Sembilan belas : Love you more

303 66 6
                                    

•••

Ck.

Kali ini tak tahu sudah kali berapa aku berdecak sebal dengan apa yang aku lakukan. Bahkan aku bingung harus berbuat apa lagi agar suasana hatiku bisa lebih membaik. Perasaan tidak tenang yang kini kerap mampir dengan intensitas sering ini, sungguh mengangguku.

Waktu dimana aku harusnya menyelesaikan revisian skripsi harus terganggu karena tak kunjung menemukan ide penyelesaiannya. Hingga menyebabkan aku merasa putus asa. Dan berakhir menutup laptopku.

Beberapa kali aku juga menghabiskan banyak waktu melirik ke arah dimana ponselku berada. Berharap ada sebuah notifikasi dari seseorang yang kunanti. Dan tak jarang pula aku berdiri didepan jendela kamar, untuk membuka gorden. Berharap aku bisa mengetahui kak Ali sedang apa.

Apakah kak Ali bisa tetap tenang setelah 5 hari ini tanpa memberikan kabar? Bahkan setelah obrolan kami malam itu. Sebab aku mulai tidak tahan lagi dengan perasaan tidak nyaman ini.

Ah. Aku benci perasaan ini.

Aku memutuskan keluar dari kamar, berniat menuju dapur. Setidaknya, mungkin bertemu dengan mbak Jenna bisa membuatku sedikit melupakan kesedihan ini.

"Ada Ali didepan tuh," kata Mbak Jenna saat kami berpapasan saat akan ke dapur.

"Serius mbak?"

Anggukan yang diberikan mbak Jenna cukup membuatku percaya sepenuhnya bahwa kak Ali akhirnya mau menemuiku. Maka dengan rasa tidak sabaran aku segera melangkahkan kaki ke bagian depan rumah. Dan berhasil menjumpai sosok yang sudah rapi dengan jaket denim dan celana hitamnya.

"Aku mau ajakin kamu lihat sunset," katanya berucap ketika menyadari aku sudah ada dihadapannya.

Aku tak banyak berfikir, sehingga aku langsung mengiyakan ajakannya. Setelah aku meminta waktu sebentar agar ia menungguku bersiap siap. Setidaknya aku tidak boleh pergi hanya dengan pakaian kaos dan celana pendek, bukan?

Menuju kembali ke kamar, aku berganti pakaian yang masih nampak casual dan sopan. Tak lupa aku membawa topi dan tas selempang. Sebelum siap menemuinya dan berangkat bersama.

Aku tak banyak berharap atas apa saja yang akan terjadi pada kami, ataupun obrolan apa saja yang akan kami perdebatkan. Aku hanya memiliki kepercayaan bahwa 50% peluang untuk kami bisa kembali baik baik saja. Dan peluang 50% persen sisanya, merupakan jawaban kebalikan atas apa yang kusebutkan sebaliknya.

Perjalanan yang kami tempuh dihuni oleh kesenyapan. Tiada obrolan yang sifatnya sekedar basa basi belaka maupun hal penting. Kak Ali fokus akan tugas menyetirnya, sedangkan aku lebih memilih melihat pemandangan diluar jendela kendaraan. Dengan sesekali menoleh ke arahnya.

Perjalanan 1 jam yang umumnya disebut cepat, namun bagiku adalah perjalanan terlama kami sejauh ini. Sebab atmosfir yang kami berdua ciptakan sungguh tidak amat enak rasanya. Ada kecanggungan, yang bahkan rasanya bagiku sulit untuk mengatasinya.

Kak Ali dengan pandainya mencari spot parkir yang istimewa. Sebab kami hanya perlu keluar dari mobil, pemandangan lautan yang akan menelan matahari nantinya sudah tersaji di hadapan kami. Sayang saja, momen indah seperti ini harus terjadi disaat kondisi kami tidak sedang baik baik saja.

"Ada yang mau kamu bicarain dulu, sebelum aku yang bicara?"

Ini kesempatan terakhirku untuk berusaha menyakinkan kak Ali, bahwa kami akan tetap bisa bersama walaupun harus terbentang jarak. Sehingga aku memutuskan mengangguk. "Ada." Aku tak inggin, usaha perjalanan kami kemari hanya untuk mendengar keputusan final yang akan ia ambil.

Oh bukan. Lebih tepatnya, aku masih belum sanggup jika keputusannya tetap melepaskanku.

"Kak Ali masih ingat nggak sih, dulu waktu pertama kali ngajarin aku naik sepeda" ucapku kemudian.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang