Dua : Tak Suka Sendirian

390 70 14
                                    

Vote vote!

•••

Mengenai rasa kecewa, nampaknya rasa itu sudah sangat tidak asing bagiku. Sebab aku kerap mengalaminya.

Katanya, rasa sakit itu bisa mengajarkan seseorang agar nantinya orang tersebut bisa lebih kuat bertahan. Tak hanya sekedar itu, adanya rasa sakit juga dapat menjadikan seseorang lebih hati hati, lebih dewasa, juga pastinya menjadi sosok yang lebih baik lagi.

Seperti hal nya pagi ini.

Ketika mataku terbuka secara terpaksa, yang dikarenakan Mama yang harus terpaksa membangunkanku guna berpamitan. Lagi lagi rasa kecewa itu mendatangiku tanpa permisi. Yang lagi lagi datang tanpa ku minta.

Mama akan meninggalkanku untuk tugas keluar kota selama 5 hari kedepan.

Setidaknya kini aku merasakan sebuah perbedaan dibanding dulu, saat ini aku merasa sudah mampu mengatasinya. Sebab aku sudah memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibanding waktu waktu sebelumnya.

Mungkin saat tiga tahun yang lalu, setiap Mama akan pamit guna tugas bekerja di luar kota selama beberapa hari, maka aku tentu saja akan menghabiskan waktu beliau sehari sebelumnya pada malam hari untuk menangis dan merengek agar Mama tak jadi pergi. Lalu kini, aku cukup merasakan kesedihan sesaat ketika Mama pamitan. Lalu setelahnya, aku akan baik baik saja, bisa kembali beraktivitas seperti biasanya.

"Mama udah minta Mbak Jenna nginep disini selama Mama pergi. Tante Keisya juga nawarin kamu biar tidur dirumah beliau juga. Jadi, keputusan finalnya Mama serahin ke kamu mau gimana enaknya. Yang terpenting jaga diri baik baik, jangan telat makan. Oke?"

Sebuah anggukan tanda patuh kuberikan. "Mama disana juga gitu ya, jangan kurangin waktu istirahatnya."

Kami lantas berpelukan cukup lama, melegakan egoku yang sebentar lagi harus ditinggal seorang diri. Lalu setelahnya aku ikut keluar mengantarkan Mama kedepan. Dengan rangkulan Mama pada bahuku, dan tanganku yang membantu menyeretkan koper Mama. Kami berdua menghampiri taksi yang sudah ada didepan rumah.

Sama sekali tak menyangka, ternyata di depan rumah bisa ku lihat kak Ali dan seluruh keluarganya termasuk Shabrina yang juga sudah ada didepan rumahku.

"Mama sama Ali berangkat ke bandara bareng, tapi Ali-nya curang nggak mau kasih tahu jam berapa pesawatnya."

Aku mampu dibuat tersenyum, walaupun senyum itu hanya nampak tipis. Setelah tadi merasa sedikit sedih akibat baru pagi ini tadi mengetahui Mama harus pergi. Mama dan aku pun segera mendekat berjalan menuju tempat dimana keluarga Ali berkumpul.

"Mbak, Mas. Titip jagain Prilly ya, jewer aja kalo bandel," kata Mama masih dengan merangkulku, sembari melemparkan senyum khas Mama yang beliau punya-yang pasti meninggalkan bekas lesung.

"Prilly aman sama kita Rubi, kamu tenang aja disana ya." Sahutan itu berasal dari Tante Keisya-aku memanggil beliau, sosok yang selalu tampak cantik menurutku pribadi berdasarkan fakta yang ada.

"Li, kamu bantu masukin kopernya tante Rubi ke bagasi." Perintah kali ini berasal dari Om Dimas, selaku papa dari kak Ali juga Shabrina.

Kulihat kak Ali yang faham pun kini mengangguk, lalu ia berjalan ke arahku. Meminta koper Mama yang ada ditanganku untuk laki laki itu taruhkan pada bagasi taksi yang sudah ada didepan ini. Meskipun dengan setengah hati, aku tetap menyerahkan sebuah koper berukuran sedang berwarna putih tersebut.

"Mama berangkat sekarang ya nak."

Aku sekali lagi memeluk sang Mama, dan dahiku mendapat kecupan manis dari beliau. Mungkin kami memang jarang memiliki quality time, namun rasanya ditinggal pergi oleh Mama sekalipun hanya beberapa hari pasti rasanya tetaplah terasa berat.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang