39|| Dia Rakry?

48 6 8
                                    

Happy reading')
.
.
.

'Memberi kepercayaan pada seseorang itu sulit. Kamu tidak bisa menebak dia nyata, atau sekedar rekayasa'

***

Raffa memutar bola matanya malas saat melihat manusia yang saat ini dibencinya tengah duduk anteng di sofa ruang tamu rumahnya. Haruskah? Jangankan melihatnya, mendengar namanya saja Raffa sudah emosi. Semoga saja kali ini Raffa bisa mengendalikan dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Berjalan cepat melewati ruang tamu yang sebenarnya terdapat sang Mama, Raffa tidak peduli untuk saat ini. Namun, agaknya takdir tidak membiarkan cowok yang masih menggunakan seragam sekolahnya itu tenang untuk sedetik saja.

Baru akan menaiki anak tangga pertama, Raffa bisa mendengar namanya dipanggil. "Raffa? Mama ada di sini, loh, sopan kamu, lewat gitu aja? Nggak salam juga, mama nggak ada ngajarin kamu begitu, ya." Metta bingung, putra sulungnya itu belakangan ini nampak begitu acuh padanya, juga sang suami.

"Assalamualaikum," Raffa kembali mengambil langkah yang tadi tertunda, tak menghiraukan sopan santun untuk egonya yang tengah terbakar saat ini.

Metta geleng-geleng kepala dibuatnya, lalu beralih menatap Mahda yang nampak tertunduk. "Tara, nanti sekalian sama Cilla, ya, pulangnya. Bukan apa, akhir-akhir ini dia sering main sama temen cowoknya, nggak baik, apalagi kalo orang tau statusnya sekarang."

Mahda terkesiap, "kata papa, cowoknya itu temen Cilla waktu di London, bener?"

Mengangguk, Metta lantas menjawab, "iya, papa udah cerita sama kamu? Syukurlah, kamu  jangan marah sama Cilla, ya. Setau Mama, mereka emang dekat, tapi, untuk hubungan Mama kurang tau. Sahabat, mungkin," ujarnya ragu.

Baru saja Mahda hendak bertanya perihal nama pemuda yang digadang-gadang adalah teman Cilla saat di London, pintu kediaman Anthony terbuka menampilkan Jeff yang baru saja pulang dari kantornya.

Melihat itu Metta lantas menghampiri, dan menyalimi tangan Jeff. "Tara udah dateng, Pa, tapi, mending Papa mandi dulu, deh."

Jeff mengangguk menyetujui, "Cilla sama Raffa, gimana?" tanya Jeff.

"Raffa lagi mandi di kamarnya, kalo Cilla, biar Mama telpon anaknya," Jeff mengangguk sambil tersenyum, dan menuju kamarnya.

"Papa mana?" tanya Mahda yang melihat Metta hanya kembali sendirian.

"Lah, kamu dari mana? Papa udah ke kamar tadi."

Mahda menyengir, "dari kamar mandi tadi," ujarnya.

Metta lantas memukul pelan paha Mahda yang ada di sampingnya, "ya jelas, kamu nggak liat papa lewat tadi." Lalu, mereka tertawa pelan.

***

"Iya, bentar lagi Cilla pulang."

"Bener, ya, jangan sampe telat, jam tujuh nanti kita berangkat."

Menghela nafas lelah, Cilla menjawab. "Iya, ma, ini Cilla lagi on the way, lho. Nggak perlu khawatir, Cilla masih di Jakarta, belum di Bali."

"Siapa tau dia ngajak kamu kesana-sana."

"Astaga, ma, Rakry bukan penculik kalik," balas Cilla kesal.

Rakry yang mendengar itu dari samping hanya mampu terkekeh pelan. Keduanya tengah menuju tukang Ketoprak yang tadi mereka kunjungi menggunakan taksi untuk mengambil motor Rakry yang dititipkan di sana. Namun, Cilla sedari tadi sudah ditelpon beberapa kali oleh sang Mama padahal belum sampai lima belas menit, tapi, sudah terhitung tujuh kali ponsel Cilla berdering. Tentu saja Cilla kesal, tapi, tetap menjawab dengan nada sewot yang kentara. Apalagi Mamanya yang tidak berhenti mengomeli, dan terus menggodanya, itu membuat raut Cilla yang kesal amat menggemaskan di mata Rakry.

SATU SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang