"Inanna Baby" [1]

3.8K 453 55
                                    

"A successfull marriage is an edifice that must be rebuilt every day."

Andre Maurois

Inanna Grace

Esoknya, Carissa kembali menemaniku berkeliling kota. Awalnya aku sangat ingin kembali ke Museo Salvatore Ferragamo. Aku bahkan ikhlas tidak mengunjungi objek wisata lain yang menjadi ciri khas Florence. Alistair malah tertawa mendengar keinginanku dan menyarankan agar aku memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menjelajah saja.

"Aku janji, Inanna Baby, nanti kita akan kembali ke sini. Seminggu, sebulan, terserah kamu. Kalau saat itu tiba, kamu boleh setiap hari datang ke museum itu, nggak perlu ke mana-mana lagi," janji Alistair. "Kalau sekarang, kan kita cuma waktu terbatas. Justru sayang kalau cuma ke situ saja."

Aku tersipu luar biasa mengerikan hanya karena Alistair memanggilku "Baby". Untungnya kali ini aku tidak lagi cegukan. Kegugupanku tampaknya mulai berkurang dengan drastis. Akan tetapi, perlukah aku mengajukan protes? Tentu saja tidak!

Jadilah hari itu aku menghabiskan siang yang panas untuk mengunjungi tempat-tempat yang dipenuhi turis. Florence dibelah oleh Sungai Arno dan memiliki kelab sepakbola Fiorentina. Sayang, aku tergolong asing dengan kompetisi di Italia dan Jerman. Jika tidak, mungkin aku akan memilih mendatangi markas Fiorentina.

Bangunan dengan gaya Renaissance mendominasi Florence. Tujuan utama kami adalah Uffizi, sebuah museum-galeri yang sangat populer. Ada banyak lukisan hasil buah karya nama-nama agung di dunia seni lukis yang dipajang di sana. Mulai dari Leonardo da Vinci, Michelangelo, hingga Botticelli. Setidaknya itulah yang kutangkap dari penjelasan Carissa yang kadang terpaksa diulang karena aku tak terlalu paham.

Demi menghindari antrean panjang yang sangat sering terjadi terutama di musim panas, Carissa sudah memesan tiket via internet. Dan aku bersyukur untuk itu saat melihat barisan calon pengunjung yang sudah mengular panjang.

Mungkin aku bukan orang yang tepat untuk mengunjungi museum seperti Uffizi. Aku tidak terlalu antusias menghabiskan waktu di tempat itu. Seharian itu kami mengunjungi beberapa tempat terkenal lagi. Dan ... masih tidak terbebas dari keramaian akibat pengunjung yang membludak.

Piazza del Duomo, alun-alun kota yang sangat populer pun tidak terlalu membuatku betah. Meski aku tidak menolak saat Carissa mengajak untuk memasuki beberapa bangunan menawan di sekitarnya. Aku ingat kata-kata Alistair tadi, mumpung berada di sini jadi aku harus memanfaatkan waktu dengan baik.

Gereja Santa Maria del Fiore begitu memukau dengan lantai dan atap mozaik nan indah. Aku bahkan tidak tahan untuk tidak mengabadikan keindahan bangunan itu saat menjelajah di sana. Entah berapa kali aku berdecak kagum.

"Sepertinya komposisi otak orang-orang di sini berbeda dengan manusia pada umumnya. Karya mereka semuanya luar biasa," pujiku berkali-kali.

Campanile di Giotto, menara setinggi lebih delapan puluh meter itu membuatku mandi keringat. Pengunjung harus menaiki lima ratus buah anak tangga batu yang sempit. Namun keletihan saat menaiki tangga itu terbayar tuntas setelah tiba di atas. Pemandangan kota Florence yang menakjubkan terpentang di depan mata. Aku kembali menjepretkan kamera ponselku ke berbagai arah dengan keriangan anak-anak yang baru menemukan mainan favoritnya.

Esoknya, aku berencana menghabiskan waktu untuk mencari oleh-oleh yang akan kubawa pulang. Untuk Zora dan kedua sahabatku, aku membeli beberapa selendang cantik dari sutra. Juga topeng-topeng menawan khas Italia yang biasa digunakan saat karnaval. Aku juga membelikan mereka boneka pinokio sebesar telapak tangan yang terlihat lucu.

Sementara untuk Papa, kemarin aku sudah membeli sepasang sepatu cantik seharga hampir seribu dua ratus euro dari toko milik Signore Dante Beccari. Meski mengernyit saat melihat harganya, tapi kurasa cukup pantas setelah melihat sendiri prosesnya. Aku bahkan memejamkan mata saat menyerahkan kartu kredit pemberian Alistair. Dan tadi malam suamiku menertawai saat aku menceritakan hal itu.

"Kan nggak setiap hari juga beli sepatu dengan harga segitu, Na," Alistair mengingatkan. "Kamu sendiri yang bilang, pengin memberi oleh-oleh yang bagus untuk Papa. Dan menurutku, sepatunya memang oke. Sesuai dengan harganya."

"Eh, Al, aku tiba-tiba ingat sesuatu. Apa kita nggak beli sepatu juga untuk mama dan papamu?" tanyaku. Saat itu, aku merasa bodoh sekali karena tak ingat untuk memilihkan oleh-oleh untuk kedua mertuaku.

"Nggak usah! Aku pun nggak pernah beli oleh-oleh untuk mereka. Karena seleranya beda, Na. Ketimbang beli tapi nggak cocok dan malah mubazir, kan sayang. Lagi pula, uang papa dan mamaku jauh lebih banyak dibanding kita. Jadi, ya sudah, nggak usah repot-repot. Toh, kamu nggak akan dianggap sebagai menantu yang jahat," urai Alistair lumayan panjang.

Aku tersenyum lebar. "Kamu ternyata bisa juga ngomong panjang, ya?" kelakarku.

Karena Alistair adalah penggemar pasta, salah satu tujuan utamaku berkeliling adalah membeli bahan makanan itu. Aku tak peduli disebut norak. Toh, ini memang salah satu cita-citaku jika berkunjung ke Italia. Aku mirip orang kalap saat memasuki sebuah toko yang menjual aneka bahan makanan. Masyarakat setempat menyebut toko seperti itu sebagai alimentari atau drogheria.

Selain membeli aneka jenis pasta yang memenuhi keranjang, aku juga memilih minyak zaitun dan berbagai sayur yang diawetkan di dalam minyak yang sama. Carissa merekomendasikan buncis putih yang diawetkan dalam minyak zaitun dan beragam rempah.

"Good day, beautiful lady," seseorang menyapa dan memeluk pinggangku. Aku sudah bersiap mengangkat keranjang yang kupegang dan menghantamkannya ke arah lelaki kurang ajar itu.

"Astaga, Al! Aku hampir memukulmu dengan keranjang ini!" kataku dengan wajah cemberut. "Kamu sangat suka mengejutkanku."

Alistair tertawa renyah. Tawa yang dengan bodohnya membuat bulu tanganku meremang. Lalu tanpa malu dia mencium bibirku sekilas. Wajahku langsung memerah saga, aku bisa melihat pantulannya di kaca toko.

"Kamu ... nggak boleh seenaknya menciumku...."

Alistair malah menciumku tiga kali lagi. Aku benar-benar kehilangan keberanian untuk mengajukan protes. Aku bisa melihat Carissa berusaha menyembunyikan tawa gelinya.

"Kamu kok tahu aku ada di sini? Bukannya seharusnya kamu masih kerja?"

"Pekerjaanku sudah kelar, kok. Tadi aku menelepon Carissa, sengaja mau mengagetkanmu," respons Alistair.

"Oh." Aku masih berusaha meredakan debar jantungku.

"Kita masih punya waktu beberapa jam untuk berkeliling. Kamu mau ke mana?" tanya suamiku.

Aku menggeleng. Kemarin aku sudah mengunjungi beberapa objek wisata populer di kota ini. Aku bukan pencinta keindahan bangunan Renaissance kelas berat. Hari ini, dengan Alistair di depanku, aku cuma ingin menikmati waktu yang berdetak pelan.

"Aku cuma mau...." kebenaran itu tertahan di lidahku. Alistair menatapku dengan penuh konsentrasi, membuat oksigen menipis di sekitarku. Akhirnya, aku mengalah. "Bisa nggak kalau kita cuma menghabiskan waktu berdua? Aku ... sudah melihat banyak bangunan bagus. Dan rasanya itu sudah lebih dari cukup."

"Tentu saja bisa, Inanna Baby," balas Alistair dengan senyum lebar yang memberi impak tersambar petir padaku. Untungnya suamiku meninggalkan selama kurang dari dua menit untuk bicara dengan Carissa. Sehingga aku punya kesempatan untuk berusaha melakukan respirasi senormal mungkin.

Belanjaanku yang cukup banyak dibawa Carissa ke hotel. Awalnya aku menolak karena tidak nyaman merepotkannya lagi. Namun perempuan itu sendiri meyakinkanku kalau dia memang ada keperluan di sekitar hotel.

Setelah kemarin malam Alistair mengajakku ke restoran yang menyuguhkan spaghetti seafood yang luar biasa lezat, kali ini dia membawaku ke restoran berbeda. Hari sudah lewat pukul dua siang saat kami memasuki sebuah restoran dan memesan makanan. Aku sengaja meminta Alistair yang memilihkan makanan karena dia sudah punya pengalaman mengunjungi kota ini. Suamiku memilihkan bistecca alla fiorentina, steak tebal khas kota Florence yang cuma mampu kusantap setengahnya.

Meski bersama, kami malah jarang bicara. Aku lebih banyak memandangi Alistair yang tampak begitu menikmati makanannya. Jika kebetulan dia memandang ke arahku, maka aku buru-buru mencari penambat pandang lainnya atau berpura-pura sibuk dengan ponselku. Hingga akhirnya Alistair mengambil telepon genggam dan tasku tanpa izin.

"Hei, kenapa kamu malah memangku tasku?" protesku.

"Aku benci melihatmu pura-pura sibuk dengan ponsel. Kamu boleh memandangiku selama berjam-jam, aku nggak akan merasa keberatan."

Lagu: Romansa (KLa Project)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fix YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang