•••
Berdiri di depan pagar rumah aku menunggu giliran untuk berpamitan dengan Shabrina dan kedua orang tuanya. Ya, mereka akan pergi menghabiskan akhir pekan dirumah kerabat yang berada di kota yang berbeda.
Ketidak ikutsertaan kak Ali entah merupakan sebuah keberuntungan bagiku atau tidak. Kak Ali yang notabennya akan sendirian di rumah pasti memberikan beberapa dampak terhadapku. Yang pertama pasti Mama akan selalu mengajak kak Ali untuk makan bersama nantinya. Kedua, disaat kak Ali memiliki waktu senggang ia pasti akan lebih memilih berada dirumahku. Dan beberapa dampak lain.
Ya, sepertinya kesenangan dan kesusahan yang akan kuterima akan seimbang.
"Kak Ali kenapa nggak ikut?" Tanyaku basa basi.
"Nggak ah, entar kamu kangen." Ia mengucapkannya sedikit berbisik ke arahku.
"Aku?"
"Nggak kamu doang sih, aku juga pasti bakalan kangen kalau lagi jauh jauhan."
Seketika aku melemparkan pandangan ke arah lain. Sial. Pasti kak Ali sudah mampu menebak bahwa kedua pipiku saat ini sudah terdapat semburat merah karena salah tingkah mendengar pengakuannya.
Kemudian segera kudengar bunyi klakson kendaraan keluarga kak Ali, sebagai tanda pamit berangkat. Tak lupa aku pun melambaikan tangan ke arah mereka.
Selepas itu, kami bertiga kembali memasuki rumah. Dan tentu saja kak Ali turut ikut tanpa perlu diminta. Ia bilang terlalu sepi dirumah sendirian pada Mama. Sehingga Mama dengan senang hati mempersilahkan ikut masuk kedalam rumah kami.
"Oh iya, kalian berdua baik baik dirumah ya sayang. Mama tinggal sebentar, ada yang harus diurus."
"Harus banget sekarang Ma?"
Pasalnya Mama beberapa jam yang lalu baru saja tiba dari kantor.
"Iya sayang, ada dokumen yang harus Mama urus sebelum masuk waktu weekend beneran."
"Mau Ali anterin tante?" Sahut kak Ali tiba tiba.
Hal itu membuat Mama mendongak menatap kak Ali sambil menggeleng. "Mama dijemput Om Dewa, nih orangnya baru aja ngabarin kalau udah di depan," kata Mama sambil menunjukkan layar ponselnya.
"Dokumen yang mau Mama urus bukan dokumen buat syarat nikah kan, Ma?"
Mama pun seketika melepaskan tawanya, sambil menghampiri tempatku berdiri.
"Bukannya kamu udah kasih kami restu?"
Aku pun dibuat melotot setelahnya, "jadi beneran mau urus buat pernikahan?" Sekali lagi Mama pun tertawa. "Ya emang iya aku udah setuju setuju aja kalau Mama sama Om Dewa bakal naik ke jenjang yang lebih serius. But, ya nggak tiba tiba gini juga kan."
Mama merangkulku dan mengelus punggungku. "Dokumen yang kami mau urus itu soal kerjaan sayang, Mama cuma mau iseng bercandain kamu aja lho tadi."
Menyebalkan bukan? Akupun sampai dibuat mendengus mendengarnya.
"Beneran cuma dokumen kerjaan kan Ma?"
"Iya sayang," tuturnya kemudian mencium pelipisku. "Kalian berdua jangan berantem pokoknya, mbak Jenna nggak bisa datang hari ini soalnya."
"Iya."
"Dikulkas ada ayam marinasi tinggal digoreng kalau lapar. Tapi kalau nggak mau ribet order aja ya."
Kami berdua mengangguk mengantarkan Mama sampai pintu rumah. Dan bisa kusaksikan sebuah kendaraan sudah terparkir rapi didepan pagar rumah kami.
"Mama sama Om Dewa hati hati," seruku dan dihadiahi acungan ibu jari oleh Mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
ChickLitHead Over Heels 'Menggambarkan perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta, namun lebih ke arah terlalu tergila-gila akan seseorang lawan jenisnya. Perasaan rumit yang terkadang penjelasannya tak bisa dicerna logika maupun akal sehat, sehingga sehar...