Sepuluh : Be Brave!

351 77 15
                                    

Jangan lupa follow, vote dan kasih komentarnya ya bestie!

Btw ini sudah panjang sekali ya ini hehehe (6k words, lhoo)

So, happy reading!

•••

Sebuah kutipan yang tak sengaja pernah terbaca oleh netraku bilang, katanya tidak semua orang yang menemani kita dari awal harus terus ada hingga nanti. Ada masanya seseorang itu harus pergi, dan tentu saja kita tak bisa melarang kepergiannya. Karena itu adalah bagian dari takdir.

Awalnya berat, itu pasti. Siapa sih orang yang mau ditinggal pergi sama sosok yang benar benar penting bagi hidupnya. Bahkan aku sendiri memerlukan waktu lumayan panjang untuk bisa kembali ceria setelah duka yang datang tersebut. Jadi, bisa dibilang setelah kepergian Papa, banyak pula perubahan yang terjadi didalam hidupku. Salah satunya adalah sempat hilangnya rasa kepercayaan diriku.

Itu alasan kenapa setelah menyelesaikan pendidikan menengah pertama, aku memilih masuk sekolah menengah atas yang notabennya memanglah bukan sekolah favorite ataupun kelas atas. Ya, taraf sekolah menengah atas yang biasa saja intinya. Begitupula 3 tahun setelahnya. Lagi dan lagi, aku hanya harus merasa cukup bisa diterima universitas negeri yang memang biasa biasa saja.

Memang seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit aku bisa melawan rasa ketidakpercayaan diriku. Namun tetap saja, diwaktu waktu tertentu aku bisa kembali pada perasaan merasa tidak percaya diri tersebut.

Dan itu berlaku pada saat ini.

Dimana sekarang aku sudah duduk disamping sosok laki laki dewasa yang tadi mengenalkan diri sebagai teman dekat Mama.

Namanya Om Dewa.

Menurut kaca mata pandangku, sejauh ini beliau bersikap layaknya orang dewasa yang tentu bisa memperlakukanku dan Mama sebagai sosok perempuan yang harus dihormati-sekalipun ini adalah pertemuan pertama kami. Kami kemudian saling berkenalan, dan beliau dengan lugasnya bertanya padaku tentang pertanyaan basic, seperti kuliah dimana, mengambil jurusan apa dan tak ketinggalan kesibukan apa yang kini sedang aku jalani. Entah apa ini memang strategi pendekatan ala orang dewasa, dimana beliau sengaja mencoba mengakrabkan diri padaku agar bisa mendapatkan simpati dari Mama atau memang beliau tulus-aku tidak tahu. Namun sebagai bentuk menghormati beliau juga, aku tentu menjawab setiap apapun pertanyaan yang beliau lontarkan padaku. Dan juga sesekali aku bertanya pada beliau mengenai topik bidang pekerjaan yang memang sama dengan Mama.

Ya, meskipun aku tidak tahu detailnya, setidaknya mengenai hal dasar aku sedikit banyak tahu.

Secara keseluruhan, bisa dibilang acara makan malam dengan agenda perkenalan awal ini berjalan dengan baik. Hingga tanpa terasa pertemuan ini harus diusaikan, setelah hampir 1 jam kami duduk bercengkerama bersama dalam 1 meja makan.

"Saya antar kamu dan Prilly pulang ya?" Tanya Om Dewa pada Mama, saat kami bertiga baru saja keluar dari restaurant dan akan menuju lokasi parkir.

"Nggak perlu Wa, kendaraan kamu gimana kalau kamu harus anterin kita," jawab Mama. "Saya bisa pulang sendiri kok, lagian kan saya juga sudah biasa menyetir sendiri." Terlihat ekspresi Om Dewa beliau masih enggan menerima respon Mama.

"Kalau begitu biar saya kawal dari belakang sampai depan kompleks area perumahan kamu, setuju ya?"

"Oke kalau begitu, dari pada debatnya nggak selesai selesai kan?"

Aku hanya bisa ikut tersenyum saat melihat interaksi keduanya. Ya bisa dibilang, Om Dewa sudah mampu membuatku terkesan saat ini. Seketika pula, kekhawatiran kekhawatiran tak berarti soal Mama yang kemarin sempat bercokol dalam kepalaku, kini sirna begitu saja. Sepertinya bukan keputusan buruk jika memang Mama berniat serius dengan Om Dewa.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang