10|| Truth or dare

49 13 0
                                    

Happy reading')
.
.
.
.

'Sebutlah aku brengsek, karena nyatanya segala tentangmu selalu buat lupa waktu'

***

Angin malam kini membelai wajahnya. Rambut bagian depannya yang sedikit panjang melambai seirama angin. Ribuan masalah menghujamnya secara bertubi-tubi, mengharuskan akalnya bekerja lebih keras lagi.

Kini Mahda berada di balkon kamarnya. Cilla? Gadis itu sudah tidur sedari tadi.

Benaknya kini dipenuhi ribuan tanya.

Ini pasal truth or dare yang tadi ia mainkan bersama sahabat-sahabatnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.

Suasana kian tegang saat putaran botol melambat. Menantikan pada siapa botol itu berhenti.

Damn it!

Empat orang disana menahan tawa, sedang satunya menatap teman-temannya dengan was-was.

"LO!" seru mereka bersamaan.

Mahda mendengus, inilah yang menjadi alasan awal ia enggan ikut tadi.

"Dare" ujar Mahda singkat, yang membuat mereka yang ada disana tersenyum jail.

"Gue yang kasih." sahut Zidan yang kini di otaknya banyak sekali ide-ide yang menurutnya brilian.

Semua mata menatap ke arah cowok itu, menunggu tantangan apa yang akan ia layangkan.

"Nungguin, ya?" Zidan cengengesan, sedang yang lain mendengus kesal.

"Buru!" Cavan gregetan sendiri.

"I dare you to kiss your best friend."

"Gak! Gue gak homo!" jawab Mahda cepat.

Sahabatnya satu itu benar-benar, fikirnya.

Zidan berdecak, "emang sahabat lo kita doang? Noh, si Anin."

Mereka beralih menatap Anin yang wajahnya memerah malu.

Sebuah senyum tetbit dari bibir Mahda, "boleh, Nin?"

"T-tapi, Da-"

Ucapan Anin terpotong kala Mahda mendekatkan wajahnya pada gadis itu. Nafas Anin tercekat, tangan Mahda menarik tengkuk Anin untuk mendekat. Keduanya bisa merasakan hembusan nafas masing-masing. Mata Anin terpejam, menciptakan senyum tipis dari Mahda.

Bibir mereka hanya berjarak satu senti. Hingga suara bariton seseorang mengacaukan semuanya.

"Jangan jadi brengsek!" Setelahnya Cavan beranjak ke mejanya dan memilih membuka bukunya. Mahda dapat melihat rahang Cavan yang mengeras.

Zidan, Imam, Anin, juga Mahda saling pandang. Mahda memutuskan menyusul cowok itu.

"Kenapa lo?" tanya Mahda saat duduk disamping Cavan.

"Lo lebih tau." jawabnya.

Mahda menaikkan sebelah alisnya, "aneh banget lo, gue bukan cenayang yang tau apa yang lo pikirin."

"Ck, sesuatu yang udah dipersatukan tuhan, bukan buat mainan." Cavan berdecak.

"Tau dah, otak gue erosi lo kasih gituan mulu. Gak ngerti, gue."

"Lo itu paham, cuma milih untuk nggak peduli aja." ujar Cavan dan mulai melanjutkan kegiatannya dengan buku-bukunya lagi.

Teka-teki yang Cavan miliki terlalu sulit untuk dipecahkan Mahda. Tapi, hanya satu yang menjurus pada pernyataan Cavan tadi siang.

SATU SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang