang di antara mereka. Ina menunduk berkali-kali, dengan isi dada menebak tanpa henti. Sudah berapa lama kira-kira mereka menikah? Apakah mereka memang seperti ini selama bertahun-tahun? Jika ibunya masih hidup, akankah orang tuanya juga tampil mesra seperti itu? Tatapan saling memuja, perhatian-perhatian kecil yang menghangatkan hati.

"Habiskan makananmu, baru kita bicara."

Suara Binsar membuat Ina mengangkat wajah. Dia baru menyadari jika sejak tadi tangannya hanya bergerak pelan memegang sendok. Apple crumble-nya masih nyaris utuh.

"Iya, Pak," balasnya dengan suara lirih. Gadis itu berdoa mati-matian semoga dia tidak cegukan. Itu penyakit memalukan yang selalu muncul saat Ina sedang gugup luar biasa.

Ina menyamakan dirinya seperti seorang terdakwa yang sedang menunggu dijatuhi hukuman mati. Perutnya terpilin-pilin, tubuhnya menegang, bahkan tulang-tulangnya seakan berubah sedingin es. Gadis itu tidak akan kaget jika dia mendadak terserang hipotermia. Atau hipofremia atau kondisi keterbelakangan mental karena saking cemasnya.

Memaksakan diri untuk menelan pesanannya, Ina nyaris muntah. Dia hanya ingin menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Berada dalam ketakutan sungguh tidak mengenakkan. Waktu melamban dan sangat menyiksa, hingga akhirnya Ina tidak bisa menahan diri untuk mengembuskan napas lega saat akhirnya Binsar bicara.

"Kondisi anak saya baik-baik saja. Ada luka di kepala, tapi hanya membutuhkan jahitan. Yang lain-lain sepertinya tak ada masalah. Apa yang sebenarnya terjadi tadi?"

Rasa lega mendorong Ina untuk bicara panjang. Dia tidak bisa menahan lidahnya untuk terus meliukkan kalimat. Ina mengisahkan kembali apa yang terjadi menurut versinya. Bagaimana dia merasa tidak mengebut dan mematuhi rambu-rambu, tapi kecelakaan tetap terjadi.

"Orang tuamu tidak dihubungi sampai kamu sendirian di sini? Apa tak sebaiknya mama atau papamu diminta ke sini?" Binsar bersuara lagi.

Pertanyaan sederhana itu memberi efek smash di wajah Ina. Sebuah bola voli seakan baru saja menghantamnya. Gadis itu terdiam selama beberapa tarikan napas, tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Apa yang harus diucapkannya di depan orang tua yang anaknya baru saja menjadi korban tabrakan yang melibatkan Ina? Apakah ini pertanda Binsar ingin menuntut ganti rugi?

"Orang tua saya ... maksudnya ayah saya ... memang belum diberi tahu. Saya rasa, saya cukup mampu untuk ... hmm... bertanggung jawab atas masalah ini." Ina bicara tergagap. Semua kata-katanya seakan mencekik Ina. Gadis itu meraih gelas minuman untuk menyelamatkan tenggorokannya yang mendadak jauh lebih kering dibanding gurun mana pun yang ada di dunia.

Selanjutnya, Ina tidak kuasa menolak interogasi terang-terangan yang dilakukan Binsar. Sederet pertanyaan seputar keluarga dan aktivitasnya mau tidak mau harus dijawab gadis itu. Sesekali, Ina menggumamkan kata maaf di sela-sela kalimatnya. Rasa bersalahnya sungguh menyiksa. Padahal selama ini Ina tergolong gadis cuek yang tidak mudah dijamah oleh perasaan seperti itu. Ina mengutuki hati nuraninya yang mendadak menampakkan diri.

"Baiklah, saya rasa untuk sementara ini cukup. Saya cuma mau bilang, kami tidak akan menempuh jalur hukum. Kecuali ada masalah serius yang muncul kemudian. Tapi sepanjang kondisi Alistair baik, tidak ada yang perlu dicemaskan," Binsar tampak puas. Claire yang sejak tadi memilih diam, mengangguk setuju.

"Maaf Ina, apa kamu sudah menikah?"

Pertanyaan Claire yang terdengar aneh itu, menggelitik Ina. Namun dia menahan tawa, tidak ingin dianggap tidak sopan.

"Belum, Bu. Saya masih kuliah." Ina mengernyit mendengar jawabannya sendiri. Apa hubungan antara suami dan kuliah, dia tidak tahu.

"Pacar?"

Ina menggeleng lagi. "Tidak ada."

Jika situasi tidak seburuk ini, mungkin Ina menolak menjawab pertanyaan dari orang asing yang ingin mengorek fakta tentang dirinya. Menenangkan diri, Ina tersenyum tipis.

"Kamu tidak usah cemas, nanti saya akan minta Juno untuk mengurus soal mobilmu. Kamu dan Alistair sama-sama ceroboh, itu sudah pasti. Oh ya, kamu sudah bisa menjenguk Alistair setelah ini."

Ina tidak percaya bahwa telinganya sudah menangkap kalimat yang benar. Dia bisa membayangkan reaksi ayahnya jika dia atau Zora yang sedang berada di rumah sakit saat ini. Navid takkan melepaskan orang yang sudah mencelakai anaknya, meski mungkin Ina yang punya kesalahan lebih banyak.

Akan tetapi, orang tua Alistair ini tampaknya sangat pengertian. Jika mereka ingin membuat Ina tenang, sungguh berhasil. Bahu Ina merosot karena rasa lega yang meraksasa. Berita tentang kondisi Alistair akan membuatnya bisa memejamkan mata malam ini.

"Terima kasih, Pak," ucap Ina penuh syukur.

Sebelum mereka berpisah, Ina sempat memberikan nomor ponselnya kepada Binsar. Lalu dengan langkah gemetar yang dipaksakan, dia menuju ke ruang rawat inap tempat Alistair dirawat. Terberkatilah Juno yang menemani Ina dan menunjukkan sikap santai yang cukup menenangkan.

Di tengah jalan, Ina berhenti. "Apa Vicky sudah pulang?" tanyanya dengan nada tak suka. Dia kesulitan meredam rasa sebal pada perempuan galak itu.

Juno tertawa pelan. "Belum. Dia ada di ruang perawatan. Dia yang mengurus kepindahan bosku. Tadinya Pak Al pengin pulang, tapi tidak diizinkan oleh ayahnya. Kurasa Vicky akan menginap di sini."

Bibir Ina membulat. "Sudah kuduga mereka punya hubungan spesial."

"Ah, jangan sok tahu. Mereka itu sahabat lama. Vicky bahkan sudah menikah."

Ina kembali berjalan sembari menggosok leher belakangnya. Kegugupannya makin menjadi-jadi saat mendekati pintu kamar yang ditunjuk Juno. Meski ayah dan ibu lelaki yang ditabraknya bersikap cukup santai, Ina tidak berani membayangkan reaksi anaknya. Apalagi ada Vicky yang sudah menunjukkan ketidaksukaannya pada Ina dengan maksimal.

Ina tersenyum kecut mendengar kelakar Juno. Dia sebenarnya tidak ingin menghadapi Alistair sendirian. Namun Ina tidak punya pilihan. Mustahil dia mengajak serta Navid atau Zora. Gadis itu mengepalkan tinjunya diam-diam, berharap keberaniannya bertambah.

Juno membuka pintu. Vicky yang sedang bicara di telepon, menoleh. Wajahnya berubah cemberut dalam kecepatan yang mengagumkan. Menuruti nasihat Juno agar mengabaikan perempuan itu, Ina mendekat ke arah ranjang. Tidak ada orang lain di ruangan itu. Tanpa sadar Ina menoleh ke arah Juno, dengan mata dipenuhi pertanyaan.

"Ini cewek yang menabrakmu, Al," kata Vicky dengan nada benci yang membuat bulu kuduk Ina meremang. Buru-buru dia menoleh ke kanan, titik yang ditatap Vicky.

Sorang pria jangkung berkulit bersih berdiri di ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Lelaki itu sudah berganti pakaian, mengenakan kaus dan celana training. Dengan rambut cokelat terang dan hidung tinggi, penampilan Alistair menunjukkan bahwa dia berdarah campuran. Pupil mata lelaki itu sempat melebar. Apakah itu menandakan keterkejutan? Mata Ina berhenti di kening lelaki itu.

"Jangan kamu kira mentang-mentang dia bisa ke kamar mandi sendiri, kondisinya tidak serius. Lihat Nona, kening Alistair harus dijahit ka...."

"Vicky, sudahlah!" Alistair masih menantang mata Ina. Lelaki itu berjalan pelan ke arah Ina. Selama itu, jantung Ina seakan mau pecah. Entah bagian mana yang lebih mencemaskan Ina sehingga dia yakin tidak lama lagi akan pingsan.

Cemas akan mendapat kemarahan dari lelaki yang berekspresi datar itu? Khawatir akan diusir dari kamar? Atau....

"Halo...."

Bibir Ina terbuka untuk menjawab sapaan lelaki itu. Tapi sayang, suaranya tidak keluar.

"Kamu menyetir dengan ceroboh." Alistair berjarak dua langkah dari Ina. "Apa kamu..."

Ina tidak memperhatikan kata-kata Alistair. Indra penglihatannya terpaku di satu area. Sepasang mata yang sedang memandang Ina dengan serius itu. Bukan mata biasa, melainkan mata berwarna biru es! Ina mendadak cegukan.

Lagu : Matamu (Titi DJ)

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang