Tiga : Keinginan itu Terwujud

391 73 31
                                    

Vote & comment!

•••

"Lo ada apa apa sama si Zidan ya?"

Tak ada jawaban dari mulutku, sebab aku memang sengaja tak ingin memberikan jawaban.

Telingaku sudah cukup panas mendengar sejak tadi pagi Kahiyang selalu melayangkan pertanyaan ini. Pertanyaan untuk mendesakku agar mengakui bahwa diriku memang ada apa apa dengan laki laki yang bernama Zidan-yang hanya kebetulan berkesempatan menjemputku pagi ini. Padahal tadi aku sudah sempat memberikan jawaban apa adanya, bahwa memang tak ada apa apa diantara kami kecuali memang kebetulan semata-Zidan mau memberikan tebengen karena kami searah, namun Kahiyang tak mau menganggap jawaban yang kuberikan tersebut.

Pagi tadi Zidan memang benar menjemputku pukul 8 tepat sesuai apa yang laki laki itu sampaikan dihari sebelumnya. Menurutku pribadi Zidan memanglah sosok laki laki yang menyebalkan, terbukti bagaimana sikapnya yang se enak jidatnya itu. Bahkan aku sudah tak lagi ingat, berapa kali laki laki tadi mengolokku, mengomentari hidupku sesuai pemikirannya. Well, kalau bukan mengingat kebaikannya, tentu aku sudah akan menendang tulang keringnya.

"Jadi selama dua hari ini lo telat gara gara antri buat beli kue basah itu?"

"Kue-nya enak, murah juga."

Sebelum menuju kampus, aku dapati Zidan yang memutuskan mampir dahulu pada sebuah kios kecil yang menjual aneka ragam kue basah. Melihat ada beberapa pembeli disana, sudah bisa dipastika Zidan pun harus menunggu. Terbukti, 10 menit sudah waktuku terbuang untu menunggunya mengantri.

Aku sebenarnya sama sekali tak peduli akan penilaian Zidan terhadap apa yang ia beli dan makan. Yang aku pedulikan adalah berapa banyak waktuku yang terbuang sia sia hanya karena keterlambatan Zidan untuk rapat internal selama 2 hari kemarin, dan kemungkinan pagi ini pula.

"Lo nggak takut anak anak malah mikir buruk soal lo karena lo selalu telat?" Dan berakhir dengan dia yang memberikan anak anak lain sebungkus kue basah yang ia beli.

"Setahu gue anak anak yang lain nggak ada masalah. Lo-nya aja kali, yang selalu berfikiran buruk soal gue."

Sial, cukup tajam juga ternyata kalimat sarkasme laki laki itu.

Aku yang duduk berada di jok belakang boncengan Zidan hanya mampu melotot, dan mengepalkan genggaman tanganku pada saat itu. Ingin sekali rasanya aku memukul belakang kepala Zidan yang kini tengah memakai helm full face tersebut dari belakang dengan kencang.

Dalam benakku, aku berfikir. Bagaimana bisa Zidan berceletuk seperti itu dengan mudahnya. Tanpa tanggung tanggung, dan tanpa perlu memperdulikan perasaanku yang notabennya sebagai perempuan memiliki ciri khas perasaan yang gampang rapuh.

"Nih ya kalo gue boleh jujur, lo itu gak punya bakat buat memanipulasi ekspresi Pril," kata Zidan lagi menimpali. Yang sungguh rasanya membuatku benar benar ingin meninju mulutnya itu. Mengatakan tanpa tahu bahkan mengenal lebih jauh siapa diriku sebenarnya. "Lagian diantara 11 orang yang gue kasih, cuma lo doang yang nolak, pake tampang asem pula lagi. Lo punya masalah hidup seberat apaan sih?"

Zidan menyebalkan-

Bukan.

Bukan hanya menyebalkan, namun sangat sangat menyebalkan. Apalagi kalimat penuh sindirannya yang sungguh tajam tersebut. Aku sangat tidak menyangka, di zaman sekarang masih bisa ku dapati laki laki seperti itu.

"Gak perlu sok peduli sama hidup gue, gue gak butuh," ungkapku menahan kekesalan, dan berkeinginan agar dia diam saja.

Entah efek dari kalimat jutek dariku barusan atau memang hanya karena Zidan tengah fokus menyetir, yang jelas tak ada lagi percakapan kami disisa perjalanan menuju kampus tersebut. Bahkan hingga kendaraan beroda dua milik Zidan menemukan tempat parkir yang strategis di halaman perpustakaan, kami masih tak saling membuka suara.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang