42|| Patut Ditertawakan

72 8 1
                                    

Happy reading')
.
.
.

'Perihal cinta yang buta, itu benar. Menutup mata akan kenyataan, dan menghadapi resiko yang membuat luka cukup nanar.'

***

Entah harus lega, atau cemas Cilla rasa. Penerbangannya ditunda selama lima belas menit , dan itu membuat Cilla mendesah lega karena tak tertinggal. Kendati di sisi lain, Cilla ingin segera pergi dari sini. Hatinya gelisah tanpa alasan, apa akan terjadi sesuatu nanti? Semoga saja tidak.

"Mau duduk dulu?" tawar Raffa yang berdiri di samping Cilla dengan dua koper di masing-masing tangan miliknya, dan Cilla. Belum lagi tas Cilla yang ia selempangkan di bahunya. Sedangkan Jeff, dan Metta sudah kembali setelah mengantar kedua anaknya itu.

Melihatnya, membuat Cilla tidak tega. "Boleh, tapi, itu tasnya biar Cilla aja yang bawa, deh, Bang. Bawaan Abang udah banyak banget itu," ujar Cilla sedikit meringis.

Raffa menggeleng tegas, "nggak apa, masih kuat, kok. Ayo, cari tempat duduk, jangan sampe kecapekan."

"Ini penuh, deh, kayaknya, Bang," ucap Cilla menilik sekitar yang tidak tersisa tempat untuknya menunggu. Maklum, dia bepergian saat masa liburan.

Raffa menunjuk sisi yang terlihat lengang, "di sana aja, gimana?" Yang diangguki Cilla.

Keduanya berjalan dengan sesekali melempar candaan, yang hanya ditanggapi kekehan kecil oleh Raffa. Jaga image, itu kalimat sakral seorang Raffa. Kalian harus ingat itu!

Tawa, dan langkah itu terhenti saat mereka tak sengaja mendengar percakapan yang menarik.

"Kamu keterlaluan, Nin, jauh dari perkiraanku selama ini." Suaranya Cilla hafal di luar kepala.

"SETELAH MAHDA, BAHKAN, DIA JUGA REBUT KAKAK DARI AKU! KAKAK PERGI NINGGALIN AKU SAMA IBU KARENA PEREMPUAN ITU!" pekik seseorang membuat Cilla mematung saat nama orang yang begitu dibencinya ikut disebut.

Lalu tak lama disusul sebuah teriakan dari orang yang sama, "ANIN BENCI SAMA CILLA!"

"Dan, berulang kali gue udah kayak orang tolol di antara kalian yang sama-sama punya topeng," ucap Cilla menatap nanar keduanya.

Lalu senyum yang terlihat miris itu tersungging di bibir Cilla. "Ini adek kamu, Ry? Wow, kamu buat aku speechless."

"Cill, nggak kayak apa yang kamu liat. Aku baru mau jelasin sama kamu soal Anin," Cavan, cowok itu menggeleng panik.

"Oh, hai, ceritanya mau kabur dari masalah?" Cavan menoleh horor sambil menggeleng tak percaya mendengar ucapan Anin. Dimana Anin yang lemah-lembut itu?

"Kamu keterlaluan, Nin!" hardik Cavan pada Anin membuat Cilla sedikit menyernyit heran.

"Kenapa, sih, Kak? Kakak bilang mau nurutin semua yang aku mau buat nebus waktu kita, tapi, kenapa ingkar?" Anin yang ini benar-benar asing untuk Cavan.

"Nggak usah pada drama! Pesawat kita udah mau take off, ayo, Ry." Raffa berucap.

Cilla menatap Raffa tak percaya, "Bang?! Nggak usah gila! Cilla nggak mau ngajak dia kalo begini ujungnya. Nggak lagi, ya, Bang." Cilla berjalan pergi meninggalkan mereka.

Raffa menghela nafas pelan, "lebih baik selesain urusan lo sama keluarga lo dulu. Lo bisa nyusul kalo semuanya udah beres. Kali ini gue percaya sama lo, gue pergi." Tanpa membiarkan Cavan menjawab, Raffa pergi menyusul Cilla.

***

"Anjir, gue bego banget."

"Ya, emang," sahut Imam pada Zidan yang terus mengumpat.

SATU SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang